Paparan Topik

Perkembangan Bisnis Pers di Era Modern

Berbagai tren teknologi dan pergeseran sistem distribusi informasi telah menggeser kemapanan industri pers. Berbagai dampak muncul bagi industri pers, termasuk kebangkrutan. Dunia pers memerlukan pembaruan strategi bisnis untuk dapat bertahan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Para kolektor NFT atau non-fungible token Harian Kompas antusias mengikuti kunjungan di Pusat Informasi Kompas di Jakarta, Selasa (6/9/2022). Mereka menyaksikan bentuk fisik koran Kompas yang salah satunya menjadi koleksi mereka dalam bentuk NFT.

Fakta Singkat

  • Sumber pendapatan utama bisnis pers adalah sirkulasi surat kabar dan pemasangan iklan. Dalam era modern, keduanya mengalami penurunan yang konsisten.
  • Disrupsi informasi, digitalisasi pada berbagai dimensi, dan turunnya kepercayaan publik menjadi beberapa faktor eksternal yang mengancam bisnis pers.
  • Dalam lima tahun (2018-2023) pendapatan pers global dari pemasangan iklan turun signifikan dari 40.924 juta dolar AS menjadi 25.398 juta dolar AS.
  • Sementara pendapatan pers dari sirkulasi surat kabar turun dari 56.148 juta dolar AS menjadi 45.563 juta dolar AS
  • Terdapat tren pergeseran sumber informasi yang digunakan publik. Pada 2022, produk pers cetak sebagai sumber utama informasi hanya diakses oleh 21,7 persen publik. Sementara televisi mencapai 60,7 persen dan berita online mencapai 27,5 persen.
  • Pada 2019, tingkat kepercayaan publik berada di angka 42 persen. Persentase ini kian turun pada 2020 menjadi 38 persen.
  • “Krisis berita” merujuk pada situasi pemberitaan yang hanya mengejar kecepatan dengan mengesampingkan ketepatan atau kebenaran. Hal ini berpotensi terjadi pada industri pers sendiri.
  • Tantangan lain yang muncul dari internal pers adalah konglomerasi bisnis yang berdampak pada bergesernya kualitas pers itu sendiri.
  • Penerapan langganan berbayar untuk surat kabar digital bisa menjadi sumber utama bisnis pers masa kini. Sebagai contoh, media The New York Times meraup 4,7 juta pelanggan berbayar.
  • Selain penerapan alternatif strategi bisnis, pers modern juga harus tetap menjaga kualitasnya. Pers dan jurnalisme yang berkualitas merupakan pendukung bagi keberlangsungan bisnis itu sendiri.

Tantangan industri digital dan kemudahan akses informasi menyebabkan bergesernya preferensi pasar yang sangat berpengaruh pada dunia pers. Selain masifnya perkembangan industri digital, dunia pers seperti industri surat kabar turut dihadapkan oleh tantangan-tantangan lain seperti masalah ekonomi global, kenaikan harga bahan bakar, dan mahalnya harga kertas.

Beragam persoalan tersebut membuat industri pers harus secara inovatif mencari alternatif dari strategi bisnis konvensional yang selama ini membesarkan nama mereka. Berbagai daya upaya dilakukan untuk mengatasi tantangan zaman terhadap bisnis pers.

Meski begitu, sejumlah strategi yang dilakukan, seperti penggunaan click-bait oleh sejumlah media, justru merusak kualitas dan cita rasa produk pers. Untuk itu, penentuan strategi bisnis perlu tetap didasarkan pada kaidah integritas pers dan produk jurnalisme yang berkualitas.

Meski saat ini belum terbukti secara langsung berdampak pada dunia pers, kehadiran ChatGPT tengah meraih popularitas yang begitu masif. Dalam waktu dua bulan saja, penggunanya mencapai jumlah 100 juta orang.

Sementara rata-rata hingga April 2023, jumlah kunjungan bulanan ke layanan ChatGPT mencapai 1,8 miliar kali. Sebagai suatu layanan kecerdasan buatan, ChatGPT mampu melakukan percakapan, membuat sonata, menulis esai atau makalah, menyusun kode program, hingga menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit.

Hadirnya ChatGPT menjadi bukti distribusi teknologi kecerdasan buatan terhadap masyarakat luas dan digitalisasi terhadap ragam lini kehidupan telah di depan mata. Atas situasi demikian, berbagai dimensi kehidupan jelas akan mengalami disrupsi. Begitu pula lini perkerjaan yang eksis saat ini. Dalam tataran demikian, industri pers diyakini menjadi salah satu industri yang akan terdampak. ChatGPT juga menawarkan tautan sumber berita dari informasi yang dicari.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Prasajadi, salah seorang kolektor NFT (non-fungible token) Kompas berfoto dengan koran Kompas yang dikoleksinya dalam bentuk NFT saat berkunjung ke Pusat Informasi Kompas di Jakarta, Selasa (6/9/2022). Para kolektor #NFTKompas ini berkesempatan untuk bertemu dan mengetahui lebih jauh terkait proses pengarsipan koran dan rapat redaksi untuk menentukan berita di harian Kompas.

Tren Bisnis Industri Pers: Tantangan Masa Depan

Disrupsi informasi dan komunikasi telah memberikan ancaman bagi keberlangsungan bisnis pers. Namun dalam tren teraktual, pukulan telak juga muncul dari hadirnya pandemi Covid-19 dan dinamika dunia yang terus bergolak. Media cetak seperti koran dan majalah termasuk yang paling telak mengalami pukulan.

Tren Pendapatan Pers

Sebelum mengalami disrupsi akibat era digital, industri pers mengandalkan dua sumber pendapatan utama, yakni sirkulasi surat kabar dan pendapatan iklan.

Sayangnya, kedua sumber pendapatan masif tersebut kian mengalami penurunan secara konsisten dan signifikan. Alhasil, rata-rata keseluruhan pendapatan industri pers pun terus mengalami penurunan.

Mengacu pada laporan World Press Trends yang dipublikasikan oleh World Association of News Publishers (WAN-IFRA), pukulan terhadap pendapatan pers kian telak sejak pandemi Covid-19. Responden yang dikumpulkan oleh WAN-IFRA merupakan aktor-aktor perusahaan media dan industri pers. Pada edisi laporan 2020-2021, responden terdiri atas lebih dari 90 orang eksekutif perusahaan berita dan media dari 51 negara.

Pada kisaran waktu 2020-2021, sebanyak 43 persen responden survei WAN-IFRA menyampaikan bahwa mereka mengalami penurunan pendapatan hingga 20 persen. Sementara 27 persen responden menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir mereka tidak memiliki kenaikan pendapatan.

Data tersebut diperkuat dengan hasil penelitian perusahaan PricewaterhouseCoopers (PwC). Dalam laporan Global Entertainment & Media Outlook 2016-2020, PwC melaporkan pendapatan penerbit surat kabar dan majalah cetak global yang konstan minus sejak tahun 2015 dibandingkan dengan pengeluaran. Minus pendapatan pers global terbesar terjadi pada tahun 2017, mencapai minus 4,4 persen.

Situasi bisnis pers global yang kian menurun juga terjadi di Indonesia, dimana ditunjukkan dalam survei yang dilakukan oleh Serikat Penerbit Surat kabar (SPS) hingga Mei 2020. Dari 434 media yang didata, sebanyak 71 persen perusahaan pers cetak mengalami penurunan omzet lebih dari 40 persen dibandingkan 2019. Akibatnya, 50 persen perusahaan pers juga telah memotong gaji karyawan dengan skala potongan yang beragam, dari besaran dua persen bahkan hingga 30 persen.

Selain itu, sebanyak 43,2 persen perusahaan pers cetak telah mengkaji kebijakan merumahkan karyawan tanpa digaji. Jumlah karyawan yang dirumahkan bervariasi pada masing-masing perusahaan, dari kisaran 25 hingga 100 orang per perusahaan. Kebijakan ini paling banyak dilakukan oleh 38,6 persen pers daerah. Sementara perusahaan pers nasional yang melaksanakan kebijakan ini adalah sebanyak 4,45 persen.

Kondisi bisnis demikian didorong oleh situasi sirkulasi cetakkan surat kabar dan pemasangan iklan yang tidak menguntungkan sebagai dua sumber pendapatan utama bagi industri pers. Pada sisi pendapatan sirkulasi cetak, WAN-IFRA dalam laporan World Press Trends 2022-2023 mencatat terus terjadi penurunan dalam lima tahun terakhir (2018-2022), kecuali pada 2021.

Pada 2018, pendapatan media global dari sirkulasi cetak surat kabar berada di angka 56.148 juta dolar AS. Pada 2022, jumlahnya hanya mencapai 47.109 juta dolar AS. Penurunan pendapatan tertinggi terjadi pada 2020, atau bertepatan dengan mulai merebaknya pandemi Covid-19 di seluruh dunia. Terjadi penurunan sirkulasi cetak surat kabar tertinggi, mencapai 11,7 persen dari pendapatan tahun 2019. Meski begitu, pada tahun 2021 terjadi peningkatan 1,1 persen seiring dengan mulai terkendalinya penyebaran Covid-19.

Grafik:

 

Di Indonesia, faktor lain yang mendorong penurunan sirkulasi media cetak adalah biaya produksi dan distribusi yang semakin tinggi. Kenaikan kurs dolar Amerika Serikat membuat harga kertas koran mencapai Rp15.000 per kilogramnya. Angka ini meningkat hingga 60 persen dibandingkan akhir 2022 lalu karena bahan baku pembuatan kertas sebagian besar masih impor.

Sementara biaya cetak juga mengalami kenaikan karena turut meningkatnya harga tinta dan biaya produksi lain. Hingga saat ini, biaya untuk mencetak surat kabar sebanyak 16 halaman dengan empat halaman warna berada pada kisaran harga Rp3.000 sampai Rp 4.000, bahkan bisa lebih tinggi lagi.

Grafik:

 

Dari sisi pendapatan iklan, industri pers mengalami tekanan besar dari tersedianya ruang-ruang pengiklanan baru yang disediakan media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Youtube. Ruang pengiklanan pada surat kabar pun mulai tersaingi. Menyerupai data sirkulasi surat kabar cetak, WAN-IFRA mencatat tren penurunan yang konsisten dalam pendapatan iklan di surat kabar, kecuali pada tahun 2021 yang mengalami peningkatan.

Pada 2018, pendapatan dari pemasangan iklan di surat kabar berada di angka 40.924 juta dolar AS. Pada 2022, jumlahnya turun drastis hingga di angka 26.799 juta dolar AS dan diprediksi akan kembali mengalami penurunan pada 2023 mencapai angka 25.394 juta dolar AS.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA

Sejumlah karyawan dari surat kabar lokal, Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai, terlihat sibuk bekerja di ruang redaksi, Nagano, Jepang, Jumat (17/2/2023). Shinmai merupakan koran lokal terbesar keempat di Jepang yang terbit pada pagi dan sore. Surat kabar ini menyediakan berita lokal, nasional, serta internasional. Nagano ialah prefektur dengan populasi penduduk sebanyak 2,05 juta jiwa.

Sementara pada 2020, berdasarkan data WAN-IFRA penurunan pendapatan iklan di surat kabar cetak mencapai 18,9 persen dari 2019. Pada 2021, kembali terjadi peningkatan namun hanya sebesar 1,6 persen.

Situasi bisnis demikian berdampak sangat signifikan, hingga akhirnya mendorong perusahaan-perusahaan media pers pada titik paling rendah, yakni kebangkrutan dan penutupan. Di Indonesia, hal tersebut tampak pada berbagai perusahaan yang akhirnya harus tutup sama sekali atau mencoba peruntungan dengan tranformasi digital.

Yang paling aktual adalah ditutupnya Koran Sindo pada 17 April 2023. Koran Sindo memutuskan untuk menghentikan penerbitan surat kabar, baik cetak maupun digital hingga waktu yang belum ditentukan. Sebelumnya, media Republika juga menutup versi cetaknya sama sekali pada 31 Desember 2022 dan memilih untuk transofrmasi digital.

Pada akhir 2022, rentetan berita buruk juga menerpa industri majalah. Hingga empat media cetak di bawah Grup Kompas Gramedia mengambil keputusan untuk berhenti terbit. Keempatnya yakni tabloid Nova, majalah Bobo Junior, majalah Mombi, dan majalah Mombi SD. Padahal usianya ada yang telah hampir mencapai setengah abad.

Sebelumnya, pada 2021 publik dikejutkan dengan berhentinya penerbitan dan peredaran dua surat kabar harian, yakni Tempo dan Indo Pos. sementara Tempo beralih ke bentuk digital, Indo Pos memutuskan untuk sama sekali berhenti. Masih pada 2021, surat kabar Suara Pembaruan lantas juga menyusul dengan memutuskan berhenti terbit.

Pada 2018, tabloid Bola yang telah berusia 34 tahun juga memutuskan tidak lagi terbit. Demikian juga surat kabar harian Bernas yang berusia 72 tahun dan memilih untuk beralih ke versi digital. Berbagai catatan ini barulah perihal pers di tingkat nasional, belum lagi perusahaan-perusahaan media daerah yang juga harus mengambil langkah serupa dengan skala jumlah yang jelas lebih banyak.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Surat kabar gratis untuk umum di London, Inggris, Senin (21/3/2016).

Preferensi Publik terhadap Industri Pers

Menurunnya sumber-sumber pendapatan konvensional utama perusahaan pers tak lepas dari bergesernya kecenderungan publik terhadap media itu sendiri. Publik atau masyarakat luas menjadi pasar utama bagi industri pers yang mengandalkan komoditas informasi. Dalam konteks modern, publik sendiri kian menunjukkan “jarak” dengan pers dan media konvensional (surat kabar, majalah, dan radio). Publik lebih memilih mencari informasi melalui gawai sambil berselancar di media sosial atau aplikasi percakapan.

Maraknya media digital telah menggeser preferensi masyarakat modern dalam mengakses informasi. Hal ini dipaparkan dalam laporan Status Literasi Digital di Indonesia 2022 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Katadata Insight Center. Dalam tiga tahun terakhir (2020-2022), lebih dari 72 persen masyarakat Indonesia mengandalkan media sosial sebagai sumber utama untuk mengakses informasi.

Pada tahun 2022, sumber akses informasi yang paling banyak digunakan setelah media sosial adalah televisi dengan capaian 60,7 persen dan berita online dengan capaian 27,5 persen. Radio sebagai sumber informasi hanya diakses oleh 2,9 persen responden. Sementara media pers cetak, seperti surat kabar dan majalah, hanya digunakan sebagai sumber informasi oleh 21,7 persen responden.

Meski begitu, terdapat temuan menarik bahwa persentase responden yang mengakses surat kabar dan majalah sebagai sumber informasi mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2020, rasionya hanya berkisar pada 16,4 persen. Namun di tahun 2021 persentase meningkat menjadi 19,6 persen dan kembali bertambah pada 2022.

Grafik:

 

Sebagai akibat dari masifnya pergeseran media yang digunakan publik, ruang-ruang pengiklanan digital yang baru hadir pun dengan segera menyaingi ruang pengiklanan di perusahaan pers. Hingga tahun 2021, Google Search, Meta, dan Amazon masuk dalam lima besar pendapatan iklan terbesar. Google Search, yang menempati peringkat dua tertinggi hanya kalah dari pendapatan iklan televisi.

Selain pergeseran preferensi, bisnis pers juga dipengaruhi oleh menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap media secara umum dan pers secara khusus. Hal ini lantas berdampak pada kian luasnya “jarak” antara publik terhadap pers. Kembali mengacu pada laporan WAN-IFRA 2021, isu kepercayaan atau trust menjadi salah satu poin kritis untuk menjaga jejaring bisnis pers dengan pasar.

Mengacu kembali pada World Press Trends Outlook 2020-2021, dikutip hasil riset yang dilakukan oleh Edelman pada akhir Januari 2021. Hasilnya menunjukkan bahwa media menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya dari tiga lembaga lainnya, yakni bisnis, pemerintah, dan LSM.

Hanya saja, dalam konteks ini Edelman menggunakan konsep “media” secara umum, sehingga menggabungkan surat kabar tradisional dengan media digital. Meski begitu, WAN-IFRA menuliskan bahwa belum ada bukti bahwa berarti hasil riset ini melenceng.

Selain itu, WAN-IFRA juga mengutip Reuters Institute yang melaporkan titik terendah kepercayaan publik pada pers. Hal tersebut terjadi ketika virus Covid-19 menyerang, tepatnya pada 2020. Tingkat keseluruhan kepercayaan pada media pemberitaan menurun secara drastis, mencapai level hanya 38 persen publik yang mempercayai sebagian besar berita. Angka ini turun empat persen dari 2019.

Reuters Institute Digital News Report 2021 juga menjabarkan bahwa rata-rata masyarakat dunia yang percaya pada media pemberitaan secara keseluruhan hanya berada pada level 44 persen. Angka ini sendiri memang jauh berada di atas tingkat kepercayaan terhadap media sosial (24 persen), namun tetap menunjukkan rendahnya kepercayaan pada pers secara global.

Sementara di Indonesia, tingkat kepercayaan tersebut bahkan lebih rendah lagi. Hanya 39 persen dari seluruh responden yang percaya dengan media pemberitaan. Dari 11 negara di kawasan Asia-Pasifik yang diteliti, Indonesia menduduki peringkat lima dengan tingkat kepercayaan terendah.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Winda, mahasiswi Universitas Brawijaya, membantu proses digitalisasi koran di kompleks Museum Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/4/2019). Proses alih media dari bentuk cetak ke digital juga dilakukan terhadap ribuan dokumen dan transkrip kuno untuk menyelamatkan isi dari berbagai dokumen berharga yang telah berusia tua.

Beralih ke digital

Faktor eksternal, seperti disrupsi informasi, persaingan dengan media digital, dan sentimen pasar, memang sangat signifikan bagi bisnis pers di era modern. Meski begitu, kontraksi bisnis juga disebabkan oleh faktor-faktor internal dari industri pers itu sendiri. Acap kali, tantangan internal ini disebabkan oleh strategi adaptasi dari industri pers sendiri yang justru kontra-produktif.

Dalam buku Media Komunikasi: Siapa Mengorbankan Siapa dituliskan bahwa kemajuan modernitas tidak selalu menjadikan media sebagai korban. Sebaliknya, muncul pula korban-korban yang ditimbulkan dari apa yang disajikan media dalam era modern. Meski demikian, hal ini kerap tidak disadari. Dituliskan bahwa “masyarakat telah begitu terbiasa dengan sajian media yang ada” sehingga juga tidak berpikir tentang persoalan yang ada.

Atas segala perubahan yang terjadi, tidak sedikit perusahaan pers yang merubah strategi pemberitaan mereka. Pertama, perusahaan-perusahaan pers beralih ke ruang pemberitaan digital, Surat kabar cetak pun beralih menjadi tampilan layar di gawai. Apa yang dititikberatkan oleh pemberitaan digital adalah aktualitas dan kebaruan. Sesegera mungkin sebuah berita harus naik tayang.

Peralihan tersebut berdampak pula pada perubahan langkah editorial. Pengejaran waktu tayang mengakibatkan pengecekkan faktualitas berita kerap terlewatkan. Oleh karena itu, dapat ditemukan tayangan-tayangan berita yang setelah beberapa waktu terbukti sebagai hoaks atau misinfomrasi. Masalah ini tidak dialami oleh media cetak yang memiliki batasan waktu untuk turun cetak dan struktural editorial yang baku.

Ditambah lagi, media pers digital memilih untuk menggunakan daya tarik viralitas dan click-bait sebagai strategi mendulang minat publik dan keuntungan. Pada titik ini, mereka pun menggadaikan kualitas dan kedalaman berita yang disampaikan, dimana pada taraf yang lebih luas, justru merusak integritas dari pers itu sendiri.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pekerja memasang koran terbitan terbaru pada papan di Jalan Sultan Agung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/9/2020). Perkembangan teknologi dan media daring berpengaruh besar terhadap tren media cetak, seperti koran yang terus menurun pembacanya. Media cetak pun saat ini harus beradaptasi melalui berbagai cara untuk bertahan.

Kondisi ini, dengan mengacu pada buku The New Digital Age: Cakrawala Baru Negara, Bisnis, dan Hidup Kita oleh Schmidt dan Cohen, lantas memicu apa yang disebut sebagai “krisis berita”. Krisis ini ditimbulkan ketika teknologi dengan standar-standar dirinya masuk ke semua industri, termasuk industri media.

Berbagai media pers besar, memang mau tidak mau harus turut bergerak masuk dalam ranah digital apabila ingin bertahan. Menurut Schmidt dan Cohen, pers versi cetak sulit untuk bersaing dengan media-media baru yang serba terhubung. Justru kabar-kabar teraktual akan terus menerus diperbarui dalam kanal-kanal sosial-digital seperti Twitter dan Instagram.

Pada titik inilah terjadi konsep “krisis berita”. Tanggung jawab jurnalis terbesar tidak lagi dipegang oleh seorang wartawan profesional, melainkan pada seluruh masyarakat yang memiliki akses terhadap ruang digital. Sementara di sisi lain, media-media pers yang telah masuk dalam ruang digital juga berlomba untuk mengejar kecepatan pemberitaan.

Krisis media berdampak pada kualitas pemberitaan pers itu sendiri. Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etik Pers, Dewan Pers, Imam Wahyudi menjabarkan bahwa 75 persen dari setidaknya 2.000 media cetak di Indonesia tak profesional dalam sisi pemberitaan. Hal ini disampaikan Wahyudi dalam diskusi literasi media bersama jurnalis di Malang, Jumat 29 Juli 2016.

Dari rasio tersebut, data Dewan Pers pada tahun yang sama menunjukkan bahwa hanya 567 media cetak yang bisa dikategorikan media profesional. Sementara sisanya dinilai tidak memenuhi syarat sesuai standar perusahaan pers yang dikeluarkan Dewan Pers. Ketidaksesuaian ini disebabkan baik oleh status perusahaan pers yang belum berbadan hukum dan produk jurnalistik yang tak memenuhi prinsip jurnalistik.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Pengajar Program Studi Seni Musik Universitas Negeri Medan Mukhlis Hasbullah (kiri) memimpin sebuah pertunjukan bunyi dengan mesin tik pada pembukaan “Pameran 100 Tahun Surat Kabar dan Majalah yang Terbit di Medan (1886-1986)” di Perpustakaan Digital Unimed, Selasa (9/2). Pameran itu menampilkan 80 surat kabar dan majalah yang menyimpan sejarah Sumatera Utara dalam rangka Hari Pers Nasional 2016.

Masalah serupa juga terjadi pada perusahaan pers digital. Dari total 43.300 media pers digital, hanya 211 perusahaan yang dikategorikan perusahaan pers profesional. Sementara, Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah aduan pelanggaran dan sengketa pemberitaan terbanyak, yakni mencapai 394 kali pengaduan. Dewan Pers pun meminta lembaga publik untuk berhati-hati terhadap munculnya media pers yang abal-abal dan melanggar kode etik jurnalis.

Artikel akademik Menelisik Industri dan Struktur Pasar Media Massa di Indonesia oleh Permana dan Suzan juga menyebutkan salah satu masalah lain dari internal pers adalah maraknya konglomerasi bisnis pers. Persoalan lain adalah soal indendensi pers dan konglomerasi media yang berafiliasi dengan kepentingan politik pemilik media. Akan sangat sulit menghindarkan kepentingan politik dan independensi konten pada perusahaan pers yang berafiliasi kepentingan politik.

Untuk menjaga produk pers tetap memiliki kualitas, diperlukan komitmen dari internal perusahaan untuk menerapkan standar mutu bagi kualitas wartawan dalam proses rekrutmen. Standar ini ditujukan untuk menghindari penyelewengan tanggung jawab profesi pers dan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas pekerja pers.

Salah satu pihak yang telah menyampaikan masukan tersebut adalah Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Muhammad Ridlo Eisy, tepatnya dalam lokakarya “Peningkatan profesional Wartawan Daerah” di Kupang, 8 Februari 2011 menjelang Hari Pers Nasional ke-65.

Sebagaimana dikutip dari laman resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (menpan.go.id), Eisy menegaskan bahwa perusahaan media hampir pasti akan bangkrut jika tidak memiliki wartawan yang berkualitas dan kompeten. “Seperti halnya restoran, dapat dipastikan akan gulung tikar, kalau juru masaknya tidak mampu memasak,” katanya. Eisy juga menekankan masing-masing perusahaan pers untuk memiliki kriteria tersendiri yang diterapkan dalam merekrut wartawan.

Perusahaan pers ditekankan untuk melaksanakan “in house training” sebelum akhirnya mempekerjakan calon wartawan yang mendaftar. Dorongan disampaikan oleh Eisy yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat karena dampak yang begitu luas dari kehadiran wartawan yang tidak berkompeten. Dalam kalkulasinya, inkompetensi tersebut telah menyebabkan lebih dari 1.000 perusahaan pers cetak bangkrut karena tidak profesional.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE

Sampul surat kabar The Times menampilkan wajah Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham, London, Jumat (9/9/2022).

Nafas Positif Bisnis Pers

Di kalangan pers sendiri terdapat kepercayaan bahwa bagaimanapun juga, industri pers, termasuk pers versi cetak, akan terus berkelanjutan. Premis tersebut pun hadir bukan sebagai harapan semata, namun terbukti oleh perubahan zaman. Pada masa kemunculan dan penyebaran radio, banyak orang yang telah meramalkan kesudahan surat kabar. Meski begitu, ramalan tersebut terbukti tak benar. Radio dan surat kabar memiliki pangsa pasar yang berbeda.

Begitu pula ketika munculnya televisi. Stasiun-stasiun televisi menjadi alternatif baru bagi publik mengakses berita dan informasi. Ramalan kematian pers cetak pun kembali mengemuka dan belum terbukti. Kini, giliran media digital lah yang menjadi penantang. Di saat bersamaan, optimisme akan nafas pers cetak pun tetap bertahan meskipun sangat berat.

Di tengah transisi ke media digital, media cetak menunjukkan masih memiliki harapan. Pada laporan Word Press Trends Outlook 2022-2023, ditemukan bahwa bagaimanapun juga, pendapatan pers cetak tetap fundamental.

WAN-IFRA menemukan bahwa pendapatan media cetak masih menjadi sumber terhadap lebih dari separuh pendapatan (53,5 persen) perusahaan pers. Bahkan di sejumlah wilayah dengan pasar yang berbeda, rasio media cetak terhadap pendapatan industri pers bisa lebih tinggi lagi.

Selain itu, total pendapatan global industri pers juga mengalami peningkatan. Pada publikasi sebelumnya, WAN-IFRA mencatat pendapatan industri pers global berada di angka 112,4 miliar dolar AS. Angka pendapatan meningkat hingga 13,55 persen dengan mencapai 130,02 miliar AS pada laporan 2022-2023.

Salah satu pendorong dari capaian tersebut adalah peningkatan sirkulasi surat kabar pada versi digital. Secara khusus di negara-negara berkembang, perusahaan pers memperoleh alternatif pendapatan secara signfikan dari adaptasi dengan dunia digital.

Grafik:

 

Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran media pers itu sendiri sesungguhnya masih begitu vital bagi masyarakat. Meski wujudnya berubah dalam tubuh digital, namun kebutuhan akan informasi, secara khusus yang berkualitas, mendalam, dan akurat, masih menjadi kebutuhan manusia.

Begitu juga ruang pengiklanan yang masih dapat disediakan oleh ruang pers digital. Dalam diagram tampak bahwa dari tahun ke tahun, terdapat tren peningkatan pendapatan dari transformasi digital pers.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Dua anak memerhatikan halaman Kompas e-paper melalui akses jaringan internet di kaki Jembatan Suramadu di pantai Desa Sukolilo, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, Kamis (25/6/2009). Kompas terus berinovasi memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kemudahan dan kenyamanan pembaca.

Langganan Berbayar

Media cetak terus bertumbangan. Digitalisasi kian meluas. Sejumlah pihak pun menilai bahwa inilah “musim gugur” industri pers. Namun sekali lagi, pers masih menunjukkan nafasnya yang kuat. Data-data teraktual menunjukkan masih adanya peluang bisnis yang signifikan. Untuk itu, industri pers perlu melek dan tetap adaptif menggapai ragam peluang strategis dalam mengarungi arus zaman.

Ketika sumber pendapatan utama yang menjaga keberlangsungan bisnis pers selama ini terdisrupsi, munculah pekerjaan rumah untuk mencari model bisnis alternatif. Untuk itu, salah satu jawaban yang dapat dipilih adalah mengintensifkan model langganan berbayar sebagai opsi yang yang paling realistis saat ini bagi media daring. Hal ini dapat diberlakukan setelah perusahaan pers mulai menjalankan transformasi digital, terutama menyediakan surat kabar digital dan membuka ruang-ruang pemberitaan digital.

Pilihan bisnis ini sendiri terbukti mendulang keberhasilan bagi sejumlah perusahaan pers papan atas dunia dalam beralih ke format digital. The New York Times menduduki kesuksesan pada posisi pertama dengan capaian jumlah pelanggan (subscribers) berbayar hingga 4,7 juta akun. Pada posisi berikutnya, terdapat perusahaan pers The Washington Post dengan tiga juta pelanggan dan The Wall Street Journal dengan jumlah 2,4 juta pelanggan (Kompas.id, 2/8/2022, Sistem Iklan Swalayan, Alternatif Pendapatan Bisnis Media Pers Digital).

Secara global, jumlah pelangganan berita berbayar pun bertumbuh. Meski dunia diterpa berbagai tantangan, seperti pandemi, inflasi ekonomi, dan perang, jumlah konsumen berita digital terus meningkat. Hal ini tampak dari data WAN-IFRA pada 2021, meski memang laju pertumbuhannya relatif sangat kecil.

 

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Dua orang anak melihat halaman Kompas melalui fasilitas e-paper yang diakses dengan koneksi internet menggunakan komputer jinjing di kawasan sekitar Jembatan Suramadu di pantai Desa Sukolilo, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Rabu (24/6/2009).

Data WAN-IFRA yang menunjukkan bahwa selama periode 2020-2021, pertumbuhan pendapatan pers di seluruh dunia dari sistem langganan berbayar mengalami kenaikan 3,4 persen. Angka ini sendiri memang terbilang kecil, terutama bila disandingkan dengan kenaikan pada periode 2019-2020 yang mencapai 23 persen.

Selain itu, jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada Februari 2020 terhadap 540 responden di seluruh Indonesia juga menunjukkan bahwa pendapat publik Indonesia terhadap pengaruh positif pers masih begitu tinggi. Hampir 40 persen responden menilai bahwa informasi di media sosial belum mencerdaskan publik.

Dari proporsi tersebut, sebagian besar menilai bahwa pers masih memberikan kualitas yang baik dalam mencerdaskan publik. Bahkan sejumlah besar generasi muda, sebagai kelompok yang paling dekat dengan digitalisasi, masih menilai bahwa surat kabar merupakan sumber penyebaran nilai dan demokrasi. Sebanyak 17,2 persen Gen Z dan 20,7 persen Gen Y/Milenial memberikan penilaian tersebut.

Apresiasi dan kepercayaan ini menunjukkan bahwa pers masih menjadi salah satu industri informasi yang berkualitas dalam kacamata masyarakat. Kualitas ini juga menjadikan media massa yang masih menegakkan diri sebagai pilar keempat proses demokrasi. Titik kulitas inilah yang perlu terus dijaga media massa/pers di tengah serbuan media sosial.

Dengan demikian, pers dan jurnalisme yang berkualitas tak hanya sebuah status moral, melainkan juga peluang strategis yang selama ini menjaga keberlangsungan pers itu sendiri. Atas dasar tersebut, sembari mengusahakan alternatif bisnis di era digital, sangat penting bagi pers untuk tetap menjaga kualitasnya. (Kompas.id, 10/2/2020, Tantangan Pers di Era Digital).

Dengan mencapai peluang-peluang strategis yang aktual, bisnis perusahaan pers pun dapat terselamatkan. Strategi adaptasi tersebut dapat menjaga keberlanjutan industri dan kualitas produk pers yang berkualitas demi mencapai tujuan moral jurnalisme yang mencerahkan publik.

Selamat Hari Ulang Tahun ke-58 Harian Kompas.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Hasil Riset
  • Reuters Institute. (2021). Executive summary and key findings of the 2021 report. Oxford: Reuters Institute for the Study of Journalism .
  • (2016). Global Entertainment & Media Outlook 2016-202. PwC.
  • World Association of News Publishers. (2023). World Press Trends Outlook 2022-2023. Frankfurt: World Association of News Publishers.
  • World Association of News Publishers. (2021). World Press Trends 2020-2021 Outlook. Frankfurt: World Association of News Publishers.
Buku
  • Prajarto, N. (Penyunt.). (2006). Media Komunikasi: Siapa Mengorbankan Siapa. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM.
  • Schmidt, E., & Cohen, J. (2014). The New Digital Age: Cakrawala Baru Negara, Bisnis, dan Hidup Kita. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Artikel Akademik
  • Permana, R. S., & Suzan, N. (2018). Menelisik Industri dan Struktur Pasar Media Massa di Indonesia. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Volume VIII Nomor 2.
Arsip Kompas

• Kompas.id. (2022, Januari 5). Pendapatan Bisnis Pers, dari Pelanggan hingga “Blockchain” . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2022/01/05/pendapatan-bisnis-pers-dari-pelanggan-hingga-blockchain
• Kompas.id. (2022, Agustus 2). Sistem Iklan Swalayan, Alternatif Pendapatan Bisnis Media Pers Digital . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/riset/2022/08/02/sistem-iklan-swalayan-alternatif-pendapatan-bisnis-media-pers-digital
• Kompas.id. (2020, Februari 10). Tantangan Pers di Era Digital . Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/02/10/tantangan-pers-di-era-digital

Internet
  • Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2011, Februari 9). Perusahaan Pers Harus Terapkan Standar Kompetensi Wartawan . Diambil kembali dari menpan.go.id: https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/perusahaan-pers-harus-terapkan-standar-kompetensi-wartawan
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika; Katadata Insight Center. (2022). Status Literasi Digital di Indonesia 2022. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika.