Paparan Topik | Politik dan Demokrasi

Memahami Dinamika Demokrasi di Indonesia

Melalui proses historis panjang, Demokrasi Pancasila merupakan pedoman pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pemilihan Umum tahun 2024 mendatang merupakan manifestasi demokrasi untuk menentukan arah keberlanjutan perjalanan bangsa ini.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoblos contoh surat suara saat peluncuran hari pemungutan suara pemilu serentak 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (14/2/2022). Pemilu serentak sendiri akan berlangsung pada 14 Februari 2024 atau tepat dua tahun yang akan datang. Acara tersebut juga dihadiri perwakilan partai politik, Bawaslu, dan DKPP.

.

Fakta Singkat

  • Pemikiran dan praktik demokrasi telah ada sejak peradaban Yunani pada 2.500 tahun lalu.
  • Pasca-runtuhnya peradaban Yunani, teori demokrasi mulai bangkit lagi pada Abad Pencerahan (Renaissance).
  • Era demokrasi di Indonesia terbagi atas tiga masa; Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila.
  • Persoalan umum demokrasi Indonesia saat ini terjadi dalam masalah demokrasi yang cenderung melahirkan praktik korup dan maraknya politik identitas.
  • Skor indeks demokrasi Indonesia pada 2021 sebesar 6,71.
  • Pemilu 2024 resmi diselenggarakan pada 14 Februari 2024 sesuai yang tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024.

Pada kancah nasional, dinamika politik elektoral kian dekat dengan salah satu pesta demokrasi terbesar di Indonesia, yakni Pemilihan Umum tahun 2024. Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, kepastian pelaksanaan dan jadwal pesta demokrasi 2024 telah ditetapkan secara resmi.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut ditandatangani oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Penandatanganan dilakukan pada 9 Juni 2024 di Jakarta. Di dalamnya, termuat detail mengenai Pemilu 2024, meliputi asas dan prinsip pemilu, landasan hukum, tahapan, hingga detail waktu pelaksanaan pemilu. Bersamaan dengan penetapan ini, maka tahapan Pemilu 2024 akan dimulai pada 14 Juni nanti.

Perundangan PKPU dan ketetapan terselenggaranya Pemilu 2024 yang sesuai jadwal, selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada Senin (30/5/2022). Dalam pertemuan dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Joko Widodo menyampaikan dukungannya untuk terselenggaranya Pemilu 2024 nanti.

Seusai pertemuan tersebut, Ketua KPU menyampaikan bahwa Presiden ingin memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 dilaksanakan sesuai dengan jadwal dan tepat waktu reguler lima tahunannya. Presiden juga berpesan akan memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, hingga Menteri Kesehatan untuk mendukung penuh KPU (Kompas, 31/5/2022, “Agenda Demokrasi: Presiden Ingin Pemilu Tepat Waktu”). Pemilu 2024 menjadi perwujudan kehadiran dan penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.

Sejarah Demokrasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi dipahami sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau secara singkat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.

Mengacu pada pakar ilmu politik Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, demokrasi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani demos dan kratos. Demos sendiri memiliki arti rakyat, sementara kratos berarti kekuasaan atau berkuasa. Perpaduan kedua kata tersebut dimaknai secara harafiah sebagai “rakyat berkuasa” atau “kekuasaan oleh rakyat”.

Melalui akar kebahasaan tersebut, diketahui bagaimana peradaban Yunani menjadi sumber dari pemikiran dan praktik demokrasi. Dalam artikel akademik “Demokrasi Indonesia dalam Lintasan Sejarah” yang ditulis Dhani Kurniawan (2016) disebutkan wujud demokrasi terejawantahkan dalam ruang-ruang polis sebagai bentuk-bentuk kota klasik pada masa tersebut, secara khusus di polis Athena, yakni pada masa Helenistik atau periode puncak pengaruh tradisi Yunani klasik.

Dalam sistem pemerintahan di kota Athena, pembuatan kebijakan didasarkan pada suara mayoritas dalam pemungutan suara publik. Setiap permasalahan dalam lingkup kehidupan polis yang berkaitan dengan urusan publik diselesaikan secara terbuka melalui pemungutan suara. Bentuknya, para penduduk asli Athena memperoleh hak-hak politik yang sama. Mereka dapat memilih, duduk di majelis rakyat, hingga memegang jabatan publik.

Robert K. Fleck dan F. Andrew Hanssen dalam “The Origins of Democracy: A Model With Application to Ancient Greeks” menuliskan terminologi demokrasi, yakni proses keputusan terhadap kebijakan publik yang dibuat melalui majelis rakyat yang mewakili berbagai golongan secara luas.

Di dalamnya, tak hanya dapat diisi oleh para aristokrat, melainkan juga kelompok petani, bahkan warga yang tidak memiliki tanah punya hak suara. Konteks ini yang membedakan demokrasi Athena dengan polis lainnya pada era 2.500-an tahun lalu.

Namun, seiring runtuhnya tradisi Yunani kuno sebagai pusat peradaban dunia, bentuk demokrasi semacam itu lambat laun mulai berubah. Konsep demokrasi pun seakan hilang dalam praktik pemerintahan dunia. Sistem tersebut mulai berganti bersamaan dengan lahirnya zaman baru di Eropa, yakni masa Renaisans.

Periode Renaisans yang kerap dimaknai secara harafiah sebagai Abad Pembaharuan, menjadi masa kelahiran dan penggalian kembali warisan Yunani kuno. Mulai pada abad ini, karya-karya filsuf Yunani kuno mendapatkan paparan perhatian serius dari dunia akademik dan politik di benua Eropa. Termasuk di dalamnya, adalah praktik demokrasi Yunani kuno yang mengilhami filsuf dan pemikir Eropa.

Nama-nama besar seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, hingga Montesqeus sebagai para pemikir yang memberikan peran besar bagi teori demokrasi modern. Orang-orang tersebut bertolak dari warisan demokrasi Yunani dan memandangnya dalam aktualitas zaman.

Dalam “Sejarah dan Prospek Demokrasi” yang ditulis Dadang Supardan (2015) disebutkan perkembangan demokrasi secara pesat muncul pada momen-momen perang saudara di Inggris, Konstitusi Kepulauan Rhode 1641, hingga perumusan Konstitusi Amerika 1788.

Namun, konseptualisasi demokrasi yang signifikan baru muncul dalam Revolusi Prancis 1789. Aliran-aliran Republikanisme mulai menggunakan nama demokrasi dalam menantang dominasi sistem monarki di Eropa.

Pada sekitar abad ke-19, wacana akan konsep demokrasi mulai bergeser, dari menunjuk sebagai produk dari “sumber kekuasaan” semata, menjadi “suatu cara memerintah” yang ditandai dengan munculnya sistem perwakilan parlemen.

Memasuki abad ke-20, terjadi banyak perubahan sosial dan ekonomi. Salah satunya adalah cara pandang peran demokrasi terhadap kesejahteraan rakyat. Seiring dengan perubahan tersebut, sistem yuridiksi hukum klasik yang umum berlaku pada abad ke-19 ditinjau dan dirumuskan kembali menyesuaikan tuntutan abad ke-20, terutama pasca-Perang Dunia II.

Salah satu implikasi dari seluruh fenomena ini adalah kian meluasnya praktik demokrasi di berbagai negara di dunia. Demokrasi tidak hanya sebatas suatu konsep politik, tetapi juga harus mencakup dimensi ekonomi dan sosial, sebagai upaya menyejahterakan masyarakat luas.

International Commision of Jurists melakukan konseptualisasi syarat-syarat demi terwujudnya pemerintah yang demokratis. Hasilnya tertuang dalam Rule of Law dan disampaikan dalam konferensi di Bangkok pada 1965.

Isi daripada syarat-syarat tersebut adalah: 1) perlindungan konstutusional; 2) adanya badan kehakiman yang beban dan independen; 3) dilaksanakannya pemilihan umum yang bebas; 4) kebebasan menyatakan pendapat; 5) kebebasan untuk berserikat maupun beroposisi; dan 6) dilaksanakannya pendidikan kewarganegaraan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Contoh surat suara dengan desain yang disederhanakan saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022). KPU membuat terobosan dengan menyederhanakan surat suara dari lima surat suara (Pemilu 2019) menjadi dua dan tiga surat suara untuk Pemilu 2024. Simulasi penyederhanaan surat suara ini masih merupakan riset yang coba dilakukan KPU. Nantinya, para pemilih yang sudah melangsungkan simulasi akan dimintakan pendapat dan pandangannya terkait model surat suara mana yang lebih disukai.

Perkembangan demokrasi Indonesia

Perkembangan demokrasi di Indonesia sendiri berangkat bersamaan dengan momen berakhirnya Perang Dunia II. Pasca-momen besar yang memengaruhi dunia internasional tersebut, mulai muncul negara-negara baru khususnya di benua Asia dan Afrika. Dalam fase awal kemerdekaan, negara-negara tersebut segera berupaya mencari sistem pemerintahan yang paling sesuai, pembangunan aparatur administrasi yang efektif, dan pembangunan ekonomi.

Demokrasi Parlementer (1945–1959)

Indonesia dalam fase awal kemerdekaannya berangkat dari bentuk demokrasi parlementer. Dalam rupa pengaruh politik tersebut, ditonjolkan peranan dari elemen parlemen dan sistem kepartaian.

Kehadiran demokrasi parlementer ini diperkuat dengan kehadiran Undang-Undang Dasar (UUD) 1949 dan 1950. Pemilihan ini tak lepas dari sistem demokrasi yang dianut Belanda yang telah lama berkuasa di Indonesia.

Sistem parlementer memberikan peluang besar seperti partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat, untuk mendominasi dalm setiap gerak langkah demokrasi. Pemberian hak yang besar pada partai politik, menempatkan partai politik menjadi fondasi bagi kabinet pemerintahan yang sedang berlangsung.

Pada era tahun 1955-an atau periode pra-pemilihan umum, kabinet-kabinet yang dibentuk tidak dapat bertahan lebih dari delapan bulan. Kondisi demikian berdampak negatif pada stabilitas pembangunan ekonomi nasional. Pemerintahan yang berlangsung pada saat itu kesulitan mendapatkan dukungan politik, sehingga berdampak pada dukungan pelaksanaan program yang telah diwacanakan.

Untuk menyelesaikan dinamika politik yang terjadi saat itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang membubarkan konstituante dan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Demokrasi Terpimpin (1959–1965)

Dekrit Presiden 5 Juli pada saat itu dipandang sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Dalam perkembangannya, terjadi sejumlah tindakan menyimpang terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar yang mengusung nilai demokrasi sejati.

Salah satunya ditunjukkan oleh usaha Presiden Soekarno untuk memperkuat posisi dan kelangsungan jabatannya melalui Ketetapan MPRS No. III/1963. Melalui ketetapan tersebut, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Ketentuan ini membatalkan dinamika demokrasi yang telah dijamin melalui UUD 1945, bahwa seorang presiden terpilih hanya dapat menjabat dalam masa jabatan maksimal lima tahun.

Kebijakan lain yang tidak selaras adalah pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari hasil Pemilu terdahulu. Hal ini berbeda dengan kebijakan UUD 1945 yang tidak menetapkan kekuasaan presiden hingga taraf tersebut.

Sebagai ganti dari DPR yang dibubarkan, Presiden Soekarno memilih sendiri dan mendirikan DPR-Gotong Royong. Kehadiran dewan demikian menggeser hakikat fungsionalnya sebagai representasi rakyat, dan menjadi pembantu dari kekuasaan presiden semata.

Masih terdapat sejumlah penyelewengan demokrasi lain melalui kekuatan kepemimpinan presiden. Seperti pemberian wewenang presiden untuk campur tangan di bidang yudikatif dan legislatif hingga pembubaran sejumlah partai politik yang dianggap menyimpang.

 

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Mural Demokrasi. Sebuah mural bertema demokrasi menghiasi tembok Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/10/2017). Mural tersebut membawa pesan tentang tumbuhnya proses demokrasi di tengah keberagaman sosial budaya masyarakat.

Demokrasi Pancasila (1965-sekarang)

Bersamaan dengan runtuhnya kepemimpinan Orde Lama dan demokrasi terpimpin, dilakukanlah usaha-usaha korektif untuk mengembalikan marwah UUD 1945. Sejumlah keputusan demokratis yang segera dibuat adalah: 1) pencabutan Ketetapan MPRS No. III/1963 yang melegitimasi jabatan presiden seumur hidup; 2) penerbitan Ketetapan MPRS No. XIX/1966 mengenai peninjauan ulang produk-produk legislatif selama masa demokrasi terpimpin; dan 3) pemberian kebebasan dan otonomi kembali pada lembaga beadan-pendan pengadilan nasional.

Pesta demokrasi dalam wujud pemilihan umum pun kembali diselenggarakan. Menjelang Pemilu tahun 1971, partai-partai politik kembali diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk bergerak menyusun kekuatannya kembali.

Keruntuhan demokrasi terpimpin dan hadirnya pemerintahan Orde Baru pada masa awal demokrasi Pancasila memunculkan rasa optimisme bagi masyarakat pada saat itu. Namun, harapan indah segera luntur seiring Orde Baru menunjukkan wujud aslinya: “Penafsiran tunggal atas Pancasila dan UUD 1945”.

Presiden Soeharto menjadi pemimpin otoriter yang membatasi segala wujud-wujud demokrasi. Ia berhasil mengokohkan diri sebagai presiden selama 32 tahun melalui strategi politiknya.

Kehadiran Pesta Demokrasi Pemilu pun menjadi panggung politik semata sebab hasil Pemilu pada saat itu sudah dapat diketahui. Pada fase kekuasaan Soeharto ini, Pancasila dan konsep demokrasi Pancasila justru digunakan sebagai alat melanggengkan kekuasaan.

Seiring dengan runtuhnya kepercayaan terhadap Orde Baru, Indonesia masuk ke dalam masa Reformasi. Pada 7 Juni 1999, Presiden BH Habibie sebagai pengganti Soeharto, menyelenggarakan Pemilu pertama pasca-Orde Baru yang lebih demokratis. Partai Politik banyak yang terlibat dalam pemilu pada masa awal reformasi ini. Kebebasan menyuarakan pendapat sangat ditunggu-tunggu yang tampak dari antusias dan banyaknya partai peserta pemilu.

Bentuk demokrasi Indonesia berlandaskan pada demokrasi Pancasila. Pelaksanaan demokrasi ini pun terus berkembang menyesuaikan perkembangan zaman. Melalui Reformasi, dengan amandemen UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dipilih oleh rakyat, Indonesia dibawa pada wujud demokrasi yang lebih nyata. Pelaksanaan pemilihan umum sebagai wujud demokrasi terbesar, menjadi sebuah rutinitas elektoral yang terjadwal semakin baik.

Praktik Demokrasi Indonesia saat ini

Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang berbeda dengan sistem demokrasi lainnya seperti demokrasi terpimpin, demokrasi sosial, demokrasi parlementer, dan demokrasi konstitusional. Demokrasi Indonesia adalah sistem demokrasi yang berlandaskan pada ideologi Pancasila.

Dalam buku Demokrasi, Agama, Pancasila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now, Franz Magnis-Suseno menuliskan bahwa Pancasila sendiri merupakan “cita-cita bangsa Indonesia” dan “etika politik bangsa Indonesia”. Melalui sistem tersebut, demokrasi diarahkan pada kedaulatan rakyat dan penyelenggaraan negara berdasarkan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi sendiri terkandung dalam sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.

Demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang- Undang Dasar 1945, berfungsi untuk menegakkan kembali asas-asas negara-negara hukum. Kepastian hukum dapat dirasakan oleh segenap warga negara. Selain itu, hak-hak asasi manusia dijamin. Penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional.

Demokrasi adalah buah perjuangan berharga dari reformasi. Seiring dengan hasil perjuangan tersebut, pelaksanaan demokrasi di Indonesia kian berkembang dengan wujud-wujud demokrasi sesuai perkembangan zaman. Termasuk di dalamnya adalah variasi wujud demokrasi, yaitu demokrasi nasional yang diwujudkan dalam pemilihan umum dan demokrasi lokal yang diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Pasangan calon presiden-calon wakil presiden (dari kiri ke kanan) Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto bergandengan tangan seusai mengikuti Deklarasi Pemilu Damai 2009 yang dibacakan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary di Jakarta, Rabu (10/6/2009) malam.

Demokrasi Nasional

Pelaksanaan demokrasi nasional diwujudkan melalui pemilihan umum presiden dan legislatif. Melalui Pemilu, masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat berpartisipasi nyata dalam memilih sendiri pemimpin (presiden) dan perwakilan rakyat (anggota legislatif) secara langsung. Pada proses tersebut, demokrasi diwujudkan secara konkret yakni melibatkan langsung masyarakat dalam menentukan suara dan hak pilihnya.

Pada masa reformasi, Pemilu nasional telah dilaksanakan secara rutin dalam landasan hukum mengacu pada UUD 1945. Amanah dari UUD 1945 tersebut tampak dari penyelenggaraan batas lima tahun masa jabatan Presiden dan anggota DPR/DPRD.

Sementara produk perundangan yang lebih konkret adalah UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan KPU No. 8 Tahun 2019. Pada tahun 2019, melalui UU tersebut, dilaksanakan Pemilu serentak untuk pertama kalinya. Pemilu 2019 menggabungkan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Untuk pesta demokrasi nasional selanjutnya, Pemilu 2024, diselenggarakan dengan juga mengacu pada perundangan PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024. Seiring dengan perundangan tersebut, maka dinamika Pemilu 2024 akan dimulai pada 14 Juni 2022.

Pada periode 14 Juni 2022 hingga 14 Desember 2023, KPU akan melakukan perencanaan dan penyusunan program, anggaran, serta peraturan untuk Pemilu 2024. Kemudian pada periode 14 Oktober 2022 hingga 21 Juni 2023, KPU akan melakukan pemutakhiran data dan daftar pemilih.

Bagi para peserta Pemilu sendiri, mulai dapat mendaftar pada 29 Juli 2022 hingga waktu sebelum 14 Desember 2022. Setelah memasuki tanggal tersebut, KPU akan melakukan penetapan peserta Pemilu. Pasca-agenda tersebut, barulah dilakukan penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan pada 14 Oktober 2022 sampai dengan 9 Februari 2023.

Memasuki akhir tahun 2022, KPU membuka tahapan pencalonan dengan waktu yang berbeda-beda. Pencalonan anggota DPD akan dilakukan pada 6 Desember 2022 hingga 25 November 2023. Pencalonan anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II dibuka pada 24 April 2023 sampai 25 November 2023. Sementara pembukaan pencalonan Presiden dan Wakilnya adalah pada 10 Oktober 2023 hingga 25 November 2023.

Pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, secara resmi KPU membuka kesempatan untuk melakukan kampanye. Selebihnya, hingga 13 Februari 2024 akan digunakan sebagai masa tenang.

Selanjutnya pada tanggal 14 Februari 2024, pemungutan suara dan penghitungan diselenggarakan. Setelah pemungutan suara, KPU akan merekapitulasi hasil pemungutuan suara.

Apabila hasil dari pemungutan suara Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan pelaksanaan putaran kedua, maka KPU akan kembali melakukan pemutakhiran data dan daftar pemilih pada 22 Maret 2024 sampai dengan 25 April 2024.

Kesempatan kampanye akan kembali dibuka selama 20 hari dari 2 Juni 2024. Sementara untuk pemungutan suara putaran kedua dijadwalkan pada 26 Juni 2024, dilanjutkan dengan rekapitulasi hasil pada 27 Juni 2024 sampai dengan 20 Juli 2024.

Apabila tidak terdapat permohonan perselisihan hasil Pemilu (baik itu putaran pertama maupun kedua), KPU akan menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih paling lambat tiga hari setelah KPU memperoleh surat pemberitahuan dari Mahkamah Konstitusi mengenai daftar permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Namun, bila terdapat permohonan perselisihan hasil Pemilu, KPU akan kembali mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi usai dibacakan, paling lama tiga hari. Tahapan waktu serupa juga akan dilakukan bagi penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Tingkat I, DPRD Tingkat II, dan DPD.

Pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD terpilih akan dilakukan pada 20 Oktober 2024 dan 1 Oktober 2024. Sementara pengucapan sumpah/janji bagi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota akan dilakukan menyesuaikan dengan akhir masa jabatan masing-masing anggotanya.

Demi memastikan tercapainya demokrasi yang sehat dan sukses, pada Pasal 2 Ayat (1), dituliskan bahwa Pemilu harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA

Nur Amalliah, warga Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, baru saja menggunakan hak pilihnya, di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 19 Desa Tanjung Selor Ilir, Rabu (9/12/2015). Inilah Pilkada pertama di Kalimantan Utara (Kaltara), provinsi baru yang dimekarkan dari Kalimantan Timur tahun 2012 lalu.

Demokrasi lokal

Mengacu pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia (Suyatno, 2016), pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi bentuk konkret pemerintah era reformasi dalam penanaman dan pelaksanaan demokrasi hingga level yang lebih lokal. Upaya ini sebagai “desentralisasi demokrasi”. sesuai amanah reformasi yang diharapkan dapat memperluas praktik demokrasi di tingkat lokal.

Dengan mengacu pada pentingnya partisipasi kuat masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam pemilihan pemimpinnya, Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada menjadi momentum demokrasi yang penting.

Pilkada dimaksudkan tidak saja mengganti mekanisme lama pemimpin dan wakil rakyat model otoriterianisme, tetapi juga menjadi upaya nilai-nilai demokrasi yang berkelanjutan melalui partisipasi dan responsivitas masyarakat keseluruhan.

Kehadiran demokrasi lokal menjadi sebuah kebaruan tersendiri dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia. Pada masa Orde Baru, praktik otoriterisme menyebabkan pemilihan kepala daerah hanya dilakukan melalui pola-pola top-down dan patrimonial. Bayang-bayang praktik demokrasi seperti ini mendorong era reformasi untuk mengganti praktik otoriterianisme dengan mekanisme yang lebih demokratis dalam Pilkada.

Demokrasi lokal menjadi upaya menghidupi UUD 1945 yang lebih selaras. Pada Pasal 18 ayat (4), disebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Pada perjalanannya, demokrasi lokal Pilkada mengalami perubahan dari pemilihan tidak langsung menjadi pemilihan langsung. Undang-Undang No. 32/2004 mengenai Pilkada secara langsung. Produk hukum ini pun mengalami perubahan, yakni diubah dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Permasalahan demokrasi di Indonesia

Meski telah menjalani proses demokratisasi selama 24 tahun sejak Mei 1998, demokrasi Indonesia dinilai masih rentan atau berisiko kolaps kapan saja. Pembatasan kebebasan sipil, pelanggaran hak asasi manusia, dan berbagai kasus korupsi masih marak terjadi (Kompas.id, 21/05/2022, “24 Tahun Pasca-Reformasi, Demokrasi Indonesia Masih Rentan”).

Mengacu pada laporan lembaga pemantau demokrasi, The Economist Intelligence Unit (EIU), pada 2021, skor indeks demokrasi Indonesia sebesar 6,71. Angka demikian lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, dengan skor indeks demokrasi hanya mencapai 6,30. Demokrasi di Indonesia dalam praktiknya masih rentan sebab cenderung menjadi demokrasi elitis dan rawan korupsi.

Persoalan lain adalah politik identitas juga menjadi masalah bagi praktik demokrasi Indonesia. Dalam artikel “Political Identity and Election in Indonesian Democracy: A Case Study in Karang Pandan Village” oleh AB Barrul Fuad, disebutkan identitas menjadi faktor penting untuk meraih dukungan pada Pemilu. Di Indonesia, identitas agama dan budaya menjadi faktor yang memengaruhi.

Fanatisme agama menjadi risiko besar bagi demokrasi di Indonesia. Melalui fanatisme agama, Pemilu dilaksanakan tidak berdasarkan nilai-nilai kebaikan, etika, dan martabat manusia, melainkan semata mengacu pada melekatnya identitas yang melekat pada pemilih.

Dalam artikel di Kompas (16/4/2022) berjudul “Demokrasi yang Bekerja” disebutkan demokrasi tidak dapat dipahami sebatas pada “kebebasan dari”, melainkan juga “kebebasan untuk”.

Pemahaman demokrasi pada makna kedua menggariskan ujung demokrasi untuk kebaikan yang lebih mendasar, yakni kehidupan yang lebih baik, yang lebih aman, yang lebih menyejahterakan rakyatnya. Selain itu, demokrasi tidak bisa menjadi sebuah konsep yang semata diucapkan namun demokrasi harus dipraktikkan menjadi sesuatu yang bekerja dan menghasilkan hasil positif bagi kelanjutan perjalanan bangsa ini. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Budiardjo, M. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Suseno, F. M. 2021. Demokrasi, Agama, Pancila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now. Jakarta: PT Gramedia.
Jurnal
  • Fleck, R. K., & F.A. Hanssen. 2006. “The Origins of Democracy: A Model With Application to Ancient Greeks” . Journal of Law and Economics, Vol. 49, No. 1, 115-148.
  • Fuad, A. B. 2014. “Political Identity and Election in Indonesian Democracy: A Case Study in Karang Pandan Village – Malang, Indonesia”. 4th International Conference on Sustainable Future for Human Security, 477-485.
  • Kurniawan, D. 2016. “Demokrasi Indonesia dalam Lintasan Sejarah yang Nyata dan yang Seharusnya”. Jurnal Mozaik Vol. 8 No. 1, 94-111.
  • Nugroho, A.  “Pengamat Politik UGM: Menunda Pemilu Kemunduran Demokrasi”. 7 Maret 2022. Diambil kembali dari ugm.ac.id: https://ugm.ac.id/id/berita/22336-pengamat-politik-ugm-menunda-pemilu-kemunduran-demokrasi
  • Rasaili, W. 2015. “KINERJA DPR DAN KEPERCAYAAN PUBLIK: (Analisis Kepercayaan Publik terhadap Kinerja DPR RI Tahun 2014-2019)”. Jurnal Public Corner Vol. 10 No. 2.
  • Suyatno. 2016. “Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia”. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review Volume 1, No. 2, 212-230.
  • Universitas Widya Mataram Yogyakarta. “Penundaan Pemilu 2024 Membahayakan Demokrasi dan Ekonomi Nasional”. 17 Maret 2022. Diambil kembali dari lldikti5.kemdikbud.go.id: https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/penundaan-pemilu-2024-membahayakan-demokrasi-dan-ekonomi-nasional
Arsip Kompas