Paparan Topik

Indeks Kebebasan Pers Dunia: Tantangan dan Masa Depan Pers

Pers menjalankan peran yang mendukung akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan inklusi dalam proses demokrasi. Untuk menjalankan peran tersebut, diperlukan suatu syarat yang tidak dapat ditawar, yaitu kemerdekaan atau kebebasan pers.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Direktur Jendral Unesco Irina Bokova memberikan sambutan dalam acara Pembukaan World Press Freedom Day 2017 yang digelar di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (3/5/2017).

Fakta Singkat

  • Berdasarkan data Indeks Kebebasan Pers Dunia periode 2023, lima negara menduduki peringkat tertinggi kebebasan pers, yaitu Norwegia (skor 95,18), Irlandia (skor 89,91), Denmark (skor 89,48), Swedia (skor 88,15), dan Finlandia (skor 87,94).
  • Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023 juga menyebutkan, lima peringkat terbawah kebebasan pers ditempati oleh negara-negara Asia, yaitu Korea Utara (skor 21,72), China (skor 22,97), Vietnam (skor 24,58), Iran (skor 24,81), dan Turkmenistan (skor 25,82).
  • Dari 180 negara yang disurvei pada Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023, Indonesia berada di peringkat ke-108 dengan skor 54,83 dan dalam kategori ”buruk” berdasarkan data Reporters Without Borders.
  • Pada 2022, AJI menemukan ada 61 kasus kekerasan pers di Indonesia dengan korban berjumlah 97 orang yang berasal dari jurnalis, pekerja media, dan 14 organisasi media.
  • Dari 61 kasus 24, di antaranya ada keterlibatan aktor negara, dengan rincian polisi 15 kasus, aparat pemerintah 7 kasus, dan TNI 2 kasus.
  • Kebebasan Pers diatur dan dilindungi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pers dan media dalam negara demokrasi memiliki peran yang sangat penting. Dalam masyarakat demokrasi, pers bertugas menjalankan peran-peran yang mendukung akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan inklusi dalam proses demokrasi. Lebih jauh, pers dan media diyakini menjadi institusi yang dapat melakukan checks and balances.

Atas dasar itulah, pers dinilai sebagai kekuasaan keempat, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Merujuk Bagir Manan dalam buku berjudul Politik Publik Pers, sebagai kekuasaan keempat tidak dilihat dari pembagian pengelolaan kekuasaan negara, tetapi sebagai suatu kekuatan sosial.

Pers sebagai kekuasaan keempat berada di luar fungsi-fungsi pengelolaan dan penyelenggaraan negara. Namun, pers bertanggung jawab atas perikehidupan bernegara seperti memelihara demokrasi dan memperjuangkan tujuan bernegara.

Untuk menjalankan fungsi-fungsi di atas dengan baik dan berdampak terhadap perikehidupan bernegara atau sosial pada umumnya diperlukan suatu syarat yang tidak dapat ditawar, yaitu kemerdekaan atau kebebasan pers.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara (kanan belakang) bersama puluhan wartawan mempromosikan peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day/WPFD) yang akan diselenggarakan di Jakarta pada 1-4 Mei 2017. dengan jalan santai di kawasan hari bebas kendaraan bermotor, Bunderan Hotel Indonesia (HI), Thamrin, Jakarta, Minggu (16/4/2017).

Apa itu Pers dan Kebebasan Pers?

Dalam bahasa Indonesia, kata “pers” diambil dari bahasa Belanda. Secara etimologis, “pers” atau “press” dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin pressus. Kata tersebut memiliki arti tekanan, tertekan, terhimpit, atau padat.

Sementara secara terminologis, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pers” dirumuskan sebagai usaha percetakan dan penerbitan; usaha pengumpulan dan penyiaran berita; penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio; orang yang bergerak dalam penyiaran berita; medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.

Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang dimaksud dengan pers ialah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Sedangkan kebebasan atau kemerdekaan pers (freedom of the press) dalam kamus Merriam-Webster, didefinisikan sebagai “the right of newspapers, magazines, etc., to report news without being controlled by the government” atau hak media massa untuk melaporkan berita tanpa kontrol pemerintah. Dari definisi ini, kemerdekaan pers berarti juga “independensi” dari segala perintah atau ketundukan pihak yang berkuasa.

Kebebasan atau kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Hal ini telah diatur dan dilindungi oleh UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Meski demikian, merujuk kembali Bagir Manan, sebagaimana kemerdekaan atau kebebasan pada umumnya, dalam kebebasan pers senantiasa ada tanggung jawab yang melekat, seperti senantiasa menjunjung tinggi etik, kredibel, independen, seimbang, adil, check dan recheck, dan lainnya. Sebab, sejatinya kebebasan pers bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi, membangun peradaban yang luhur yang berisi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Jurnalis di Malang Raya memeringati Hari Kebebasan Pers Sedunia dengan melakukan unjuk rasa damai di depan Balaikota Malang, Jawa Timur (3/5/2017). Selain menyerukan kebebasab pers, para pewarta media cetak, online, radio, dan televisi tersebut juga melakukan kampanye anti hoax atau kabar bohong yang dinilai merugikan masyarakat luas.

Indeks Kebebasan Pers Dunia

Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023 oleh Reporters Without Borders (RSF) yang memantau kondisi jurnalisme di 180 negara, dirilis pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, Rabu (3/5/2023), menunjukkan 31 negara masuk kategori situasi “sangat buruk”, 42 negara kategori “buruk” 55 negara kategori “bermasalah”, serta 52 negara masuk kategori “baik” dan “cukup baik”.

Dalam mengukur indeks, RSF didasari pada definisi kebebasan pers sebagai “kemampuan jurnalis sebagai individu dan kolektif untuk memilih, memproduksi, dan menyebarluaskan berita untuk kepentingan publik terlepas dari campur tangan politik, ekonomi, hukum, dan sosial dan tanpa adanya ancaman terhadap keamanan fisik dan mental mereka”.

Berlandaskan definisi itu, RSF menggunakan lima indikator kontekstual yang mencerminkan situasi kebebasan pers di setiap negara. Kelima indikator itu, antara lain, konteks politik, hukum, konteks ekonomi, konteks sosial-budaya, dan keamanan.

Dari total 180 negara yang dipantau RSF, lima negara menduduki peringkat tertinggi, yaitu Norwegia (skor 95,18), Irlandia (skor 89,91), Denmark (skor 89,48), Swedia (skor 88,15), dan Finlandia (skor 87,94). Adapun Norwegia telah menduduki peringkat pertama selama tujuh tahun berturut-turut. Bahkan, Norwegia berhasil meningkatkan skornya dari 92,65 pada tahun 2022 menjadi 95,18 pada 2023.

Kemampuan Norwegia mewujudkan kebebasan pers merupakan berkat iklim pers yang positif, kerangka hukum Norwegia melindungi kebebasan pers sangat kuat. Konstitusi menjamin kebebasan berekspresi dan hak atas informasi publik. Selain itu, secara keseluruhan, masyarakat dan negara mendorong jurnalisme independen dan pertukaran ide.

Sementara itu, lima peringkat terbawah dihuni oleh negara-negara Asia, yaitu Korea Utara (skor 21,72), China (skor 22,97), Vietnam (skor 24,58), Iran (skor 24,81), dan Turkmenistan (skor 25,82). Kelima negara tersebut memiliki masalah serius terkait kebebasan pers dan berpendapat, di mana lingkungan untuk jurnalisme sangat buruk. Situasi itu disebabkan di antaranya oleh rezim yang represif, penyensoran informasi, teror terhadap media, hingga kekerasan terhadap jurnalis.

Sebagai contoh, Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK), salah satu rezim paling otoriter di dunia, mengontrol informasi dengan ketat dan melarang keras jurnalisme independen. Di bawah kekuasaan Kim Jong-un, putra dan cucu mendiang diktator Kim Jong-il dan Kim Il-sung, mendasarkan kekuasaannya pada pengawasan, penyensoran, dan propaganda.

Pada 2017, pemerintah Korea Utara bahkan menghukum mati jurnalis Korea Selatan karena mengulas buku yang membahas kehidupan sehari-hari di Korea Utara. Pengadilan Korea Utara menilai hal tersebut sebagai kejahatan terkutuk dan penghinaan terhadap martabat.

Contoh lain adalah China. Setiap hari, Departemen Propaganda Partai Komunis Tiongkok mengirimkan pemberitahuan terperinci ke semua media yang mencakup panduan editorial dan topik yang disensor. Media yang berani melaporkan informasi “sensitif” seringkali ditahan, dan dalam beberapa kasus, disiksa. Menurut catatan RSF, China adalah penjara jurnalis terbesar di dunia, dengan lebih dari 100 orang saat ini ditahan.

RSF juga mencatatat, perkembangan teknologi digital telah menjadi ancaman baru bagi kebebasan pers. Teknologi digital telah menimbulkan industri konten palsu, perbedaan menjadi kabur antara benar dan salah, nyata dan artifisial, fakta dan rekayasa, membahayakan hak atas informasi. Contohnya adalah teknologi kecerdasan buatan (AI) yang menghasilkan gambar dengan resolusi sangat tinggi sebagai tanggapan atas permintaan bahasa alami, telah “memberi makan atau umpan konten” kepada media sosial dengan foto palsu yang semakin realistis.

Dari data RSF, berdasarkan wilayah, Eropa, khususnya Uni Eropa, masih menjadi wilayah dunia yang memiliki situasi paling baik bagi jurnalis untuk bekerja. Meski demikian, masih ada sejumlah kasus sensor paksa, jurnalis dimata-matai dan menerima kekerasan. Perang di Ukraina juga telah memengaruhi Eropa Barat, yang terkadang kesulitan menemukan keseimbangan antara keamanan dan kebebasan. Sehingga beberapa negara telah membatasi pekerjaan jurnalistik dengan dalih “keamanan nasional”.

Namun, secara keseluruhan, kebebasan pers di Eropa masih dalam kondisi yang baik. Di kawasan ini, terdapat dua kali lebih banyak negara yang mengalami kenaikan skor pada Indeks 2023 dibandingkan negara yang turun.

Sedangkan wilayah yang paling berbahaya bagi jurnalis adalah Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA). Lebih dari separuh negara yang ada di wilayah ini memiliki nilai skor yang sangat rendah terkait kebebasan pers. Hal ini disebabkan oleh situasi sosio-politik yang sangat buruk, seperti meningkatnya otoritarianisme dan konflik bersenjata.

Di Suriah (peringkat 175) mislanya, terus menjadi salah satu negara paling berbahaya di dunia bagi jurnalis, yang terjebak dalam baku tembak antara tentara pembunuh Bashar al-Assad, milisi, dan intervensi Turki.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Aksi jurnalis di depan Markas Polda NTT (05/04/2022). Aksi itu terkait kekerasan yang dialami jurnalis di daerah itu.

Kebebasan Pers di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Kondisi pers belumlah beranjak menjadi lebih baik. Mengacu pada data Reporters without Borders, Indonesia berada di peringkat ke-108 dari 180 negara yang disurvei.

Dengan skor 54,83 kebebasan pers di Indonesia masuk dalam kategori ”buruk” berdasarkan data Reporter without Borders. Posisi Indonesia di bawah Thailand di peringkat ke-106, Malaysia peringkat  ke-73, dan Timor Timur yang berada di peringkat ke-10.

RSF mencatat bahwa Presiden RI Joko Widodo belum menepati janjinya dalam hal kebebasan pers, khususnya di Papua. Sebagai daerah yang rawan konflik, kebebasan pers di Papua belum berjalan baik. Militer membatasi media meliput penggunaan kekuatannya untuk menekan protes separatis di Papua, sehingga dianggap sebagai ”lubang hitam” informasi di mana jurnalis tidak bisa bekerja dengan bebas.

Jurnalis masih kerap mengalami berbagai bentuk intimidasi oleh polisi atau tentara, mulai dari penangkapan hingga kekerasan fisik. Penyelidikan kasus korupsi lokal dan masalah lingkungan menjadi salah satu liputan yang paling berbahaya bagi jurnalis, terutama ketika hal itu mempengaruhi kepentingan yang didukung oleh pejabat lokal. Dalam konteks sosial, pemberitaan tentang topik-topik tertentu, seperti LGBT, kemurtadan, dan pernikahan anak di bawah umur, masih dianggap tabu.

Dari konteks kerangka hukum, jurnalis di Indonesia harus berhadapan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang potensial digunakan untuk memidanakan jurnalis. Dua pasal karet dalam UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 3 tentang ujaran kebencian rentan menjerat pers terutama jurnalis. Jurnalis dapat dipenjarakan hingga enam tahun karena pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.

Adopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru pada 2022 juga berpotensi mengancam kebebasan pers. Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli mengungkapkan sejumlah pasal dalam KUHP bermasalah, di antaranya menyangkut pencemaran nama baik, kelengkapan berita, serta penghinaan terhadap kepala negara dan perangkat pemerintah (“RKUHP Berpotensi Mengancam Kebebasan Pers”, Kompas, 18 Juli 2022).

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyusun sejumlah pamflet saat berlangsungnya acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Menteng, Jakarta, Minggu (3/5/2015). Aksi yang diikuti puluhan anggota AJI itu menyerukan penghentian tindak kekerasan dan sejumlah ancaman bagi kebebasan pers yang selama ini dirasakan oleh para jurnalis di
Indonesia.

IKP Dewan Pers

Sementara itu, dari survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2022 oleh Dewan Pers, secara nasional tingkat kemerdekaan pers di Indonesia berada dalam posisi “cukup bebas” dengan skor 77,88. Angka ini naik dibandingkan skor pada 2021, yaitu 76,02.

IKP Dewan Pers diperoleh melalui survei di 34 provinsi. Penilaian IKP mencakup tiga dimensi, yaitu Lingkungan Fisik dan Politik yang terdiri dari sembilan indikator; Lingkungan Ekonomi yang terdiri dari lima indikator; dan Lingkungan Hukum yang terdiri dari enam indikator.

Indeks Kemerdekaan Pers Nasional

Provinsi Skor
Kalimantan Timur 83,78
Jambi 83,68
Kalimantan Tengah 83,23
Sulawesi Barat 82,53
Kalimantan Barat 82,32
Riau 82,01
Sulawesi Tengah 81,94
Jawa Barat 81,53
Kalimantan Utara 81,43
Sumatera Selatan 81,40
Jawa Tengah 80,99
Kepulauan Riau 80,95
Sulawesi Tenggara 80,47
Bali 79,78
NTB 79,62
DKI Jakarta 79,42
Sulawesi Utara 79,36
Lampung 79,20
DI Yogyakarta 78,86
Sumatera Barat 78,72
Kalimantan Selatan 78,58
NTT 78,24
Bengkulu 77,52
Maluku 77,28
Sulawesi Selatan 77,28
Aceh 76,39
Kep. Bangka Belitung 76,19
Sumatera Utara 75,92
Gorontalo 75,61
Papua 75,57
Banten 74,50
Jawa Timur 72,88
Maluku Utara 69,84
Papua Barat 69,23
Nasional 77,88

Sumber: Indeks Kemerdekaan Pers 2022 Dewan Pers

  • Catatan: Penilaian IKP mencakup tiga dimensi, yaitu: Lingkungan Fisik dan Politik yang terdiri dari sembilan indikator; Lingkungan Ekonomi yang terdiri dari lima indikator; dan Lingkungan Hukum yang terdiri dari enam indikator.

Meski berada dalam posisi “cukup bebas”. Secara umum, pers belum sepenuhnya bebas. Ini tercermin dari masih adanya pelanggaran terhadap kebebasan pers, khususnya represi dan kekerasan kepada jurnalis.

“Tahun 2022 mencatatkan tantangan untuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers bertubi-tubi direpresi, baik melalui kekerasan langsung maupun dengan potensi kekerasan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan,” ujar Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin dalam diseminasi laporan tahunan tersebut di Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Merujuk Annual Report LBH Pers 2022, sepanjang tahun 2022 LBH Pers mencatat setidaknya terdapat 51 peristiwa kekerasan terhadap pers, baik dilakukan kepada media, jurnalis, narasumber, aktivis pers, hingga pers mahasiswa dalam konteks kerja jurnalistik.

Latar Belakang Pelaku Kekerasan Terhadap Pers

Aktor Jumlah
Polisi 15
Aparat Pemerintah 7
TNI 2
Ormas 4
Parpol 1
Perusahaan 6
Warga 9
Tidak Teridentifikasi 17

Sumber: Aliansi Jurnalis Indonesia

Dari 51 kasus, setidaknya terdapat 113 korban individu dan organisasi. Kekerasan banyak terjadi ketika meliput terkait isu kebijakan pemerintah pusat atau daerah. Adapun latar belakang pelaku kekerasan, masih didominasi oleh aparat kepolisian.

Belum surutnya ancaman terhadap kebebasan pers juga ditunjukan oleh Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Melalui monitoring harian secara langsung bersama 40 AJI Kota, survei dan focus group discussion (FGD), dan monitoring media. Pada 2022, AJI menemukan ada 61 kasus dengan korban berjumlah 97 orang yang berasal dari jurnalis, pekerja media, dan 14 organisasi media. Dari 61 kasus 24, di antaranya ada keterlibatan aktor negara, dengan rincian polisi 15 kasus, aparat pemerintah 7 kasus, dan TNI 2 kasus.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sejumlah poster yang menggambarkan sosok jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), dipajang dalam pameran Memorabilia Wartawan Udin di Ruang Kolaborasi Antologi, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (4/5/2021). Hasil penjualan poster tersebut akan disumbangkan ke keluarga Udin serta digunakan untuk membiayai kampanye stop kekerasan terhadap jurnalis.

Ancaman Serangan Digital

Di tengah perkembangan era digital, tidak hanya pers itu sendiri yang mengalami perubahan. Cara-cara pembungkaman pers pun nyatanya juga mengalami transformasi.

Berdasarkan pantauan LBH Pers pada tahun 2022, terjadi pergeseran upaya pembungkaman pers dalam beberapa tahun kebelakang. Sebelum era digital, pembungkaman pers umumnya dilakukan melalui tindakan kekerasan, intimidasi maupun melalui kriminalisasi. Namun, pada era digital pembungkaman pers mulai bertransformasi menjadi “serangan digital”.

Ada beberapa bentuk serangan digital terhadap pers, di antaranya berupa doxing, serangan DDoS, penyadapan (hacking), perundungan siber (cyber bullying), hingga pelabelan hoax terhadap suatu pemberitaan.

Merujuk Laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022, AJI Indonesia mencatat ada 15 serangan dan gangguan digital dengan jumlah korban 43 awak redaksi dan 9 organiasi media. Serangan digital yang paling banyak terjadi adalah berupa peretasan yang dialami oleh jurnalis dan DDoS yang ditargetkan ke situs organisasi media.

Jenis Serangan terhadap Jurnalis dan Media

Jenis Serangan Jumlah
Serangan digital 15
Kekerasan fisik dan perusakan alat kerja 20
Kekerasan verbal 10
Kekerasan berbasis gender 3
Penangkapan dan pelaporan pidana 5
Penyensoran 8
Total 61

Sumber: Aliansi Jurnalis Indonesia

Salah satu serangan digital paling masif menyasar 37 kru redaksi dan eks karyawan Narasi TV pada September 2022. Akun media sosial mereka diretas. Laman Narasi juga menerima serangan DDoS sehingga sempat down dan mengganggu kerja redaksinya.

Hal ini wajib menjadi perhatian. Perlu ada prosedur keamanan digital mulai dari pemetaan risiko serta mitigasinya dengan cara-cara memberikan perlindungan ganda pada akun media sosial dan perangkat kerja.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum dalam seminar web ”Pers dalam Ancaman Kekerasan Digital”, Rabu (21/12/2022), menyarankan perusahaan media untuk memasukkan pengetahuan keamanan digital bagi jurnalis dan awak redaksi dalam kurikulum pelatihan. ”Mendorong perusahaan media berinvestasi terhadap penguatan basis keamanan digital agar tidak mudah mengalami serangan,” ucapnya (“Serangan Digital terhadap Media dan Jurnalis Semakin Masif”, Kompas, 21 Desember 2022).

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Cirebon menggelar aksi peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Tugu Proklamasi, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (30/5/2022). Aksi yang digagas Aliansi Jurnalis Independen itu untuk menyuarakan pentingnya kebebasan pers.

Tantangan Tahun Politik

Selain ancaman pembungkaman seperti kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi, tantangan kebebasan pers saat ini adalah intervensi independensi pers. Terlebih dalam menghadapi tahun politik menjelang pemilu 2024. Potensi intervensi atas independensi pers ini bisa datang dari pemerintah, kepentingan bisnis, hingga pemilik media itu sendiri.

Saat ini, ada sejumlah pemilik media diketahui merupakan tokoh politik atau menjalin hubungan erat dengan partai politik. Bahkan mereka menjadi ketua umum partai.

Bukan tidak mungkin orientasi politik tokoh-tokoh tersebut dapat mempengaruhi agenda setting media yang dimilikinya. Apalagi, mengingat situasi politik dengan lanskap polarisasi dalam beberapa tahun kebelakang.

Dalam hal ini, pers harus mengingat kembali hakikat fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, seperti yang tertuang dalam UU Pers. Sebagai pilar keempat demokrasi, keberadaan pers yang independen dan profesional sangat dibutuhkan di tahun politik. Independensi pers adalah salah satu wujud kebebasan pers.

Sebagai media informasi, tahun politik seharusnya bisa menjadi momentum bagi pers kembali menunjukan jati dirinya sebagai pembuat informasi yang terpercaya dan berkualitas. Pers dituntut menjalankan peran meningkatkan pemahaman intelektual masyarakat terhadap isu-isu kepemiluan, agar publik bisa membuat keputusan rasional terbaik. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Manan, Bagir. 2012. Politik Publik Pers. Jakarta: Dewan Pers.
Arsip Kompas
  • “Penyensoran di Era Kebebasan Pers”, Kompas, 25 Januari 2021.
  • “Ancaman Kebebasan Pers Masih Tinggi”, Kompas, 2 Mei 2021.
  • “Kebebasan Pers di Indonesia Melemah”, Kompas, 3 Mei 2022.
  • RKUHP Berpotensi Mengancam Kebebasan Pers”, Kompas, 18 Juli 2022.
  • “Kebebasan Pers Direpresi dari Berbagai Sisi”, Kompas, 11 Januari 2023.
  • “Pers Diminta Jaga Nalar Publik di Tahun Politik”, Kompas, 26 Januari 2023.
  • “Survei Kompas: Publik Berharap Pers Semakin Profesional”, Kompas, 9 Februari 2023.
  • “Pesan dari Kebebasan Pers”, Kompas, 4 Mei 2023.
Hasil Riset
  • Indeks Kebebasan Pers 2022. Diakses dari dewanpers.or.id
  • Annual Report LBH Pers 2022: Jurnalisme Dalam Kepungan Represi. Diakses dari lbhpres.org
  • Serangan Meningkat, Otoritarianisme Menguat: Laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022. Diakses dari aji.or.id
  • 2023 World Press Freedom Index. Diakses dari rsf.org

Artikel terkait