Paparan Topik | Kopi

Kopi Gayo: Jejak Sejarah, Warung Kopi, hingga Identitas Orang Aceh

Aceh dikenal tidak hanya sebagai Serambi Mekkah, namun juga provinsi seribu satu warung kopi. Apalagi keberadaan Dataran Tinggi Gayo membuat aroma kopinya tercium hingga ke mancanegara.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Petani di Desa Ronga, Kecamatan Gajah Putih, Kabupaten Bener Meriah, Aceh (16/9/2018), memanen kopi arabika gayo. Pemerintah setempat meningkatkan produksi kopi dengan cara menyalurkan bibit unggul dan memaksimalkan perawatan. Kopi arabika gayo merupakan komoditas utama ekspor Pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.

Fakta Singkat

  • Kopi Gayo ditanam di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam diketinggian 1.200 mdpl.
  • Kopi Gayo mulai dikenal di Dataran Tinggi Gayo sejak abad ke-19
  • Kopi di Gayo telah ada sebelum kedatangan kolonial Belanda, namun mereka menganggapnya sebagai tanaman liar dan belum bisa mengolahnya.
  • Varietas kopi yang ditanam di Gayo sebagian besar adalah keturunan Catimor, Timor Timur, dan Gayo 2.
  • Varietas kopi Gayo yang ditanam sebagian besar adalah jenis arabika.

Artikel terkait

Aceh dan warung kopi tidak dapat dilepaskan. Bahkan, secangkir kopi panas Gayo merupakan identitas bagi orang Aceh. Dalam satu hari, orang Aceh bisa berulang-ulang kali mengunjungi warung kopi mulai dari subuh hingga menuju malam.

Warung kopi di Aceh memiliki hubungan dengan Dataran Tinggi Gayo yang letaknya dalam satu kawasan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kopi Gayo ditanam di Kabupaten Bener Meriah yang berada diketinggian 1.200 mdpl dengan luas perkebunan kopi sekitar 81.000 hektare. Hal ini membuat produksi kopi Gayo dikenal di seluruh dunia.

Kopi Gayo sendiri baru mulai dikenal sejak zaman kolonial Belanda di abad ke-19. Sejak saat itu kopi Gayo sudah menjadi salah satu kopi yang laku di pasaran internasional. Namun, ada cerita menarik yang dicatat oleh Snouck Hurgronje yang menemukan tanaman kopi di Gayo sebelum kedatangan Belanda.

Kini kopi Gayo telah dikenal di seluruh dunia dan dianggap sebagai salah satu kopi terbaik. Mulai dari kafe hingga warung kopi di Aceh menyediakan kopi Gayo untuk disuguhkan kepada penikmatnya. Kopi Gayo dan warung kopi telah menjadi kearifan lokal dan identitas orang Aceh.

Sejarah Kopi Gayo

Tanaman kopi pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1696, dibawa langsung oleh orang-orang Eropa. Pada awalnya tanaman kopi ditanam di wilayah Pulau Jawa. Namun, usaha pertama tersebut gagal dan baru berhasil pada tahun 1699. Saat itu kopi yang ditanam adalah jenis arabika.

Tidak berlangsung lama kopi-kopi di tanah Jawa menjadi salah satu biji kopi terbaik di dunia. Hal ini juga seturut dengan perkembangan perkebunan kopi di Jawa yang semakin tahun semakin luas. Bahkan, sebelum tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda menjadikan kopi sebagai komiditas ekspor utama.

Apalagi perkembangan tanaman kopi tidak bisa dilepaskan dari Sistem Tanam Paksa atau cultur stelsel yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat itu rakyat diwajibkan untuk menanam kopi pada seperlima luas tanah yang digarap. Hasil perkebunan tersebut wajib pula langsung disetorkan ke gudang-gudang milik pemerintah.

Namun, kopi arabika di Jawa mengalami penurunan produksi karena terserang penyakit. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengembangkan varietas kopi robusta yang lebih tahan penyakit. Selain itu, pemerintah juga mengembangkan kopi di luar Jawa seperti Sumatera, Sulawesi, Bali, dan lainnya.

Tanaman kopi baru dikenal di Dataran Tinggi Gayo pada akhir abad ke-19. Ketika itu warga kampung yang biasa hidup dari pertanian tradisional di sawah dan ladang mulai diperkenalkan dengan teknik perkebunan kopi. Ini juga sebagai bagian dari proyek perkebunan yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu.

Namun, hal menarik dicatat oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya. Menurutnya, kopi sudah ada di Gayo sebelum diperkenalkan oleh pemerintah, namun saat itu orang Gayo menganggap tanaman ini sebagai tanaman liar. Orang mengambil batang atau cabangnya untuk dijadikan sebagai pagar rumah, sedangkan biji-bijinya dibiarkan dimakan oleh burung.

Hurgronje juga melihat bahwa orang Gayo sebelumnya tidak mengetahui cara mengolah biji kopi untuk dijadikan sebagai minuman. Mereka hanya memanfaatkan daunnya untuk dijadikan teh. Baru kemudian setelah pemerintah Hindia Belanda masuk ke Gayo, mereka diperkenalkan untuk mengolah kopi dengan benar.

Salah satu narasumber yang dicantumkan oleh Hurgronje dalam bukunya menjelaskan bahwa penduduk di Takengon sudah mengenal kopi lokal yang diberinama Kupi Kolak Ulung sebagai minuman. Kopi ini berasal dari daun kopi robusta yang dipanggang kemudian dicampur dengan air panas dan diminum dengan gula yang terbuat dari gula aren.

Dalam buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo, disebutkan salah seorang narasumber juga menjelaskan bahwa kopi di Gayo sudah ada sebelum masa penjajahan Belanda. Diceritakan bahwa seorang yang bernama Aman Kawa membawa kopi dari Mekah saat menunaikan ibadah haji. Biji kopi tersebut kemudian ditanam di Kampung Daling di Gayo.

Kopi Aman Kawa di Kampung Daling ini kemudian dikembangkan oleh seorang yang bernama Aman Kupi yang berasal dari Kampung Belang, Gayo. Sejak saat itu tanaman kopi kemudian menyebar ke berbagai tempat sebagai tanaman pembatas kebun atau pagar rumah.

Pada tahun 1904 pemerintah Hindia Belanda baru mulai serius untuk menggarap kebun-kebun kopi di Gayo. Bahkan, pemerintah membuka lahan-lahan baru diketinggian 1.000–1700 mdpl untuk menambah pasokan kopi Gayo. Hal ini membuka penghidupan baru penduduk Gayo yang kemudian menjadi petani-petani di perkebunan kopi Gayo.

Pada tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda pertama kali memperkenalkan kopi arabika di Takengon, Gayo. Ini dilakukan sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mengenalkan jenis kopi yang laku di pasar ekspor. Kemudian, pemerintah mengembangkan perkebunan-perkebunan kopi untuk komersial.

Selain di Takengon, pada tahun 1918, Belanda juga membuka perkebunan baru di kawasan Belang Gele, Aceh Tengah seluas 100 hektare. Pada sekitar tahun 1925–1930, penduduk Gayo kemudian membuka perkebunan-perkebunan yang mereka olah sendiri. Pembukaan lahan baru penduduk ini disebabkan karena pengetahuan kopi yang mereka dapatkan dari perkebunan Belanda.

Luasnya perkebunan kopi di tanah Gayo membuat pemerintah mendatangkan buruh perkebunan dari Jawa mulai tahun 1931. Mereka dalam satu perkebunan terdiri dari ratusan buruh yang memiliki fungsi masing-masing, ada yang sebagai mandor atau pengawas dan sebagai buruh perkebunan.

Pada masa pendudukan Jepang, perkebunan kopi di Gayo beralih kepemilikan kepada Jepang. Namun, Jepang tidak memanfaatkan perkebunan kopi dan lebih sibuk dengan urusan perang. Baru setelah Indonesia merdeka, perkebunan di Gayo dimiliki oleh pemerintah daerah. Sejak saat itu bisnis kopi di Gayo dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan penduduk Gayo.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pengunjung belajar memanen buah kopi di Seladang Kafe yang berada di jalan Bireun-Takengon kilometer 86 tepatnya di Desa Jamur Ujung, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam (19/12/2021). Selain menikmati kopi di kebun kopi, pengunjung juga mendapatkan berbagai pengetahuan seputar kopi.

Varietas Kopi Gayo

Tanaman kopi yang berada di Dataran Tinggi Gayo lebih dikenal dengan nama Gayo, Takengon, Gajah Mountain, dan Laut Tawar. Penamaan ini berdasarkan dari letak geografis di mana kopi tersebut ditanam. Menurut buku Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan, disebutkan bahwa karakter spesifik kopi gayo adalah strong fragrance, complex flavor, high acidity, high body, high balance mild, fruity, nice, syrupy, high sweetness, dan rich. Ada juga karakter tambahan yang muncul, yaitu herbal, green, dan grassy.

Varietas kopi yang ditanam di Gayo sebagian besar adalah keturunan Catimor, Timor Timur, dan Gayo 2 (keturunan Timor Timur). Sedangkan, varietas yang memiliki cita rasa specialty adalah Gayo 2, P88, S795, dan Bergendal. Jenis kopi yang banyak berkembang dan disukai oleh masyarakat ialah Cantimor Jaluk, Timor Timur, Gayo 2, S288, dan BP542A. Biasanya pengolahan kopi yang umum dilakukan oleh penduduk Gayo adalah semi washed atau full washed wet hulling.

No.

Jenis Kopi/Asal Produksi

Karakter Khusus

1 Bergendal complex flavor, good balance, even cup, high body, mild, smell like herbs
2 Gayo 2 strong fragrance, very good and strange fragrance clean, fruity, very good, complex flavor, balance, strong body, salty, high balance, nice, syrupy, high sweetness
3 BP542A clean, weak, low body, grassy, harsh, no acid, flat, clean
4 C50 clean, weak, low body, complex flavor, very grassy, clean, light flat
5 Catimor Jaluk clean, complex flavor, sweet, grassy, harsh, woody, baggy, green, weak body, unbalance
6 Commercial complex, rich fresh, weak body, fruity, sourish, imbalance
7 P88 complex flavor, clean, high acidity, clear, good, rich, balance, green, grassy, mandheiling type
8 S795 complex flavor, green, grassy
9 S288 complex flavor, balance, flat, winey, sourish, low acid
10 Gayo 1 complex flavor, clean, sweet, good balance, mild, sour, grassy, harsh

Sumber: Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan (Gadjah Mada University Press, 2016)

KOMPAS/LASTI KURNIA

Pekerja memilih biji kopi di Desa Arul Badak, salah satu sentra petani kopi di Dataran Tinggi Gayo, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah (10/7/2013).

Sosial-Budaya Petani Kopi

Orang Gayo pada dasarnya berprofesi sebagai petani. Snouck Hurgronje dalam buku Tanah Gayo dan Penduduknya, menyebutkan bahwa setiap orang Gayo pertama-tama dan yang terpenting adalah petani, penanam padi. Namun, setelah kedatangan kolonial Belanda dan mengharuskan penduduk Gayo menanam kopi barulah mereka beberapa beralih dari petani padi menjadi petani kopi.

Dalam hal penanaman kopi, orang Gayo memiliki kearifan lokal yang menjadi ciri khas tersendiri. Kearifan lokal tersebut tidak dapat dilepaskan dari teknik budidaya mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen, penanganan pascapanen, dan pemasaran hasil panen.

Sebelum menjadi petani kopi, orang Gayo pertama kali melakukan kegiatan murentes dan munebuk, yaitu kegiatan pembukaan lahan perkebunan kopi yang baru. Orang Gayo dalam membuka lahan yang baru telah mempertimbangkan terlebih dahulu ketinggian tempat dan kemiringan lahannya.

Dalam murentes, petani Gayo menebang pohon-pohon berukuran kecil dan dimulai dari kebun paling rendah. Setelah itu, petani Gayo melakukan munebuk, yaitu menebang pohon-pohon berukuran besar. Pohon-pohon besar ini ditebas ke arah bawah sampai pohon tersebut rebah dan menindih pohon-pohon kecil. Teknik ini selain untuk menghemat energi sekaligus memiliki nilai konservasi.

Setelah melakukan murentes dan munebuk, petani kopi dilanjutkan dengan penanaman naungan kopi terlebih dahulu. Biasanya tanaman naungan ini mempergunakan tanaman buah-buahan seperti jeruk dan alpukat. Selain sebagai naungan untuk tanaman kopi, tanaman-tanaman ini merupakan sumber penghasilan alternatif selain kopi.

Apabila semua siap, petani kopi kemudian menggali lubang untuk ditanami kopi. Ada hal menarik yang dicatat dalam buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo, tentang teknik menanam petani Gayo. Ketika menggali lubang tanam bagian tanah yang berwarna hitam diletakkan di kanan lubang tanam, dan untuk bagian tanah yang berwarna cerah diletakkan di kiri lubang tanam. Selanjutnya lubang tanam dibiarkan selama sebulan.

Selesai satu bulan tanah kemudian ditanami oleh benih-benih kopi. Pada saat penanaman, penimbunan dimulai dari tanah yang cerah kemudian tanah yang hitam. Bagi petani kopi teknik ini dilakukan agar tanah yang digali dapat kembali ke posisi awal sehingga tanah yang ditanam tidak mengalami degradasi.

Kopi yang telah terpelihara dengan baik kemudian memasuki masa pemangkasan dan panen. Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan karena selain menghemat tenaga juga mengurangi penurunan produksi karena tidak ada buah kopi yang tertinggal di pohonnya.

Dalam melakukan pemanenan kopi, orang Gayo memiliki keunikan tersendiri dibanding wilayah lain. Bagi orang Gayo tugas untuk memanen kopi adalah tugas perempuan. Sangat jarang sekali menjumpai kaum laki-laki di kalangan petani masyarakat Gayo dalam memanen kopi.

Biasanya kaum perempuan dalam memanen kopi juga melakukan munyerlak atau membersihkan cabang-cabang yang tidak produktif. Sifat perempuan yang lembut dan teliti serta kesabaran membuat hasil panen kopi menjadi lebih berlimpah. Kopi-kopi yang dipanen dipilih dengan kematangannya cukup homogen. Sedangkan cabang-cabang yang dipotong benar-benar pilihan supaya kopi tetap bisa produktif.

Hal ini membuktikan bahwa hubungan sosial-budaya petani kopi di Gayo tidaklah bias gender. Bahkan kebiasaan ini telah dilakukan lama sejak zaman kolonial Belanda. Kegiatan di perkebunan kopi merupakan usaha bersama dalam keluarga. Inilah yang memperkuat ikatan kekerabatan orang Gayo.

KOMPAS//ZULKARNAINI

Seorang barista menyiapkan kopi saring di warung kopi Solong Pango, di Kota Banda Aceh, Aceh (28/2/2023). Budaya ngopi masih mengakar di kalangan warga Aceh. Kondisi ini mendorong pertumbuhan warung kopi semakin banyak.

Warung Kopi

Keberadaan kopi di Dataran Tinggi Gayo membuat Aceh menjadi identik dengan kopi. Bahkan, kopi Gayo telah menjadi salah satu produk kopi terbaik di Sumatera. Tidak heran beberapa kafe dari lokal hingga internasional selalu menyediakan kopi Gayo di dalam menunya.

Aceh yang tidak jauh dari Gayo pun telah menjadikan kopi bagian dari kesehariannya. Bahkan, orang yang datang ke Aceh wajib untuk menikmati kopi dari Dataran Tinggi Gayo. Tak jarang pula sebelum meninggalkan Aceh mereka membawa buah tangan berupa kopi Gayo.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak hanya dikenal sebagai Serambi Mekkah namun juga wilayah dengan seribu satu warung kopi. Sebutan ini tidaklah berlebihan apalagi dengan kopi Gayo yang sudah terkenal itu. Provinsi NAD dipenuhi oleh warung kopi dari penjuru kota hingga di pelosok desa. Bahkan, warung-warung kopi tersebut tidak pernah sepi karena memiliki penikmatnya masing-masing.

Menurut T. Zulfikar dalam tulisannya yang berjudul Identitas Aceh dalam Segelas Kopi, disebutkan bahwa identitas orang Aceh dalam segelas kopi panas merupakan ungkapan yang cocok untuk menggambarkan kepribadian orang Aceh. Hampir setiap hari orang Aceh selalu mendatangi warung kopi untuk melakukan banyak kegiatan baik formal maupun informal.

Misalnya saja orang Aceh setelah selesai melakukan salat Subuh, sebagian jamaah justru menuju warung kopi terdekat. Di pagi hari sebelum berangkat ke kantor, orang Aceh baik yang memiliki jabatan maupun staf kantor biasa selalu menyempatkan diri untuk sarapan di warung kopi. Begitu pun pada jam makan siang hingga malam hari pun orang Aceh selalu mampir ke warung kopi.

Kebiasaan orang Aceh yang selalu datang ke warung kopi menurut T. Zulfikar menyebutkan bahwa warung kopi merupakan The Third Place bagi masyarakat Aceh. Orang Aceh menganggap bahwa warung kopi adalah ruang alternatif selain rumah atau perkantoran untuk berkegiatan. Hal ini karena warung kopi bisa menjadi tempat sarapan bahkan untuk bekerja.

Warung kopi di Aceh menawarkan berbagai macam kopi baik robusta maupun arabika. Namun, yang pasti penyuplai kopi-kopi di warung kopi kebanyakan berasal dari Gayo. Kemudian, barista mulai meracik kopi panas tersebut dengan menggunakan saringan yang panjang dan ditarik tinggi-tinggi untuk bisa membentuk aroma khas kopi Aceh.

Kebanyakan kopi Aceh yang disediakan di warung-warung adalah kopi hitam atau kopi susu. Namun, ada juga racikan kopi yang sangat populer yang disebut dengan sanger. Kopi sanger menawarkan sensari aroma yang berbeda, di mana kopi panas yang disaring dengan cara ditarik tinggi-tinggi dicampurkan dengan sedikit susu sehingga menghasilkan kopi yang berbuih. Kopinya pun terasa tidak terlalu manis bahkan tidak terlalu pahit juga.

Dari sini bisa dilihat bahwa identitas orang Aceh tidak dapat dilepaskan dari kopi. Mulai dari sejarah hingga aspek sosial-budaya petani telah berpengaruh hingga ke warung-warung kopi. Apalagi dengan keberadaan kopi Gayo telah membawa nama Aceh menuju dunia internasional. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Akmal, Saiful, dkk (ed.). 2018. De Atjehers: dari Serambi Mekkah ke Serambi Kopi. Banda Aceh: Pandeebooks.
  • Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanah Gayo dan Penduduknya. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies.
  • Khalisuddin, dkk. 2012. Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.
  • Melalatoa, M.J. 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Retnandari, N.D dan Moeljarto Tjokrowinoto. Kopi: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
  • Yunita, Siwi C (ed.). 2022. Jelajah Kopi Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Wahyudi, Teguh, dkk (ed.). 2016. Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir, dan Sistem Kemitraan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Arsip Kompas
  • “Sebongkah Pelangi di Negeri Kopi”. Kompas, 20 September 2015.
  • “Kopi, ”Pemanis” Kehidupan Masyarakat Gayo”. Kompas, 21 November 2015
  • “Tak Semua Kopi Aceh Itu Pahit Rasanya”. Kompas, 18 Mei 2016.
  • “Perjalanan Kopi Gayo: Bisikan bagi Sengkewe”. Kompas, 12 April 2018.
  • “Tradisi Aceh: Menikmati Sajian ala Tubruk hingga Kertup”. Kompas, 12 April 2018.
  • “Menjelajahi Negeri Kopi nan Teduh”. Kompas, 15 April 2018.
  • “Matra: Di Kebun Kita ”Ngopi””. Kompas, 15 April 2018.
  • “Tradisi: Mitos Pengiring Hidup”. Kompas, 18 April 2018.