
DOKUMENTASI JAKARTA FAIR KEMAYORAN 2025
Penampilan drama musikal pada pembukaan Jakarta Fair Kemayoran 2025. Pesta rakyat ibu kota ini digelar 19 Juni – 13 Juli 2025. Beragam atraksi pertunjukan, konser musik, festival UMKM, pameran dari berbagai industri, wahana permainan, dan pesta jajanan atau kuliner semuanya ada di event ini.
Fakta Singkat
Jakarta Fair Kemayoran
- Cikal bakal Jakarta Fair berawal dari Pasar Gambir, sebuah pameran tahunan yang digelar di masa kolonial saat Jakarta masih bernama Batavia.
- Pasar Gambir digelar pertama kali pada tahun 1898 untuk menyambut penobatan Ratu Wilhelmina.
- Pada 1906, Pasar Gambir menjadi menjadi salah satu bagian dari proyek Jaarmarkt (pasar tahunan) yang digelar untuk tempat jual-beli produk lokal dari berbagai penjuru Hindia Belanda.
- Pada tahun 1968, setelah vakum selama 26 tahun, semangat festival Pasar Gambir kembali dihidupkan melalui penyelenggaraan Djakarta Fair oleh Gubernur Ali Sadikin.
- Djakarta Fair diselenggarakan setiap tahun untuk menyambut HUT Jakarta pada 22 Juni.
- Pada 1992, Jakarta Fair pindah dari Lapangan Monas ke kawasan Kemayoran.
Tahun ini menandai penyelenggaraan Jakarta Fair Kemayoran (JFK) yang ke-56. Sebagai ajang pameran dan hiburan terbesar di Asia Tenggara, Jakarta Fair 2025 akan berlangsung mulai 19 Juni hingga 13 Juli 2025 di JIExpo Kemayoran.
Tahun ini sebanyak 2.550 perusahaan ambil bagian, menempati 1.550 stan yang tersebar di area JIEXPO. Beragam produk unggulan ditampilkan, mulai dari sektor otomotif, gadget dan komputer, alat olahraga, fesyen, garmen, perlengkapan rumah tangga, furnitur, barang elektronik, hingga aneka sajian kuliner.
Tak hanya diikuti industri multinasional dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), justru JFK menggempita lantaran menjadi titik temu antara pelaku Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM) dengan masyarakat.
Namun, JFK bukan sekadar arena pameran dan hiburan yang ujug-ujug ada. Acara ini adalah saksi bisu perjalanan panjang ibu kota, yang terus bertumbuh dan berubah dari waktu ke waktu.

DOKUMENTASI JAKARTA FAIR KEMAYORAN 2025
Suasana keramaian pengunjung Jakarta Fair Kemayoran 2025 pada pekan pertama.
Pasar Gambir: Cikal Bakal di Masa Kolonial
Cikal bakal JFK yang kita kenal sekarang bisa dirunut dari masa lalu. Saat Jakarta masih bernama Batavia di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam sejarahnya, Batavia tempo dulu mengenal Pasar Gambir.
Berbeda dengan penyelenggaraan JFK sekarang yang bertepatan dengan HUT Jakarta. Pasar Gambir digelar untuk menyambut penobatan Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus 1898, tanggal yang juga bertepatan dengan kelahirannya (18 tahun sebelumnya). Pemerintah Hindia Belanda menggelar perayaan secara besar-besaran sebagai bentuk penghormatan sekaligus untuk mengenalkan ratu baru kepada masyarakat jajahan.
Saat acara perayaan berlangsung, Batavia dihias sedemikian rupa. Lampu warna-warni menerangi sudut kota, sementara bendera merah-putih-biru Belanda berkibar di sepanjang jalan. Koningsplein—kini dikenal sebagai Lapangan Monas—di kawasan Weltevreden (sekarang Gambir) menjadi pusatnya.
Pada 1906, konsep Pasar Gambir mulai berubah, dari sekadar perayaan penobatan ratu menjadi pameran dan ekspo. Festival Pasar Gambir menjadi selayaknya makna “pasar” betulan yang tampilkan berbagai produk dari pelosok Hindia Belanda. Barang-barang seperti hasil pertanian, kerajinan tangan, dan produk industri rumah tangga menjadi lumrah. Saat itulah Pasar Gambir juga dikenal sebagai ruang hiburan rakyat yang meriah. Aneka pertunjukan disajikan, bukan untuk kalangan kaya kolonial tapi juga rakyat jajahan, bukan orang dewasa saja tapi juga untuk anak-anak.
Sayangnya, karena keterbatasan anggaran pemerintah, penyelenggaraan festival Pasar Gambir belum bisa rutin setiap tahun. Akan tetapi, tingginya minat masyarakat mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dan mengembangkan festival ini. Pasar Gambir menjadi salah satu bagian dari proyek Jaarmarkt (pasar tahunan) yang digelar di kota-kota besar, seperti Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Tercatat, sejak 1921 Pasar Gambir mulai diselenggarakan rutin setiap tahun. Sebab, selain sebagai sarana hiburan, Jaarmarkt juga berfungsi sebagai tempat jual-beli produk lokal yang murah hingga industri yang berharga tinggi.

Seiring waktu berjalan, Pasar Gambir yang digelar dua pekan—setiap akhir Agustus sampai awal September–menjadi ajang pameran. Perusahaan-perusahaan milik pemerintah, swasta, hingga dari luar Hindia Belanda mulai ambil bagian. Akan tetapi, yang tetap menjadi primadona tetaplah beragam kerajinan lokal dari berbagai daerah di Hindia Belanda.
Kerajinan tangan buatan tukang emas, cap, ukir, renda, kain, cat, kuningan, bubut, topi, tenun, dan kendi turut meramaikan Pasar Gambir. Produk-produk seperti kain batik, ukiran kayu, dan tanduk sangat diminati pengunjung.
Kondisi demikian menjadikan festival Pasar Gambir sebagai sarana pemerintah untuk mengenalkan keragaman budaya di Hindia Belanda kepada khalayak luas. Setiap tahun, penyelenggara menghadirkan tema berbeda yang berasal dari keunikan budaya lokal. Tema-tema ini dapat teridentifikasi sejak gerbang utama atau ornamen dekoratif yang melingkupi.
Sejarawan JJ de Vries dalam Jaarboek van Batavia (1927) mencatat, bahwa pengunjung Eropa dapat mereguk kebahagiaan di restoran, tempat minum, hingga lantai dansa. Selagi masyarakat pribumi menikmati ragam warung makanan, stan kerajinan, bioskop misbar, hingga komidi putar.
Dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe (2006), Tio Tek Hong menggambarkan festival Pasar Gambir sebagai ruang hiburan rakyat. Beragam hiburan lain juga tercatat, seperti tontonan sulap, sandiwara bangsawan, hingga atraksi bergaya Barat ala American Carnival Show menjadi daya tarik. Berbagai macam hiburan seperti panjat pinang dan pertunjukan musik juga tak kalah menyedot perhatian.
Dari panggung-panggung hiburan Pasar Gambir inilah sejumlah bintang populer masa itu muncul, seperti Miss Riboet, Annie Landouw, dan Bram Aceh (Kompas, 31/7/1983).
Djakarta Fair: Kebangkitan Pascakemerdekaan
Riwayat festival Pasar Gambir usai seiring berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada 1942. Baru pada 1968, atau 26 tahun setelah vakum, saat pemerintahan Gubernur Ali Sadikin semangat festival Pasar Gambir hidup kembali melalui Djakarta Fair. Kendati belum pernah datang langsung, Bang Ali terpapar cerita dari saudara-saudaranya dan pemberitaan di surat kabar. Lebih lanjut, ia menyematkan konsep “fair” untuk lebih mendayagunakan perekonomian rakyat yang saat itu sedang berusaha bangkit dari inflasi.
Sejak akhir 1967 Pemprov DKI menginisiasi pembentukan Kamar Dagang dan Industri Jakarta Raya (Kadin Jaya) yang diresmikan pada 8 Januari 1968. Sjamsudin Mangan (Haji Mangan) terpilih sebagai Ketua Umum Kadin Jaya pertama, serta bertanggung jawab atas program pertamanya; Djakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta.
Demi memberi dasar hukum yang kokoh, diterbitkan pula Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1968, yang menetapkan Djakarta Fair sebagai agenda tahunan tetap. Berdasar perda itu agenda ini dirancang sebagai bagian dari perayaan HUT Jakarta, yang jatuh setiap 22 Juni.
Edisi perdana Djakarta Fair resmi berlangsung pada Sabtu, 15 Juni–20 Juli 1968 dalam tajuk HUT ke-441 Kota Jakarta. Ali Sadikin menyediakan lahan seluas 7,2 hektare di kawasan sekitar Monas. Kawasan ini disulap menjadi arena festival yang dibagi menjadi empat zona utama: pameran, perdagangan, permainan, dan hiburan rakyat.
Selama 34 hari penyelenggaraan, lebih dari 1,4 juta pengunjung datang Djakarta Fair. Pada hari pertama saja, menurut arsip Kompas, tercatat penjualan tiket mencapai 85 ribu lembar dengan harga Rp25 per tiket. Jumlah rata-rata pengunjung pada Djakarta Fair 1968 sebanyak 41.123 setiap hari.
Antusiasme masyarakat itu dipantik oleh daya tarik yang beragam, mulai dari pertunjukan akrobat, musik keroncong, tong setan, komidi putar, dan lainnya. Bahkan, panitia Djakarta Fair menyelenggarakan pemilihan Ratu Waria yang diikuti oleh 151 peserta.
Stan Lotto Fair menjadi salah satu yang paling menarik perhatian, lewat gelaran ini berhasil menyumbangkan pajak pendapatan hingga Rp27 juta. Ragam hiburan lain yang turut meramaikan suasana, antara lain; akrobat, tong setan, komidi putar, dan berbagai perlombaan pencarian bakat.
Melihat sambutan luar biasa dari masyarakat, setahun kemudian, pada 1969, dibentuk Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta sebagai lembaga resmi yang bertugas mengelola PRJ secara berkelanjutan. Sejak itu pula festival ini berubah nama menjadi Pekan Raya Jakarta (PRJ) untuk meminimalisir penggunaan bahasa asing.
Penyelenggaraan PRJ pada 1969 mencatat rekor baru dengan durasi 71 hari, menjadi edisi terlama sepanjang sejarah. Lebih dari 3 juta pengunjung tercatat hadir, dengan rata-rata pengunjung harian sebanyak 43.236 orang. Presiden Amerika Serikat Richard Nixon yang tengah berkunjung ke Indonesia pun menyempatkan diri untuk mampir.

KOMPAS/IRWAN JULIANTO
Si Unyil, Gepeng dan ET di Pekan Raya Jakarta 1983. Sebagai sarana promosi, mereka tampil dalam aneka bentuk. Dari baliho mini badut-badutan hingga ondel-ondel. Kehadiran mereka seakan mendesak pamor badut gaya sirkus Eropa.
Dari Monas ke Kemayoran
Seiring waktu, festival ini menunjukkan perkembangan, baik dari jumlah pengunjung maupun peserta pameran. Festival yang bermula untuk menyambut penobatan gelar ratu saat masa penjajahan bertransformasi menjadi semangat baru perniagaan, tidak hanya bersifat kelokalan Jakarta, nasional Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.
Sebuah konsekuensi logis jika setiap tahun pihak penyelenggara selalu mengevaluasi berjalannya festival. Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah kemacetan lalu lintas yang kerap terjadi saat jam kepulangan pengunjung.
Kondisi ini membuat panitia dan pemerintah mencari tempat baru penyelenggaraan Jakarta Fair. Keputusan untuk memindahkan acara dari Lapangan Monas ke kawasan Kemayoran diketok pada 1992. Tidak sekadar pindah lokasi tetapi lahan untuk menyelenggarakan acara juga mengalami eskalasi, dari yang semula hanya 7 hektare di sisi selatan Monas, kini menjadi 44 hektare bekas lapangan terbang Kemayoran.
Keputusan ini bukan semata karena kebutuhan ruang yang lebih luas untuk mengakomodasi jumlah peserta dan pengunjung yang terus meningkat. Akan tetapi, pemindahan juga dilakukan untuk mengembalikan Monas pada fungsi awalnya sebagai ruang terbuka hijau. Tahun ini juga menjadi penanda pergantian nama dari Pekan Raya Jakarta menjadi Jakarta Fair Kemayoran (JFK). JFK ke-25 yang digelar di Kemayoran pada 20 Juni–18 Juli 1992, diikuti oleh 628 peserta, terdiri dari 620 peserta dalam negeri dan delapan peserta mancanegara.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Magnet Wisata Warga Ibukota – Even Jakarta Fair 2017 di JI Expo Kemayoran, Jakarta masih relatif ramai setelah Lebaran, Rabu (5/7/2017). Wisata belanja dan hiburan masih menjadi magnet Jakarta Fair yang menarik warga ibukota.
Dari waktu ke waktu, Jakarta Fair terus berevolusi. Dari sekadar pasar malam rakyat, ajang ini menjelma menjadi pameran modern yang menampilkan produk-produk dari berbagai sektor industri, mulai dari otomotif, elektronik, makanan dan minuman, hingga kerajinan lokal. Seiring minat para pelaku usaha, area pameran pun terus berkembang dan bervariasi.
Kendati sempat vakum pada 2020 dan 2021 lantaran wabah Covid-19, hingga kini JFK tetap menjadi ikon budaya dan ekonomi Jakarta yang tak tergantikan. Tidak hanya menjadi tolok ukur denyut nadi pertumbuhan industri nasional dan internasional, atau UMKM, tetapi JFK juga sebagai penanda industri kreatif mutakhir.
Deretan nama artis, mulai dari dangdut hingga reggae, yang terpampang hampir setiap hari adalah daya tarik tambahan. Hal ini juga menjadi penanda bahwa JFK memang didesain untuk menopang perekonomian Jakarta. Para pekerja yang menjadi sokoguru pun dapat menunda kerinduan terhadap kampung halaman dengan menikmati pelbagai suguhan dari asal daerahnya, baik berupa benda maupun kesenian yang dijajakan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Zeffry Alkatiri. 2010. Pasar Gambir, Komik Cina, Es Shanghai. Depok: Masup Jakarta.
- Tio Tek Hong. 2006. Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: sebuah kenangan 1882–1959. Depok: Masup Jakarta.
- “Djakarta Fair” 68 ditutup dengan resmi * Sukses melebihi jang diduga semula * “Taman Hiburan Djakarta” sudah dibuka,” Kompas, 22 Juli 1968.
- “Arena T.H.D: DF ’68 ditutup THD dibuka; Lotto Fair menghasilkan Rp. 27 djuta; Siapa penulisnja, dan apa sadja maksudnja,” Kompas, 22 Juli 1968.
- “Djakarta Fair 1969 Dibuka Dalam Suasana Meriah,” Kompas, 16 Juni 1969.
- “”Djakarta Fair” Sabtu Malam Minggu Mentjapai Rekor,” Kompas, 23 Juni 1969.
- “Kundjungan Nixon Ke DF Katjau,” Kompas, 28 Juli 1969.
- “Djakarta Fair 68: Lotto Fair Laku Keras * Serba Serbi,” Kompas, 17 Juni 1968.
- “Presiden Buka PRJ Ke-25: Kembalikan Monas sebagai Taman Kota,” Kompas, 21 Juni 1992.
- “Masa Depan Monas, Alun-alun untuk Jakarta,” Kompas, 27 Juli 1992.
Artikel terkait