Paparan Topik | Tragedi Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok 1984: Latar Belakang, Tragedi Kerusuhan, dan Penyelesaian Pelanggaran HAM

Kerusuhan Tanjung Priok 1984 berawal dari penerapan kebijakan asas tunggal Pancasila untuk menjaga stabilitas pemerintahan Orde Baru. Namun, implementasi yang terlalu dipaksakan membuat beberapa kelompok tidak setuju sehingga terjadi bentrokan berbau SARA.

KOMPAS/BAMBANG SUKARTIONO

Suasana sekitar Tanjung Priok sesaat setelah aksi kerusuhan (13/9/1984)

Peristiwa ini tidak dapat dilepaskan dari masalah sosial, politik, dan ekonomi Indonesia pada waktu itu. Presiden Soeharto dalam buku biografinya yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya mengemukakan pendapatnya bahwa terjadinya kerusuhan Tanjung Priok 1984 merupakan akibat dari sistem politik Orde Baru yang ingin menerapkan asas tunggal Pancasila. Beberapa kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut kemudian memberontak dan menghasut massa sehingga terjadi kerusuhan.

Peristiwa Tanjung Priok 1984 tidak hanya menghadapkan pemerintah Orde Baru dengan kelompok Muslim, namun juga sebagai bentuk pembungkaman terhadap lawan-lawan politik Presiden Soeharto. Mereka yang bersalah kemudian banyak ditahan karena tuduhan melanggar tindak pidana subversif. Namun, setelah tumbangnya Orde Baru secara perlahan kebenaran dari peristiwa Tanjung Priok mulai terkuak.

Fakta Singkat

Kerusuhan Tanjung Priok 1984
12–13 September 1984

Latar Belakang

  • Penerapan kebijakan asas tunggal Pancasila
  • Beberapa tokoh Islam mulai dikesampingkan oleh pemerintahan Orde Baru
  • Pemerintah melarang ceramah-ceramah di masjid yang berisikan tentang kritikan terhadap Orde Baru
  • Kenaikan harga BBM oleh pemerintah pada 4 Januari 1982
  • Pengajuan RUU Organisasi Masyarakat pada 30 Mei 1984

Pengadilan Tersangka Kerusuhan 1984–1985

  • Ahmad Sahi, Syarifufin Rambe, Syafwan bin Sulaeman dan Mohammad Noor dipidana kurungan penjara antara 18 bulan sampai 2,5 tahun
  • 28 orang tersangka kerusuhan menerima hukuman penjara antara 1–3 tahun
  • AM Fatwa dituduh melakukan diskusi tentang Tanjung Priok dan menyebarkan kronologi peristiwa yang berbeda dengan pemerintah, dituntut hukuman penjara 18 tahun
  • Penceramah Salim Qadar dan Yayan Hendrayana dituduh melakukan provokasi kerusuhan dituntut pidana

Pengadilan Tersangka Kerusuhan 1984–1985

  • 29 Februari 2000, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM untuk kasus Tanjung Priok
  • Pengadilan HAM ad hoc dilaksanakan pada September 2003 — Agustus 2004
  • Beberapa petinggi aparat keamanan dan para anggotanya terbukti melakukan pelanggaran HAM berat.
  • Kompensasi Rp1,15 miliar yang harus dibayar negara kepada korban atau keluarganya
  • 14 tersangka persidangan: dua orang divonis bebas, satu orang dipidana 10 tahun penjara, satu orang dipidana 3 tahun penjara, dan 10 orang dipidana 2 tahun penjara

Stabilitas nasional

Sejak pemerintahan Indonesia dipegang kendali oleh Soeharto pada tahun 1967, Presiden Soekarno mewariskan utang negara yang cukup tinggi. Kondisi diperparah lesunya perekonomian Indonesia akibat peristiwa 1965. Meningkatkan pembangunan dan kemajuan demi menumbuhkan perekonomian menjadi tantangan Presiden Soeharto pada awal masa jabatannya.

Presiden Soeharto kemudian menekankan perlunya stabilitas di dalam masyarakat. Stabilitas juga dibutuhkan Presiden Soeharto dalam menciptakan keamanan nasional supaya tidak ada yang mengganggu jalannya pemerintahan.

Pemerintah Orde Baru menjaga stabilitas politik lewat penyeragaman ideologi, yaitu ideologi Pancasila. Dalam buku Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia, Anak Agung Gde Putra menjelaskan bahwa dengan penyeragaman ini kekuatan dari ideologi lain tidak boleh digunakan untuk memperjuangkan aspirasinya di tingkat politik dan massa.

Presiden Soeharto dalam pidatonya pada 16 Agustus 1967 juga menekankan bahwa Pancasila haruslah menjadi satu-satunya ideologi dan pandangan hidup bangsa. Pemerintah Orde Baru melarang adanya kelompok-kelompok oposisi karena tidak mencerminkan Demokrasi Pancasila. Sehingga, setiap pemasalahan negara haruslah diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat.

Pada awal tahun 1970-an, stablitas politik mulai diterapkan dengan cara menggabungkan partai-partai politik berdasarkan golongannya. Kelompok pertama adalah golongan nasionalis dan kelompok kedua adalah golongan Islamis. Presiden Soeharto memiliki kekhawatiran pemerintahannya dapat digoyang oleh kelompok Marhaenisme peninggalan Soekarno dan kelompok politik Islam yang jumlahnya cukup besar.

Ide fusi partai terlaksana pada awal tahun 1973. Pada 7 Januari 1973 empat partai golongan Islam yang terdiri dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan pada 10 Januari 1973, kelompok nasionalis yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia bersepakat untuk bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

KOMPAS/AUGUST PARENGKUAN

Didampingi Menteri Penerangan Harmoko , Kepala Polda Metro Jaya Mayjen (Pol) Soedjoko (kanan) dan Panglima Kodam V Jaya selaku Laksusda Komkamtib Mayjen Try Sutrisno, Panglima Kobkamtib Jenderal TNI LB MOerdani, Kamis 13 September 1984, memberikan penjelasan kepada pers mengenai peristiwa Tanjung Priok.

Pancasila sebagai asas tunggal

Namun, upaya untuk meredam kegiatan politik Islam justru membawa pengaruh buruk bagi pemerintah. Pada Pemilu 1977, PPP mencatat kemenangan-kemenangan lokal di beberapa wilayah penting Orde Baru, salah satunya di Jakarta. Hal ini memunculkan tanggapan dari Presiden Soeharto terhadap menguatnya gagasan Islam politik yang baginya dianggap berbahaya.

Meskipun Soeharto pada akhirnya terpilih kembali menjadi presiden, namun Soeharto tetap mewanti-wanti meningkatnya kekuatan politik berbasiskan massa Islam. David Bourchier dan Vedi Hadiz dalam bukunya Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 menuliskan bahwa sejak saat itu Presiden Soeharto mulai menekankan kepada setiap partai politik harus menggunakan ideologi Pancasila.

Pada 16 April 1980 dalam peringatan ulang tahun Kopasandha (Komando Pasukan Sandi Yudha), Presiden Soeharto juga mengingatkan bahwa adanya usaha-usaha untuk menggantikan Pancasila tidak semata-mata dengan kekuatan senjata, namun juga dengan kekuatan subversif. Mereka melontarkan berbagai isu yang mendiskreditkan pemerintahan Orde Baru dan para pejabat. Presiden Soeharto khawatir praktik-praktik ini terus dilanggengkan mendekati pelaksaan pemilu.

Pernyataan Presiden Soeharto tersebut justru mendapatkan kecaman dari beberapa tokoh seperti A.H. Nasution, Hoegeng Imam Santosa, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, dan lain sebagainya. Kelompok ini mendapatkan julukan Petisi 50 yang sangat kritis dalam mengkritik pemerintahan Orde Baru karena mengintepretasikan Pancasila yang menguntungkan bagi pemerintahannya sendiri. Petisi ini kemudian disampaikan kepada DPR pada 13 Mei 1980.

Sjafruddin Prawiranegara dalam buku Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 mengkritik langkah pemerintah dalam pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Bagi Sjafruddin, moral suatu warga negara tidak dapat ditentukan oleh moral Pancasila yang dibentuk oleh suatu panitia yang di dalamnya tidak terdapat ulama. Apalagi beberapa aturan moral tersebut tidak dapat semuanya diterima oleh kalangan muslim karena banyak yang bertentangan dengan akidah Islam.

Walaupun petisi tersebut diterima dan ditidaklanjuti oleh DPR dengan menggunakan hak interpelasi, namun terdapat tindakan yang berlawanan yang dilakukan oleh badan legislatif tersebut. MPR justru memperkokoh pemberlakuan asas tunggal Pancasila sesuai dengan arahan Presiden Soeharto melalui Tap MPR No. II/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara pada Sidang Umum MPR 1983.

Dalam Bab IV D pasal 3 Tap MPR No. II/1983 tentang GBHN dinyatakan bahwa semua partai politik dan Golongan Karya diwajibkan untuk berasaskan hanya pada satu asas, yakni Pancasila. Pemerintah juga terus melakukan internalisasi nilai-nilai Pancasila lewat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Asas tunggal Pancasila tidak hanya dimasukkan dalam anggaran dasar setiap partai, namun pemerintah juga menerapkannya pada organisasi masyarakat (ormas). Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam pada 30 Mei 1984 mengajukan lima RUU Politik kepada DPR, salah satunya adalah RUU tentang keormasan untuk menjadikan Pancasila sebagai asas.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merespon dengan cepat mengenai RUU Organisasi Kemasyarakatan yang dinilai telah membatasi kebebasan masyarakat dalam berserikat. Dalam pasal RUU Ormas tersebut yang dikritik oleh YLBHI adalah pemerintah dapat membubarkan organisasi masyarakat yang tidak berlandaskan pada asas tunggal Pancasila atau yang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut.

Menteri Pemuda dan Olahraga dr Abdul Gafur menjelaskan kepada Presiden Soeharto, belum diterimanya asas tunggal Pancasila dalam AD/ART beberapa ormas bukan berarti mereka tidak menerima Pancasila. Abdullah Puteh bekas tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyebutkan dua alasan organisasinya belum menerima asas tunggal. Pertama, di antara anggota-anggota HMI masih belum jelas makna dari asas tunggal Pancasila. Kedua, para anggotanya masih belum membicarakannya secara tuntas karena di antara mereka khwatir apabila menerima asas tunggal Pancasila maka akan melepaskan akidah nilai yang dianut organisasinya.

Derasnya penolakan penerapan asas tunggal Pancasila untuk ormas, khususnya kelompok Islam, membuat pemerintah Orde Baru memberi cap ekstrim kanan kepada golongan ini. Istilah ini dimunculkan oleh Panglima ABRI (Pangab)/Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal LB Moerdani dalam Rapat Kerja Paripurna V Departemen Penerangan pada 25 April 1984. Dalam pernyataannya, Moerdani mengatakan bahwa setiap warga negara perlu waspada terhadap kelompok yang mengancam Pancasila dari golongan ekstrim kanan.

Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani juga kembali menekankan pada peserta Mukmamar ke-1 PPP pada 21 Agustus 1984 tentang bahaya dari kelompok yang menolak Pancasila. Moerdani mengatakan bahwa umat beragama Islam perlu waspada pada kegiatan-kegiatan yang menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan Pancasila.

KOMPAS/MOCH S HENDROWIJONO
Bangunan yang rusak dan terbakar di Tanjung Priok akibat kerusuhan (13/9/1984).

Peristiwa Tanjung Priok

Tanjung Priok yang berada di wilayah Jakarta Utara merupakan salah satu sektor perekonomian paling penting di Indonesia. Hal ini membuat wilayah tersebut memiliki demografi penduduk yang cukup padat karena sebagian besar warganya juga bekerja di pelabuhan Tanjung Priok. Kebanyakan warga yang tinggal di kecamatan Koja merupakan pendatang dari berbagai macam etnis. Mereka mengais nafkah di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pedagang kecil, penarik becak, atau berbagai pekerjaan kasar lainnya.

Memasuki tahun 1980-an, perekonomian Indonesia yang dihantam oleh krisis akibat anjloknya harga minyak dunia membuat aktivitas di Tanjung Priok ikut terganggu. Pada tahun 1982 harga minyak dunia turun dari US$ 34,53 menjadi US$ 29,53 per barel. Pemerintah pun kemudian menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 1982 melalui Keputusan Presiden No. 1/1982. Mulai 4 Januari 1982 rata-rata harga BBM di Indonesia naik 60% dari harga semula.

Hal ini kemudian membuat warga masyarakat menjadi panik sehingga berujung pada naiknya harga-harga barang. Tidak hanya itu beberapa tarif listrik, angkutan umum, dan lain sebagainya ikut naik juga imbas dari harga BBM yang melambung tinggi. Selain itu, pemerintah juga membatalkan berlabuhnya 200 kapal setiap hari sehingga menurunkan daya serap tenaga kerja di Pelabuhan Tanjung Priok.

Tingkat inflasi Indonesia juga semakin meningkat sejak saat itu. Pada tahun 1982 inflasi Indonesia hanya 9,06%, namun pada tahun 1983 naik menjadi 13,52% dan tahun 1984 menjadi 15,35%. Sementara itu angka pemutusan hubungan kerja mengalami peningkatan tiga kali lipat dari 15.000 (1983) menjadi 45.000 (1984). Ini menyebabkan beban hidup masyarakat semakin berat.

Banyak dari mereka kemudian mengkritik pemerintahan Orde Baru dalam ceramah-ceramah di masjid. Mereka tidak hanya mengkritik pemerintah dalam mengatur perekonomian, namun juga terhadap kebijakan asas tunggal yang membuat kelompok-kelompok Islam semakin tersingkirkan. Nurhayati Djamas dalam tesis magisternya yang berjudul Behind the Tanjung Priok Incident, 1984: The Problem of Political Participation in Indonesia menjelaskan bahwa sikap radikal warga Tanjung Priok disebabkan karena tekanan ekonomi akibat krisis pada tahun 1980-an.

Selain dalam bentuk ceramah di masjid, masyarakat juga mengkritik dengan cara menempelkan pamflet-pamflet di masjid. Salah satunya adalah pamflet yang ditempel di Musala Assa’addah, kecamatan Koja, Tanjung Priok. Pemasangan pamflet tersebut mengundang reaksi aparat keamanan karena isinya yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Pada 7 September 1984, aparat Babinsa Koja Sersan Satu (Sertu) Hermanu mendatangi musala yang dindingnya tertempel pamflet-pamflet. Ketika itu Hermanu meminta kepada Ahmad Sahi selaku pengurus musala untuk mencopot semua pamflet. Hermanu juga melarang masyarakat setempat untuk menempel pamflet-pamflet lagi yang isinya menggiring opini masyarakat.

Esok harinya, Sertu Hermanu kembali mendatangi Musala Assa’addah dan masih menemukan pamflet-pamflet yang tertempel di dinding musala. Dia pun marah dan mengambil pistolnya sambil menuding-nuding warga. Banyak warga ketika itu juga menceritakan bahwa Hermanu masuk ke musala hingga ke podium dan menggeledah untuk mencari pamflet-pamflet tersebut. Menurut keterangan warga, Hermanu masuk ke dalam musala dengan tidak melepaskan sepatu larsnya.

Hal ini membuat warga setempat marah dan meminta Hermanu untuk meminta maaf kepada pengurus masjid dan seluruh umat Islam. Melihat kondisi semakin tidak kondusif pada 10 September 1984 pengurus musala, Syarifufin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai.

Sertu Hermanu dengan ditemani oleh Sertu Rahmad kemudian bersedia untuk datang dan berdialog dengan pengurus musala. Mendengar permintaan masyarakat agar meminta maaf atas perbuatannya, Hermanu menolak dengan alasan bahwa ia adalah petugas yang wajib menjaga keamanan dan ketertiban wilayah tersebut. Hermanu pun naik pitam karena terus didesak, namun pengurus musala meminta Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai tanpa kekerasan.

Keberadaan Hermanu yang diketahui oleh warga membuat mereka kemudian mendatangi Hermanu secara paksa. Masyarakat yang marah terhadap Hermanu semakin kacau karena ingin menangkap Hermanu. Bahkan sepeda motor milik Hermanu pun dibakar oleh massa. Kondisi yang semakin kacau ini membuat pertemuan tersebut dibubarkan.

Namun, tiba-tiba datang aparat Kodim 0502 Jakarta Utara. Mereka menangkap empat orang warga yang hadir saat pertemuan tersebut, di antaranya Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman. Kemudian Mohammad Noor ditangkap karena membakar sepeda motor milik Hermanu. Sedangkan Ahmad Sahi ditangkap selaku pengurus musala yang dituduh sebagai penggerak massa.

Keesokan harinya sejumlah warga Tanjung Priok tidak terima dengan penangkapan empat orang tersebut secara sepihak. Beberapa warga setempat dengan dipimpin oleh Amir Biki seorang pimpinan dari Forum Studi dan Komunikasi 66 mendatangi Kodim 0502 meminta untuk membebaskan empat warga tersebut. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena pihak militer beranggapan bahwa keempat orang tersebut berbahaya apabila dilepaskan.

Pada 12 September 1984, pukul 10.00, Amir Biki diundang secara resmi oleh Jenderal Try Sutrisno. Pertemuan tersebut membicarakan tentang kebijakan asas tunggal yang oleh pemerintah harus diterapkan dalam masyarakat sehingga dapat mengendalikan situasi di Tanjung Priok. Biki juga meminta kepada Try Sutrisno untuk membebaskan empat warga Tanjung Priok yang ditahan. Namun, pertemuan selama dua jam tersebut  tidak membuahkan hasil.

Tuntutan warga Tanjung Priok yang tidak dikabulkan kemudian mengadakan ceramah yang diberikan oleh Amir Biki, Sapirin Maloko SH, dan M. Nasir pada 12 September 1984 pukul 19.30. Kegiatan tersebut kemudian diisi dengan ceramah-ceramah yang menyinggung penangkapan empat warga Tanjung Priok. Mereka juga menyinggung kelompok Islam yang semakin dikesampingkan oleh pemerintah Orde Baru. Pengeras suara yang dipasang pun dikeraskan volumenya dan mengarah langsung ke Markas Polres Jakarta Utara.

Pada pukul 22.00, markas aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang mengancam akan melakukan pengrusakan apabila empat orang warga Tanjung Priok tidak dibebaskan. Amir Biki juga meminta agar keempat orang tersebut diserahkan kepada massa peserta ceramah. Tidak berselang lama aparat keamanan juga menerima telepon dengan permintaan yang sama. Namun, dari dua permintaan tersebut aparat tidak mengabulkannya.

Hal ini kemudian membuat warga berbondong-bondong mendatangi markas Kodim 0502 sekitar pukul 23.00. Kompas dalam beritanya mencatat lebih kurang dari 1500 orang beramai-ramai meminta kepada aparat untuk membebaskan warganya. Mereka juga membawa senjata-senjata tajam yang cukup berbahaya.

Ketika warga mulai menuju Kodim 0502 tiba-tiba di depan Markas Polres Jakarta Utara mereka dihadang oleh satu regu Artileri Pertahanan Udara Sedang yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung, di bawah komando Kapten Sriyanto, Kodim Jakarta Utara. Aparat kemudian berusaha untuk membubarkan massa secara persuasif. Namun, situasi semakin tidak terkontrol ketika massa bergerak secara paksa.

Aparat mulai kewalahan menghadapi massa yang saat itu mulai tidak terkontrol. Mereka maju terus sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjata yang ada digenggamannya. Tembakan ke udara sebagai tanda peringatan tidak menghentikan amukan warga. Aparat mulai menembak ke tanah sehingga banyak dari warga yang terluka kakinya terkena tembakan.

Tidak berselang lama datanglah bantuan dari aparat keamanan dengan menggunakan panser-panser untuk menghalau massa. Gerombolan massa yang terdesak kemudian mundur, tetapi mereka sempat membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan satu apotek yang berada di dekat situ. Banyak dari warga kemudian lari meninggalkan lokasi dan berlindung di masjid-masjid. Namun, beberapa dari warga yang lari kemudian mengalami penyiksaan dari aparat.

Pada 13 September 1984 pukul 00.00 aparat mulai mengendalikan situasi. Warga yang terluka dan meninggal kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Aparat militer kemudian melakukan penggeledahan dan penangkapan di sekitar Tanjung Priok. Komnas HAM mencatat sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat penangkapan. Mereka kemudian ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur, dan Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis.

Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani mengatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas kerusuhan yang terjadi di Tanjung Priok dan akan menangkap mereka yang terbukti sebagai dalang peristiwa tersebut. Aparat keamanan mencatat sebanyak 53 orang terluka dan sembilan orang tewas. Selain itu juga terdapat 12 kendaraan bermotor dan tiga rumah termasuk satu apotek yang hangus terbakar.

Kanal Youtube Kompas TV, 14 November 2020

Peradilan kasus Priok

Beberapa saat setelah peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok, empat tersangka yang ditahan pada 10 September 1984 mulai diadili oleh aparat keamanan. Mereka diadili dengan tuduhan telah menghasut massa di Tanjung Priok untuk melakukan kerusuhan pada 12 September 1984. Ahmad Sahi dituduh memberikan informasi palsu tentang Sersan Hermanu yang memasuki musala tanpa melepas sepatu. Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman dituduh menyerang petugas keamanan, sedangkan Mohammad Noor dituduh membakar motor petugas.

Keempat orang tersebut kemudian dijatuhi hukuman penjara berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP. Ahmad Sahi dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, sedangkan Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman masing-masing 2,5 tahun penjara. Kemudian, Mohammad Noor juga menerima hukuman 18 bulan penjara.

Baca juga:  Keluarga Korban Ingin Penyelesaian Sesuai UU

Setelah berakhirnya vonis penjara atas empat tersangka, kemudian aparat keamanan mulai menyidangkan 28 orang yang dituduh melakukan aksi kerusuhan Tanjung Priok. 28 orang tersebut merupakan orang-orang yang diambil secara acak dari 200 orang yang ditahan di RTM Cimanggis. Sebagian besar para terdakwa mengalami cedera akibat penembakan atau kekerasan oleh aparat keamanan pada malam kerusuhan di Priok tersebut.

Sidang pengadilan 28 orang tersangka tersebut berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Semua terdakwa dinyatakan bersalah karena menyerang petugas keamanan dan terlibat langsung dalam kerusuhan. Disebutkan oleh Jaksa, mereka terbukti membawa senjata tajam dan bensin untuk membakar. Mereka juga mengabaikan tembakan peringatan oleh petugas, melempar batu, dan memukul petugas. Mereka juga dituduh telah memprovokasi massa untuk terlibat kerusuhan. Oleh karena itu, pengadilan menjatuhi mereka hukuman penjara antara 1–3 tahun.

Aparat juga menangkap beberapa aktivis yang dianggap menghasut massa atas terjadinya kerusuhan. Salah satunya adalah AM Fatwa yang ditangkap pada 19 September 1984. AM Fatwa ditangkap karena dituduh melakukan diskusi tentang peristiwa Tanjung Priok. Dia juga mengeluarkan Lembaran Putih yang isinya kronologi kerusuhan di Priok yang berbeda dengan versi pemerintah. Pada persidangannya AM Fatwa dijatuhi hukuman penjara 18 tahun karena terbukti melakukan tindak pidana subversif.

Selain itu, beberapa penceramah yang datang dalam tabligh akbar di Tanjung Priok pada malam sebelum kerusuhan juga dihadapkan di persidangan. Tanggal 20 Juli 1985, pengadilan mengadili Salim Qadar dan Yayan Hendrayana. Keduanya dituduh melakukan ceramah yang isinya mengkritik pemerintahan Orde Baru beserta para menterinya yang dianggap gagal dalam mengatasi krisis ekonomi. Ceramah-ceramah mereka juga dituduh sebagai bentuk provokasi masyarakat setempat untuk melakukan kerusuhan.

Komisi penyelidik pelanggaran HAM Tanjung Priok

Pemerintahan Orde Baru berakhir pada Mei 1998. Perubahan rezim membuat beberapa kasus pelanggaran HAM sepanjang Soeharto menjabat dibuka kembali. Begitupun dengan kasus Tanjung Priok 1984 yang dianggap janggal oleh Komnas HAM. Beberapa pihak juga meminta kepada pemerintah untuk membebaskan tahanan politik dan narapidana politik (tapol/napol) Orde Baru.

Para korban dan keluarga korban pun mulai mendatangi Komnas HAM meminta untuk dibuka kembali peristiwa berdarah tersebut. Mereka juga mendatangi kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk menuntut Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI (Menhankam/Pangab) dan Puspom ABRI untuk membuka kembali kasus Tanjung Priok secara transparan. Langkah ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dengan hadirnya ribuan massa dan beberapa tokoh politik yang hadir pada saat Peringatan 14 Tahun Peristiwa Tanjung Priok 1984.

Komnas HAM kemudian melakukan penyelidikan terhadap kasus Tanjung Priok tersebut. Beberapa saksi korban dan keluarga korban mendatangi kantor Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan. Mereka bersaksi bahwa ada anggota keluarganya yang belum kembali sejak kerusuhan di Priok 1984, kemudian ada juga korban yang mengalami cacat fisik akibat perlakuan aparat saat kejadian dan tidak mendapatkan santunan dari pemerintah.

Dalam pemeriksaan, Komnas HAM juga menemukan indikasi adanya kuburan massal korban kasus Tanjung Priok. Hal ini berasal dari dua saksi penggali kubur yang mendatangi Komnas HAM pada 9 November 1998. Dari delapan makam yang sudah ditemukan, ada lima keluarga yang telah mengkonfirmasi. Komnas HAM berkeyakinan bahwa jumlah korban peristiwa Priok jauh di atas laporan pemerintah.

Rumitnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok membuat keluarga korban mengajukan tiga usulan kepada DPR. Pertama, DPR diminta membuat Panitia Khusus untuk menyelidiki kasus Tanjung Priok karena salah satu kendala yang dihadapi adalah ketidakmampuan mendatangkan mantan petinggi militer. Kedua, DPR diminta menyusun RUU Komisi Pengakuan Sejarah Tindak Kekerasan. Ketiga, DPR diminta mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki terjadinya kekerasan agar menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM.

Baca juga: Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu

Pada tanggal 29 Februari 2000, Komnas HAM kemudian membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM untuk kasus Tanjung Priok. KPP HAM Tanjung Priok diketuai oleh Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto. Anggota KPP HAM didominasi anggota Komnas, yaitu Aisyah Aminy, BN Marbun, Albert Hasibuan, Samsudin, Charles Himawan, Saafroedin Bahar, dan Mohammad Salim.

KPP HAM Priok kemudian melakukan penyelidikan terhadap para petinggi militer yang bertugas pada saat peristiwa terjadi. Pada 24 Maret 2000, dipanggillah mantan Komandan Kodim Jakarta Utara, yaitu Mayjen TNI Butarbutar dan mantan asisten operasi Kodam Jaya Brigjen (Purn) Alip Pandoyo. Keduanya mengaku adanya permintaan satu pasukan peleton untuk membantu Kodim Jakarta Utara menghadapi warga Priok, namun mereka tidak tahu siapa yang memerintahkan.

Pada 3 Mei 2000, KPP HAM Priok juga memeriksa mantan Panglima Kodam (Pangdam) V Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) LB Moerdani. Try mengatakan, tidak ada perintah penembakan dari dirinya. Apa yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok itu sesuai dengan SOP, berdasarkan keadaan pada saat itu, sedangkan LB Moerdani tidak menjawab sepatah katapun karena kondisi kesehatannya yang menurun.

Berdasarkan pemeriksaan KPP HAM, Djoko Soegianto mengakui, tidak mudah baginya untuk mengungkap tragedi Tanjung Priok. Hal ini disebabkan karena sebagian dokumen, bukti, atau saksi sudah tidak ada lagi. Bahkan, beberapa dokumen sengaja dimusnahkan. Mantan Direktur Utama RSPAD, Brigjen (Purn) Sumardi, juga menyatakan tidak tahu sama sekali mengenai peristiwa tersebut pada saat terjadinya kasus Priok. Sumardi hanya mengetahui rumah sakitnya kedatangan 36 pasien yang menderita luka-luka kemudian setelah itu dibawa aparat.

Temuan mengenai kuburan massal korban Tanjung Priok kemudian mulai ditindaklanjuti oleh KPP HAM. Mereka berencana untuk menggali beberapa makam korban untuk diperiksa penyebab kematiannya. Untuk keperluan tersebut, Komnas HAM bekerja sama dengan tim forensik Universitas Indonesia, tim forensik kedokteran Polri dan tim laboratorium forensik Polri. Sepanjang penggalian dari bulan Agustus–September 2000, KPP HAM dapat memberikan kesimpulan sementara bahwa jumlah korban Priok 1984 lebih banyak dari yang diakui.

Hasil penyelidikan oleh KPP HAM Priok ini kemudian diserahkan kepada kejaksaan pada 14 Oktober 2000. Komnas HAM mengakui bahwa kasus kerusuhan Tanjung Priok 1984 dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dalam laporannya KPP HAM Priok juga menyertakan 23 nama yang diduga sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Pada 13 November 2000, Kejaksaan Agung mulai melakukan proses penyidikan kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok berdasarkan laporan dari Komnas HAM.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Komisi Penyelidik dan Pemeriksa (KPP) Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok jumpa pers di Kejaksaan Agung (14/10/2000) tentang kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok. Ia menyatakan KPP Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok, merekomendasikan 23 orang pelaku dan penanggung jawab yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM berat di Tanjung Priok bulan September 1984. Tampak anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, Djoko Soegianto dan Jaksa Agung Marzuki Darusman.

Pengadilan HAM ad hoc

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok diupayakan untuk diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. Hal ini  mengacu pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 berlaku dapat diadili melalui pengadilan HAM ad hoc.

Selagi proses penyelesaian kasus Priok di jalur hukum, mantan Panglima Kodam Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno, bersama pejabat keamanan lainnya yang bertugas saat kasus Tanjung Priok 1984 sepakat berdamai dengan korban (islah). Pembacaan piagam perdamaian dilangsungkan pada 7 Maret 2001 di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, dengan disaksikan Rektor Universitas Paramadina Mulya Nurcholish Madjid dan Panglima Kodam Jaya Mayjen Bibit Waluyo serta korban dan keluarga korban.

Namun, ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa islah harus dikukuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan disertai dengan pengungkapan kebenaran. Tanpa itu, islah tidak memiliki kekuatan yuridis untuk menghentikan proses hukum yang dilakukan kejaksaan. Oleh karena itu, proses hukum pengadilan HAM ad hoc terus berjalan.

Pada 21 Maret 2001, DPR secara resmi mengajukan usul kepada pemerintah untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kemudian Presiden, Ketua Mahkamah Agung, dan Jaksa Agung mengangkat dan menetapkan hakim dan jaksa ad hoc yang memiliki integritas dan bertanggung jawab.

Baru pada 12 Januari 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri akhirnya mengesahkan pengangkatan hakim ad hoc pengadilan HAM lewat Keppres Nomor 6/M. Presiden Megawati mengangkat enam hakim ad hoc pada pengadilan tinggi dan 12 hakim pada pengadilan tingkat pertama. Beberapa hakim ad hoc memiliki latar belakang yang berbeda-beda mulai dari akademisi hingga pensiunan hakim.

Sebelum pengadilan HAM ad hoc dibuka, pada 13 November 2002 Kejaksaan Agung mengumumkan 14 orang tersangka yang terbukti melakukan pelanggaran HAM kasus Tanjung Priok 1984. Namun, baru empat tersangka yang disebutkan, yakni Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) Mayjen Sriyanto, yang ketika itu menjabat sebagai Perwira Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara; mantan Komandan Polisi Militer Kodam Jaya Mayjen Pranowo; mantan Komandan Kodim Jakarta Utara Mayjen Rudolf Butar Butar; dan mantan Komandan Regu Artileri Pertahanan Udara Kapten Sutrisno Mascung.

KOMPAS/ANTON MEGOSURYA

Sidang kasus Tanjung Priok: Lima terdakwa dihukum masing-masing 20 bulan. Lima pemuda yang tertangkap pada kasus kerusuhan di Tanjung Priok 12 September 1984, masing-masing dijatuhi hukuman 20 bulan penjara potong tahanan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara (18/3/1985).

 

Pengadilan HAM ad hoc kemudian digelar pada September 2003 — Agustus 2004 dengan agenda pemeriksaan terhadap beberapa tersangka yang sudah ditetapkan dan kesaksian dari para korban. Beberapa pejabat aparat keamanan, ketika itu, dituduh melakukan tindakan pelanggaran HAM yang berat karena tidak mencegah atau menghentikan tindakan penyiksaan yang dilakukan anggotanya, serta tidak menyerahkan kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, mereka juga terbukti melakukan pembunuhan terhadap warga Tanjung Priok ketika peristiwa terjadi.

Beberapa saksi korban yang diperiksa dalam pengadilan HAM ad hoc juga menyatakan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok dirinya dipukuli secara bergantian oleh sejumlah aparat selama sekitar dua sampai tiga jam. Ada juga korban yang dimakamkan pada malam hari tanggal 13 September 1984 tanpa sepengetahuan keluarga korban. Beberapa mayat korban juga ada yang dibuang di Pulau Seribu.

Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang, aparat militer yang terbukti bersalah dituntut kurungan penjara selama lima hingga sepuluh tahun. Majelis hakim juga memutuskan kompensasi Rp1,15 miliar yang harus dibayar negara kepada korban atau keluarganya. Beberapa dari para tersangka tidak terima dengan keputusan pengadilan. Mereka kemudian mengajukan pembelaan dengan alasan tidak bertanggung jawab terhadap peristiwa Tanjung Priok.

Pada Agustus 2004, mantan Kepala Polisi Militer Kodam V Jaya Mayjen (Purn) Pranowo dan mantan Kepala Seksi Operasi Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara Mayjen Sriyanto divonis bebas setelah dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat. Beberapa anggota prajurit hanya divonis 2–3 tahun. Hanya Mayjen Rudolf Butar Butar yang divonis sepuluh tahun penjara.

Korban dan keluarga korban tidak menerima keputusan pengadilan atas dibebaskannya beberapa aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa Tanjung Priok. Meskipun pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Priok telah berakhir, keluarga korban Priok dan korban pelanggaran HAM lainnya, bersama dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat terus menyerukan keadilan kepada pemerintah. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Pertemuan Presiden Dengan Pemimpin Parpol2 & Golkar * Penjederhanaan Partai Mendjadi Tiga”. KOMPAS, 8 Oktober 1971, hal. 1.
  • “Penjederhanaan Partai2 Melalui Fusi”. KOMPAS, 25 Maret 1972, hal. 1.
  • “Sikap Terbaru Partai-partai Politik Islam Setuju Pakai Satu Bendera Dalam Pemilu 1976”. KOMPAS, 26 Oktober 1972, hal. 1.
  • “Partai Persatuan Pembangunan terbentuk”. KOMPAS, 8 Januari 1973, hal. 1.
  • “Diungkapkan pada harijadi Kopassandha: Banyak isyu dilemparkan untuk menyingkirkan presiden Soeharto”. KOMPAS, 17 April 1980, hal. 1.
  • “Keppres No. 1/1982 : Mulai 4 Januari Semua Harga BBM Dinaikkan”. KOMPAS, 4 Januari 1982, hal. 1.
  • “Kenaikkan Harga BBM Seharusnya tidak Berpengaruh Besar Terhadap Harga Barang : Naiknya Harga Barang yang Tinggi Hanya Disebabkan Panik Di Daerah Ditandai dengan Naiknya Tarif Angkutan”. KOMPAS, 5 Januari 1982, hal. 1.
  • “Empat Masalah Politik Mendasar Ditegaskan PB NU kepada DPP PPP”. KOMPAS, 2 Februari 1983, hal. 1.
  • “Bertentangan dengan Konstitusi Bila Asas Tunggal Tak Dilaksanakan”. KOMPAS, 8 Juni 1983, hal. 1.
  • “Asas Tunggal Harus Diamalkan * Lima RUU Baru”. KOMPAS, 15 Desember 1983, hal. 1.
  • “RUU tentang organisasi kemasyarakatan”. KOMPAS, 27 Juni 1984, hal. 4.
  • “Tidak berarti menolak Pancasila – Walau belum mencantumkan sebagai satu-satunya asas dalam Anggaran Dasar”. KOMPAS, 19 Juli 1984, hal. 8.
  • “Pangab Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani Waspada terhadap kegiatan yang menyalahgunakan agama”. KOMPAS, 22 Agustus 1984, hal. 1.
  • “Penjelasan resmi Pangkopkamtib tentang peristiwa Tanjungpriok”. KOMPAS, 14 September 1984, hal. 1.
  • “Tanya jawab mengenai kerusuhan Tanjungpriok”. KOMPAS, 14 September 1984, hal. 1.
  • “Komnas Diminta Usut Kasus Tanjungpriok dan Lampung”. KOMPAS, 18 Juni 1998, hal. 6.
  • “Korban Kasus Tanjungpriok Berunjuk Rasa di Komnas HAM”. KOMPAS, 20 Juni 1998, hal. 6.
  • “Pemerintah agar Segera Bebaskan Tapol/Napol Islam”. KOMPAS, 27 Juni 1998, hal. 6.
  • “Menhankam Pangab Diminta Buka Kembali Kasus Priok”. KOMPAS, 25 Juli 1998, hal. 6.
  • “Ribuan Massa Peringati Peristiwa Tanjungpriok”. KOMPAS, 13 September 1998, hal. 1.
  • “Korban Kasus Tanjungpriok Datangi Komnas HAM”. KOMPAS, 1 Oktober 1998, hal. 15.
  • “Saksi Penggali Kubur Kasus Priok ke Komnas HAM”. KOMPAS, 10 November 1998, hal. 11.
  • “Keluarga Korban Tanjungpriok Beri Tiga Usulan kepada DPR”. KOMPAS, 5 November 1999, hal. 7.
  • “Komnas HAM Bentuk KPP HAM Priok”. KOMPAS, 1 Maret 2000, hal. 8.
  • “KPP HAM Priok Didominasi Anggota Komnas HAM Djoko Soegianto Ketua KPP”. KOMPAS, 8 Maret 2000, hal. 8.
  • “KPP HAM Priok Periksa Dua Jenderal”. KOMPAS, 25 April 2000, hal. 8.
  • “Mantan Direktur RSPAD Diperiksa dalam Kasus Priok”. KOMPAS, 27 April 2000, hal. 8.
  • “LB Moerdani dan Try Sutrisno Datangi KPP HAM Tanjungpriok * Try: Tidak Ada Perintah Penembakan”. KOMPAS, 4 Mei 2000, hal. 1.
  • “Sebagian Dokumen Kasus Priok Dimusnahkan”. KOMPAS, 8 Mei 2000, hal. 8.
  • “KPP HAM Priok Datangi Lokasi Makam”. KOMPAS, 25 Mei 2000, hal. 8.
  • “Libatkan Pakar Forensik * Komnas HAM Siapkan Penggalian Korban Priok”. KOMPAS, 18 Juli 2000, hal. 8.
  • “Makam Korban Priok Mulai Digali”. KOMPAS, 31 Agustus 2000, hal. 8.
  • “Digali, Makam Korban Priok di Ganceng”. KOMPAS, 12 September 2000, hal. 27.
  • “Jumlah Korban Priok Lebih Banyak dari yang Diakui”. KOMPAS, 26 September 2000, hal. 6.
  • “Hasil KPP HAM Priok Diserahkan ke Kejaksaan”. KOMPAS, 14 Oktober 2000, hal. 6.
  • “Pelanggaran HAM Kasus Tanjungpriok Komnas HAM Rekomendasikan 23 Nama”. KOMPAS, 15 Oktober 2000, hal. 2.
  • “Proses Penyidikan Kasus HAM Priok Dimulai”. KOMPAS, 15 November 2000, hal. 11.
  • “Soal Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc”. KOMPAS, 18 Desember 2000, hal. 7.
  • “Try Sutrisno dan Korban Tanjung Priok Berdamai”. KOMPAS, 8 Maret 2001, hal. 1.
  • “Islah Kasus priok Bisa Jadi Model Penyelesaian”. KOMPAS, 9 Maret 2001, hal. 1.
  • “DPR Usul Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Timtim dan Tanjung Priok”. KOMPAS, 22 Maret 2001, hal. 1.
  • “Tim Advokasi HAM Perwira TNI * Pilih Jaksa dan Hakim Ad Hoc Independen”. KOMPAS, 28 Maret 2001, hal. 7.
  • “Keppres Pengangkatan Hakim HAM Ad Hoc Akhirnya Ditandatangani * Pengadilan HAM Diperkirakan Februari”. KOMPAS, 15 Januari 2002, hal. 7.
  • “Tersangka Kasus Tanjung Priok 14 Orang – Termasuk Mayjen Sriyanto”. KOMPAS, 14 November 2002, hal. 7.
  • “Dakwaan Tanjung Priok Dibacakan”. KOMPAS, 16 September 2003, hal. 7.
  • “Kasus Tanjung Priok Pranowo Didakwa Lakukan Kejahatan Kemanusiaan”. KOMPAS, 24 September 2003, hal. 7.
  • “Mantan Dandim Jakarta Utara Didakwa Lakukan Pelanggaran HAM Berat”. KOMPAS, 1 Oktober 2003, hal. 7.
  • “Danjen Kopassus Diadili dalam Kasus Tanjung Priok Ratusan Anggota Kopassus Memadati Persidangan”. KOMPAS, 24 Oktober 2003, hal. 7.
  • “Sidang Kasus Tanjung Priok Pasukan Arhanudse Menembak Massa Tanpa Peringatan”. KOMPAS, 28 Oktober 2003, hal. 7.
  • “Sidang Priok, Saksi Mengaku Disiksa”. KOMPAS, 13 November 2003, hal. 8.
  • “Para Korban Tanjung Priok Dimakamkan Tanpa Diketahui Identitasnya”. KOMPAS, 16 Maret 2004, hal. 7.
  • “Mayat Korban Tanjung Priok Dibuang ke Pulau Seribu”. KOMPAS, 30 Maret 2004, hal. 7.
  • “Butar Butar Dihukum 10 Tahun Penjara”. KOMPAS, 1 Mei 2004, hal. 7.
  • “Mayjen Pranowo Dituntut Penjara Lima Tahun”. KOMPAS, 3 Juli 2004, hal. 7.
  • “Mayjen Sriyanto Dituntut 10 Tahun”. KOMPAS, 9 Juli 2004, hal. 7.
  • “Sutrisno dan Anak Buah Dituntut 10 Tahun”. KOMPAS, 10 Juli 2004, hal. 7.
  • “Mayjen (Purn) Pranowo Dibebaskan Pengadilan”. KOMPAS, 11 Agustus 2004, hal. 1.
  • “Perkara Pelanggaran HAM Tanjung Priok Sriyanto Juga Dibebaskan Pengadilan”. KOMPAS, 13 Agustus 2004, hal. 1.
  • “Sutrisno Mascung Divonis Tiga Tahun – Kompensasi untuk Korban Tanjung Priok Rp 1 Miliar”. KOMPAS, 21 Agustus 2004, hal. 1.
Buku
  • Aswidah, Roichatul, dkk (ed.). 2014. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: Komnas HAM RI.
  • Bourchier, David dan Hadiz, Vedi R. (ed.). 2006. Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
  • Fatwa, A.M. 2000. Demi Sebuah Rezim: Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • ———. 2005. Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional. Jakarta: Dharmapena Publishing.
  • Pusat Studi dan Pengembangan Informasi. 1998. Tanjung Priok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani Press.
  • Putra, Anak Agung Gde dkk (ed.). 2012. Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
  • 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
Laporan Penelitian
  • Djamas, Nurhayati. 1991. “Behind the Tanjung Priok Incident, 1984: The Problem of Political Participation in Indonesia”. Tesis. New York: Cornell University.