Paparan Topik | Kedaulatan Maritim

Menjaga Tapal Batas Nusantara

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi tantangan sengketa perbatasan yang kompleks, baik di darat maupun di laut, akibat posisi geografisnya yang strategis dan kaya sumber daya alam.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Warga berada di area Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Sebatik di Desa Sei Pancang, Sebatik Utara, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang telah selesai dibangun, Sabtu (16/7/2022). Proyek PLBN Terpadu Sebatik yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia, dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sejak Februari 2020.

Fakta Singkat

  • Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.500 pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

  • Wilayah Indonesia berbatasan darat dengan tiga negara dan memiliki batas laut dengan sepuluh negara tetangga.

  • Pulau-pulau kecil terluar Indonesia tersebar di 18 provinsi dan menjadi penentu batas wilayah laut serta kedaulatan nasional.

Di antara garis khatulistiwa dan cakrawala samudra, Indonesia membentang sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Negeri ini tidak hanya terdiri dari gugusan daratan, melainkan juga jaringan kepulauan yang membentuk identitas maritimnya: lebih dari 17.500 pulau yang saling terhubung dan terbentang dari Sabang hingga Merauke. 

Luas daratannya mencapai 1.916.906 kilometer persegi, sementara wilayah lautnya jauh lebih besar, sekitar 6,32 juta kilometer persegi. Angka-angka ini tidak hanya mencerminkan kekayaan geografis, tetapi juga kompleksitas politik dan hukum dalam mengelola batas wilayah. Di balik keindahan peta Nusantara, tersembunyi persoalan pelik sengketa perbatasan yang terus menyala, baik di darat maupun di laut.

Wilayah Indonesia berbatasan langsung di darat dengan tiga negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Sementara di laut, negeri ini berbagi tapal batas dengan setidaknya sepuluh negara tetangga, yakni Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, India, Palau, Australia, Papua Nugini, dan Timor Leste. 

Posisi strategis ini menjadikan Indonesia sebagai simpul lalu lintas global, namun juga membuatnya rentan terhadap klaim wilayah yang tumpang tindih, baik secara historis, administratif, maupun sumber daya. 

Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara hadir sebagai kerangka hukum nasional yang menegaskan bahwa wilayah Indonesia mencakup seluruh ruang darat, perairan, dasar laut, tanah di bawahnya, ruang udara di atasnya, dan semua sumber daya yang terkandung di dalamnya. Namun, peraturan di atas kertas tidak serta-merta menjamin kedaulatan sepenuhnya jika di lapangan batas itu belum diakui, belum dijaga, atau belum ditegaskan.

Sipadan dan Ligitan

Salah satu contoh paling mencolok dari lemahnya pengawasan tapal batas adalah sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau kecil di kawasan Selat Makassar ini pernah diklaim sebagai bagian dari wilayah Indonesia, namun akhirnya jatuh ke tangan Malaysia setelah melalui sidang Mahkamah Internasional pada tahun 2002. Luas Pulau Sipadan sekitar 50.000 meter persegi dan Pulau Ligitan 18.000 meter persegi terlihat kecil di peta, namun berdampak besar secara geopolitik.

Sejak 3 Juni 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag mulai menyidangkan sengketa Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau tersebut diklaim bersama oleh Indonesia dan Malaysia sebagai bagian dari wilayah kedaulatan masing-masing. 

Pada 31 Mei 1997, kedua negara resmi mengajukan kasus ini ke Mahkamah Internasional. Tanggal 2 November 1998, kasus ini dimasukkan ke agenda persidangan dan dibahas pada Juni 2002. Akhir 2002, Mahkamah Internasional diharapkan sudah dapat memutuskan siapa yang berhak atas kedua pulau tersebut.

Indonesia dan Malaysia sempat sepakat bahwa status kedua pulau berada dalam kondisi status quo, yakni tidak boleh dimanfaatkan atau dikembangkan oleh salah satu pihak. Namun, di lapangan Malaysia justru membangun mercusuar, fasilitas pariwisata, dan kawasan konservasi penyu.

Pembangunan ini dijadikan bukti oleh Malaysia dalam persidangan di Den Haag. Indonesia, yang tidak memiliki catatan administratif kuat atas pengelolaan kedua pulau, akhirnya kehilangan klaimnya. Kasus ini menjadi cermin bahwa keberadaan hukum saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan kehadiran nyata negara dan aktivitas administratif yang sah di wilayah-wilayah batas.

Pulau Sebatik: Batas yang Samar

Di Kalimantan Utara, Pulau Sebatik juga menyimpan persoalan batas yang belum sepenuhnya tuntas. Pulau ini dibagi dua oleh garis imajiner yang memisahkan wilayah Indonesia dan Malaysia. Bagian utara dikuasai Malaysia, sedangkan bagian selatan seluas sekitar 246.000 hektar dimiliki Indonesia. Kondisi ini membuat warga di perbatasan memiliki hubungan ekonomi dan kultural panjang di batas darat dan laut.

Pulau Sebatik merupakan salah satu Outstanding Boundary Problems (OBP) antara Indonesia dan Malaysia. Pada 2019, dilakukan demarkasi ulang untuk menggantikan batas yang ditetapkan Belanda dan Inggris tahun 1915. 

Permasalahan utamanya adalah tidak adanya batas fisik yang jelas di sebagian besar pulau ini. Hanya beberapa patok tua yang menjadi penanda, dan sebagian telah hilang atau rusak. Akibatnya, warga kedua negara bebas keluar-masuk tanpa prosedur imigrasi resmi. Anak-anak bisa bersekolah di seberang batas, dan pasar tradisional sering kali menjadi ruang interaksi lintas negara yang tidak tercatat. Situasi ini memperlihatkan betapa rentannya sebuah batas negara jika tidak dijaga dan ditegaskan secara fisik dan hukum.

Pemerintah Indonesia telah menurunkan tim survei untuk memetakan ulang batas wilayah, namun prosesnya berlangsung lama karena memerlukan persetujuan bilateral serta validasi data historis dan teknis yang tidak selalu sinkron.

Enclave Oecusse

Di ujung tenggara Indonesia, terdapat enclave bernama Oecusse, wilayah Timor Leste yang dikelilingi sepenuhnya oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keberadaan enclave ini menciptakan dinamika tersendiri, karena mobilitas warga Oecusse harus melewati wilayah Indonesia setiap kali hendak menuju wilayah utama Timor Leste.

Persoalan paling besar terjadi di Okusi (Oecusse), sebuah wilayah enclave Timor-Leste yang terletak di dalam wilayah Indonesia di Timor Barat. Para perunding kedua negara belum berhasil menyepakati beberapa garis perbatasan Okusi dengan wilayah Indonesia, yang berpotensi memicu persengketaan kecil dan bahkan konflik yang lebih besar jika tidak segera diselesaikan.

 Tanpa ada kesepakatan final soal garis perbatasan, langkah-langkah untuk memperbaiki manajemen perbatasan akan mandek. Persoalan administrasi, izin lintas batas, dan kontrol keamanan menjadi isu harian, terutama ketika terjadi ketegangan diplomatik.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai pertemuan teknis dengan Pemerintah Timor Leste untuk menyelesaikan delimitasi batas, namun proses tersebut menghadapi kendala pada aspek sosial dan budaya masyarakat lokal yang telah hidup berdampingan selama puluhan tahun tanpa garis pemisah yang tegas. Kasus Oecusse menggambarkan bahwa perbatasan bukan hanya soal koordinat, melainkan juga sejarah, identitas, dan keterikatan sosial yang tak mudah dipetakan oleh satelit atau kompas politik.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Fenomena gunung lumpur yang dikenal warga setempat sebagai potok yang terbentuk karena adanya semburan gas bercampur lumpur di Desa Napan, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Rabu (2/8/2017). Wilayah ini merupakan perbatasan dengan enklave Distrik Oecusse, Timor Leste.

Laut Natuna: Sengketa Sumber Daya dan Geopolitik

Sengketa lain yang cukup strategis adalah di Laut Natuna Utara. Wilayah perairan ini kaya akan sumber daya ikan, minyak, dan gas alam, serta menjadi jalur pelayaran internasional yang vital. Klaim sepihak dari Republik Rakyat Tiongkok atas wilayah ini melalui konsep sembilan garis putus-putus (nine-dash line) telah menimbulkan ketegangan diplomatik.

Berdasarkan Pasal 4 UU No 5/1983, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan, dan konservasi sumber daya hayati dan non-hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta di atasnya. Hal ini sejalan dengan Pasal 56 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, di mana China menjadi salah satu penandatangan dan telah meratifikasinya pada 15 Mei 1996.

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Salah satu anak buah kapal berbendera Vietnam melihat dua kapalnya dari lambung Kapal Polisi (KP) Bisma-8001 yang sandar di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (23/3/2021). Sebelumnya, KP Bisma-8001 milik Korps Kepolisian Air dan Udara Badan Pemeliharaan Keamanan Polri menangkap dua kapal berbendera Vietnam itu yang sedang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Kepri, Kamis (18/3/2021).

Tiongkok mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan, termasuk perairan yang oleh Indonesia dianggap sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Pada tahun 2021, Beijing secara resmi meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas di wilayah Natuna, permintaan yang langsung ditolak oleh Jakarta.

Sebagai respons, pemerintah memperkuat kehadiran armada nelayan nasional, memperbanyak patroli militer, serta membangun sentra kelautan dan perikanan di kawasan Natuna. Kehadiran warga sipil dalam skala besar di wilayah rawan sengketa diyakini akan memperkuat posisi Indonesia di mata internasional, karena prinsip penguasaan efektif sangat diperhitungkan dalam hukum laut.

Blok Ambalat: Titik Panas di Perbatasan Laut

Selain Laut Natuna, kawasan Blok Ambalat juga menjadi sumber ketegangan antara Indonesia dan Malaysia. Blok ini merupakan wilayah laut yang dipercaya memiliki cadangan minyak dan gas besar. Sejak awal 2000-an, kedua negara mengklaim wilayah ini sebagai bagian dari ZEE mereka. 

Beberapa kali kapal perang kedua negara saling berhadapan, meski belum sampai pada bentrokan bersenjata. Pemerintah Indonesia berdiri pada kerangka hukum UNCLOS 1982 yang menetapkan batas ZEE berdasarkan garis pantai dan proyeksi teritorial. Hingga kini, belum ada kesepakatan final mengenai status Blok Ambalat, namun Indonesia tetap menempatkan kehadiran aktif di kawasan tersebut sebagai bentuk komitmen menjaga wilayah kedaulatan.

Klaim tumpang tindih dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya.

Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Inilah sebabnya banyak negara berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut.

Semua sengketa ini memperlihatkan bahwa persoalan batas wilayah tidak bisa dianggap sebagai isu pinggiran. Ia bersentuhan langsung dengan isu kedaulatan, keamanan nasional, ketahanan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat perbatasan. Di era modern ini, batas negara tidak lagi hanya dijaga dengan senjata, tetapi juga dengan administrasi yang rapi, diplomasi yang cermat, kehadiran sosial yang berkelanjutan, dan penguatan infrastruktur nasional. Kehadiran sekolah, pos kesehatan, pelabuhan perikanan, dan jaringan komunikasi di daerah perbatasan jauh lebih ampuh dalam memperkuat kedaulatan ketimbang sekadar klaim di atas peta. Dalam semangat ini, pemerintah pusat dan daerah harus terus bergandengan tangan untuk menjadikan kawasan perbatasan bukan sebagai ruang terluar yang ditinggalkan, melainkan sebagai beranda utama yang mencerminkan kekuatan dan martabat Indonesia sebagai negara maritim yang utuh dan berdaulat.

Belajar dari kasus-kasus perbatasan ini, akar permasalahannya adalah kepentingan terhadap sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, yang terbentang di wilayah itu. Karena di laut, penanganannya pun menjadi lebih sulit dan mahal ketimbang di darat. Di darat, Indonesia hanya berbatasan dengan tiga negara, sedangkan di laut, “bersentuhan” dengan sepuluh negara. Untuk menangani batas laut, upaya harus diarahkan pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar. Pada pulau-pulau ini, negara meletakkan titik dasar (TD) yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia (yang perlu direvisi karena masih mencantumkan Sipadan dan Ligitan).

Pulau-pulau tersebut menjadi penentu kepastian tiga jenis batas di laut: batas teritorial laut, batas landas kontinen, dan batas Zona Ekonomi Eksklusif. Jika salah satu pulau itu mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan, otomatis kita akan kehilangan sebagian dari wilayah kita, meski kecil dibanding total luas wilayah. Pulau-pulau ini sangat strategis dan rawan konflik karena berperan sebagai penentu volume wilayah NKRI serta wilayah yang potensial disengketakan karena bersinggungan dengan wilayah internasional.

Pulau-pulau kecil terluar ini tersebar di 18 provinsi dan 34 kabupaten, meliputi Kepulauan Riau (20 pulau), Maluku (18 pulau), Sulawesi Utara (11 pulau), Papua (9 pulau), Nanggroe Aceh Darussalam (6 pulau), NTT (5 pulau), Kalimantan Timur (4 pulau), Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur (masing-masing 3 pulau), Bengkulu dan Sumatera Barat (2 pulau), serta Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Lampung (masing-masing satu pulau). Luas pulau-pulau ini berkisar antara 0,02 hingga 200 km persegi, dan hanya 50 persen yang dihuni.

Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk menangani isu-isu perbatasan di laut adalah dengan mengusulkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengelolaan ke-92 pulau kecil terluar. Rancangan Keppres ini diinisiasi Departemen Kelautan dan Perikanan sejak era Pemerintahan Megawati, saat kasus Sipadan dan Ligitan menghangat, namun hingga kini belum diterbitkan. Keppres ini diharapkan menjadi landasan sekaligus aksi nasional pengembangan pulau kecil terluar, memperkuat kedaulatan dan kehadiran Indonesia di tapal batas Nusantara.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Internet
Arsip Kompas
  • Sudah Diresmikan Sejak Oktober 2024, PLBN Sebatik Belum Juga Dioperasikan, Kompas.id, 1 Juni 2025
  • Sipadan dan Ligitan dari Satelit Landsat-7, Kompas, 11 Juni, hlm. 10.
  • Mendayung Biduk Retak di Tengah Gelombang Karang *Laporan Akhir Tahun Bidang Internasional, Kompas, 23 Desember 2002, hlm. 4.
  • Sipadan-Ligitan Selama Ini Kurang Diperhatikan, Kompas, 20 Desember 2002, hlm. 6.
  • NKRI di Perbatasan: Menjaga Simbol Kedaulatan RI di Tapal Batas…, Kompas, 16 Agustus 2019, hlm. 1.
  • Tak Mudah Melaut di Sebatik, Kompas, 22 Agustus, hlmn. C.
  • Tantangan Pertahanan Kepulauan, Kompas, 3 Januari 2021, hlm. 3. 
  • Ambalat, Milik Siapa?, Kompas, 8 Maret 2005, hlm. 4.
  • Ambalat dan Urgensi Pengelolaan Pulau, Kompas, 8 Maret 2005, hlm. 4.

Artikel terkait