Paparan Topik

Indeks Kebahagiaan dan Kualitas Hidup Manusia

Indeks kebahagiaan merupakan parameter kesejahteraan masyarakat berdasarkan tingkat kebahagiaan. Faktor penting bagi kebahagiaan masyarakat Indonesia adalah ikatan sosial yang kuat.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Siswa SDN Gentong Kota Pasuruan tertawa saat mengikuti pelayanan pemulihan trauma di Madrasah Diniyah (Madin) Al Ghofuriyah Gentong, Pasuruan, Jawa Timur, Senin (11/11/2019). Akibat atap sekolah ambruk, empat ruang kelas rusak berat pada Selasa (5//11/2019) dan menewaskan dua orang.

Fakta Singkat

  • Indeks Kebahagiaan masyarakat di Indonesia mengalami peningkatan, yakni dari 70,69 pada 2017 menjadi 71,49 pada 2022.
  • Pengukuran kebahagiaan internasional lewat World Happiness Report menunjukkan bahwa kebahagiaan di Indonesia berada pada peringkat ke-87 dari total 142 negara.
  • Provinsi dengan rasio tutupan hutan yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
  • Faktor pendukung penting bagi kebahagiaan masyarakat Indonesia adalah ikatan sosial yang terbangun. Dari skala 5–25, nilai ikatan sosial masyarakat Indonesia mencapai skor 18,5.
  • Perbandingan IKI dengan IPM menunjukkan bahwa dimensi ekonomi bukan faktor utama pencapai kebahagiaan.
  • Ikatan sosial yang kuat mendukung kebahagiaan masyarakat Indonesia meski berada dalam situasi pandemi.

Forgeard dalam artikel akademik “Doing the Right Thing: Measuring Well-Being for Public Policy”, menyampaikan bahwa masyarakat yang bahagia akan memberikan pengaruh signifikan bagi keberhasilan pembangunan dan perkembangan sosial di masyarakat.

Kebahagiaan yang dirasakan oleh penduduk pada masa lalu akan mendorong individu untuk berusaha tetap optimal mencapai tujuan hidupnya. Dengan usaha tersebut, masyarakat akan lebih mampu beradaptasi menghadapi berbagai tantangan hidup di masa depan.

Dengan potensi positif kebahagiaan bagi keberlanjutan masyarakat dan pembangunan tersebut, maka pengetahuan atas situasi kebahagiaan masyarakat memang penting diperoleh. Sebab, hal tersebut menjadi modal evaluasi pembangunan dan mendorong kebijakan yang secara objektif mendorong kesejahteraan.

Sejumlah negara mulai berupaya untuk mengembangkan pengukuran kebahagiaan. Di Indonesia pengukuran dilakukan oleh lembaga Badan Pusat Statistik. Di tanah air, upaya pengukuran subyektif hasil pembangunan dihadirkan melalui Indeks Kebahagiaan Indonesia atau IKI.

Indeks tersebut mengangkat kebahagiaan sebagai indikator untuk melihat bagaimana perasaan masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Perspektif bahagia mewakili perasaan masyarakat akan konsekuensi pembangunan nasional atau regional dalam kehidupan sehari-hari. Data atas IKI diperoleh melalui Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan atau SPTK.

BPS sudah beberapa kali melaksanakan kajian kebahagiaan dan SPTK. Beberapa kajian pertama dilakukan pada tahap uji coba pada tahun 2012 dan 2013. Setelahnya, SPTK telah dilakukan secara resmi sebanyak tiga kali, yakni tahun 2014, 2017, dan 2021.

Forgeard dkk dalam artikelnya menyampaikan bahwa masyarakat yang bahagia akan memberikan pengaruh signifikan bagi keberhasilan pembangunan dan perkembangan sosial di masyarakat. Kebahagiaan yang telah dirasakan oleh penduduk pada masa lalu akan mendorong individu untuk berusaha tetap optimal mencapai tujuan hidupnya. Dengan usaha tersebut, masyarakat akan lebih mampu beradaptasi menghadapi berbagai tantangan hidup di masa depan.

Dengan keselarasan kebahagiaan bagi keberlanjutan masyarakat dan pembangunan tersebut, maka pengetahuan atas situasi kebahagiaan masyarakat memang penting diperoleh. Hal tersebut akan menjadi modal evaluasi pembangunan dan mendorong kebijakan yang secara objektif mendorong kesejahteraan.

Sebagaimana disampaikan Magnis-Suseno dalam buku Kuasa dan Moral, manusia sendirilah yang menjadi tujuan utama pembangunan. Dengan menghadirkan indikator kebahagiaan daripada indikator ekonomi makro, gambaran kondisi kesejahteraan masyarakat akan lebih tercapai.

Baca juga: Memahami Indeks Kebahagiaan

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Gerakan Mari Tersenyum Ratusan simpatisan mengajak warga tersenyum sambil melepaskan balon dalam kampanye Gerakan Mari Tersenyum yang digelar Himpunan Psikologi Indonesia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (10/10/2012). Gerakan tersenyum adalah salah satu cara mencegah
depresi yang diadakan untuk memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.

Konsep dan Pemahaman Kebahagiaan

Dalam bahasa Indonesia, kebahagiaan berasal dari kata dasar bahagia. KBBI lantas memberikan definisi atasnya sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram atau bebas dari segala hal yang menyusahkan. Kebahagiaan adalah kualitas kesenangan dan ketenteraman dalam situasi lahir dan batin. Pemahaman demikian menunjukkan sifat bahagia lebih dalam daripada kesenangan semata.

Melampaui konteks kebahasaan semata, pemahaman atas kebahagiaan juga telah menjadi pokok bahasan penting bagi filsafat. Sebagai cabang utama ilmu pengetahuan, selama berabad-abad filsafat, terutama filsafat etika, telah berupaya membangun pemahaman atas kebahagiaan. Salah satu upaya paling kuno dilakukan oleh Plato dalam bukunya Republic.

Dengan disusun dalam bentuk percakapan, Plato memahami kebahagiaan jauh lebih dalam daripada kesenangan semata. Bahagia adalah situasi damai dengan tidak terganggu dari berbagai situasi di dunia materiil. Untuk mencapai bahagia, Plato menekankan manusia untuk secara rasional memahami alam kehidupannya, terutama menyadari berbagai perubahan yang mungkin terjadi.

Aspek batin dan jiwa dalam konsep kebahagiaan juga diungkapkan oleh filsuf asal Denmark, Søren Kierkegaard, berpuluh-puluh abad setelah Plato. Kierkegaard menekankan bahwa kebahagiaan adalah hasrat jiwa dalam diri tiap manusia. Hasrat tersebut tidak akan dapat terpenuhi oleh pencarian materailistis, seperti harta, kekuasaan, atau keramaian.

Pada konteks yang lebih modern, sosiolog Erich Fromm dalam buku Mempunyai atau Mengada? (To Have or To Be?) memberikan usaha pemahaman kebahagiaan secara lebih konkret. Menurutnya, kebahagiaan adalah hasil dari kehidupan yang berorientasi produktif, yang terletak pada usaha konstan untuk menjadi pribadi yang terus bertumbuh secara bebas dan mandiri. Fromm menekankan poin kebahagiaan bukan terletak pada soal memiliki (having), tapi pada modus “menjadi” (being) tersebut.

Oleh karena itu, Fromm menegaskan bahwa kebahagiaan tercapai lewat kualitas hidup yang tidak menggantungkan diri pada hal materi. Modus “menjadi” menekankan kebahagiaan untuk diperoleh melalui diri sendiri, dengan membangun kualitas-kualitas yang positif yang menjadikan hidup bermakna. Fromm menuliskan bahwa makna positif hidup dapat dicapai melalui aspek seperti berbagi, memberi, berkorban, dan bersolidaritas.

Pada tataran pengukuran yang lebih praktikal, BPS menggunakan acuan definisi kebahagiaan dari KBBI. Dalam kebahagiaan, ada kondisi hidup yang baik dan bermakna. Selain itu, BPS juga mengakomodasi definisi kebahagiaan dari Ruut Veenhoven, sosiolog sekaligus salah seorang pionir studi ilmiah tentang kebahagiaan sebagai kenikmatan subjektif. Veenhoven menyamakan kebahagiaan dengan kepuasan hidup dalam definisi “over all appreciation of one’s life as a whole” – sehingga penggunaan istilah indikator kebahagiaan dan indikator kesejahteraan subjektif dapat saling bertukar.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Aparatur Sipil Negara yang akan segera pensiun maupun yang sudah pensiun tertawa lepas saat komedian Cak Lontong dan Nur Akbar menghibur mereka dalam acara Program Wirausaha ASN dan Pensiunan di Sentul International Convention Center, Bogor, Rabu (16/1/2019).

Indeks Kebahagiaan di Indonesia

Dengan pemahaman demikian, pengukuran kebahagiaan yang dilakukan BPS mengacu pada tiga dimensi pendekatan, yakni kepuasan hidup, perasaan atau afeksi, dan makna hidup. Dimensi pertama yang disebut dibagi kembali menjadi dua sub-dimensi, kepuasan hidup personal dan kepuasan hidup sosial. Dimensi yang kedua mengacu pada kondisi hidup yang menyenangkan (pleasant life). Sementara dimensi terakhir berangkat dari pertimbangan psikologi positif, bahwa kehidupan yang bermakna akan selaras dengan kebahagiaan.

Ketiga pendekatan tersebut lantas membentuk rumusan perhitungan terhadap Indeks Kebahagiaan yang dibuat BPS. Indeks Kebahagiaan atau Kepuasaan Hidup merupakan akumulasi dari Indeks Kepuasan Hidup, Indeks Perasaan (Afeksi), dan Indeks Makna Hidup.

Dalam skala perhitungan 0 sampai dengan 100, interpresetasi data adalah semakin tinggi nilai Indeks Kebahagiaan akan menunjukkan kondisi yang semakin bahagia. Data dalam IKI dicapai melalui pengumpulan data lewat Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian (SPTK) sebagai survei yang secara khusus mengukur kebahagiaan.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Anak-anak SDN Lalomerui, Routa, Konawe, Sulawesi Tenggara, tertawa riang saat istirahat siang, Kamis (21/7/2022). Sekolah dasar satu-satunya di desa ini merupakan tempat belajar dan bermain puluhan siswa di pelosok Sultra ini. Sekolah ini hanya memiliki tiga kelas, sehingga siswa harus berbagi tempat belajar setiap hari.

Secara resmi Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian (SPTK) dilakukan pada 2014 dengan target 75.000 responden. Penetapan jumlah masif tersebut bertujuan agar SPTK dapat memperoleh data kebahagiaan pada level provinsi. Namun pada tahun 2014, pendekatan yang digunakan hanya mengacu pada kepuasan hidup, secara khusus di berbagai dimensi kehidupan seperti pendidikan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, keamanan, dan kondisi rumah.

Pada kelanjutannya, baru sejak SPTK pada tahun 2017 ketiga dimensi pendekatan digunakan. Pada dasarnya, tolok ukur dan penghitungan IKI di tahun 2017 dan 2021 pun sama, sehingga keduanya dapat dibandingkan. Dengan indikator indeks penyusun yang berbeda, secara statistik indeks 2021 dan 2014 tidak bisa dibandingkan. Meski begitu, jumlah target sampelnya masih sama, yakni 75.000 responden dengan level estimasi provinsi.

Perbandingan Indeks Kebahagiaan 2017 dan 2021 menurut provinsi di Indonesia

Provinsi Indeks Kebahagiaan Menurut Provinsi
2017 2022
Aceh 71,96 71,24
Sumatera Utara 68,41 70,57
Sumatera Barat 72,43 71,34
Riau 71,89 71,80
Jambi 70,45 75,17
Sumatera Selatan 71,98 72,37
Bengkulu 70,61 69,74
Lampung 69,51 71,64
Kep. Bangka Belitung 71,75 73,25
Kep. Riau 73,11 74,78
DKI Jakarta 71,33 70,68
Jawa Barat 69,58 70,23
Jawa Tengah 70,92 71,73
Di Yogyakarta 72,93 71,70
Jawa Timur 70,77 72,08
Banten 69,83 68,08
Bali 72,48 71,44
Nusa Tenggara Barat 70,70 69,98
Nusa Tenggara Timur 68,98 70,31
Kalimantan Barat 70,08 72,49
Kalimantan Tengah 70,85 73,13
Kalimantan Selatan 71,99 73,48
Kalimantan Timur 73,57 73,49
Kalimantan Utara 73,33 76,33
Sulawesi Utara 73,69 74,96
Sulawesi Tengah 71,92 74,46
Sulawesi Selatan 71,91 73,07
Sulawesi Tenggara 71,22 73,98
Gorontalo 73,19 74,77
Sulawesi Barat 70,02 73,46
Maluku 73,77 76,28
Maluku Utara 75,68 76,34
Papua Barat 71,73 74,52
Papua 67,52 69,87
Indonesia 70,69 71,49

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada IKI tahun 2021, ditunjukkan bahwa kebahagiaan rata-rata masyarakat Indonesia secara nasional mengalami peningkatan. Indeks kebahagiaan nasional mengalami peningkatan 0,80 poin dari indeks tahun 2017 (70,69) ke tahun 2021 (71,49). Fenomena saat situasi survei dilakukan sangat tepat, karena ketika SPTK dilaksanakan, masyarakat Indonesia tengah diguncang oleh situasi pandemi.

Secara lebih rinci, peningkatan IKI dapat terjadi karena hasil pengukuran dari ketiga indikator pendekatan yang menjadi penyusunnya. Dimensi kepuasaan hidup masyarakat Indonesia pada tahun 2021 mencapai skor 75,16 poin, dengan kepuasan personal pada skor 70,26 dan kepuasaan hidup sosial pada skor 80,07. Sementara dimensi perasaan (afeksi) dan makna hidup secara berturut-turut mencapai skor 65,61 dan 73,12.

Pada 2021, hanya dimensi yang disebutkan pertama dan ketiga yang mengalami peningkatan skor, yakni sebesar 4,09 poin dan 0,89 poin. Sementara untuk dimensi perasaan justru mengalami penurunan skor indeks sebesar 2,98 poin. Termasuk dalam pengukuran dimensi perasaan adalah perasaan senang/riang, perasaan tidak khawatir/cemas, dan perasaan tidak tertekan.

Selain itu, dalam perbandingan IKI 2017 dan 2021 juga didapatkan bahwa 24 dari total 34 provinsi di Indonesia mengalami peningkatan skor indeks kebahagiaan. Peningkatan tertinggi dialami oleh masyarakat Jambi dengan tambahan skor hingga 4,72 poin. Sementara di sisi yang bertolak belakang terdapat Provinsi Banten yang justru mengalami penurunan skor kebahagiaan. Pertumbuhan indeks kebahagiaan di provinsi tersebut mengalami minus 1,75 poin.

Selain Banten, terdapat sembilan provinsi lain yang mengalami penurunan Indeks Kebahagiaan pada tahun 2021. Di Sumatera, diantaranya Aceh, Riau, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Sementara untuk wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, diantaranya Banten, DKI Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Di kawasan Kalimantan, penurunan indeks kebahagiaan hanya terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Sementara di Papua, Indeks Kebahagiaan tidak mengalami penurunan.

Lima provinsi dengan peningkatan skor kebahagiaan tertinggi

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dalam pengukuran kebahagiaan ini, BPS juga tidak semata menganalisisnya secara spasial dalam pembagian provinsi. Hasil dari SPTK juga dimasukkan dalam indikator-indikator seperti pendidikan, jenis kelamin, kelompok umur, jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, kedudukan dalam rumah tangga, hingga status pernikahan. Dari sejumlah indikator tersebut, IKI menunjukkan sejumlah kecenderungan data yang menarik.

Pada indikator kelompok umur di tahun 2021, masyarakat yang berada pada kelompok umur 25-40 tahun memiliki skor kebahagiaan tertinggi dibandingkan kelompok umur lainnya. Skor Indeks Kebahagiaan kelompuk umur tersebut berada pada poin 72,39.

Sebaliknya, skor kebahagiaan terendah dimiliki oleh masyarakat pada kelompok umur di atas 65 tahun. Tren serupa juga ditunjukkan oleh IKI 2017. Namun di tahun tersebut, skor kebahagiaan tertinggi  tampak dimiliki oleh kelompok umur di bawah 24 tahun.

Indeks Kebahagiaan berdasarkan kelompok umur

Sumber: Badan Pusat Statistik

Sementara itu, angka Indeks Kebahagiaan pada indikator jumlah anggota rumah tangga menunjukkan masyarakat dengan jumlah anggota rumah tangga sebanyak empat orang memiliki skor kebahagiaan tertinggi dibanding jumlah lainnya, yakni 72,06 poin. Hal serupa juga ditunjukkan pada IKI 2017, dengan skor kebahagiaan 71,20.

Sementara tingkat kebahagiaan terendah dalam kedua IKI dimiliki oleh masyarakat dengan hanya satu anggota rumah tangga. Pada tahun 2021, skor kebahagiaannya berada pada poin 68,19, turun dibandungkan tahun 2017 dengan skor 69,1.

Perbandingan Indeks Kebahagiaan berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga

Sumber: Badan Pusat Statistik

Kebahagiaan Indonesia di Level Dunia

Dalam cakupan yang lebih luas, terdapat bentuk lain pengukuran Indeks Kebahagiaan, yakni World Happiness Report (WHR) atau Laporan Kebahagiaan Negara-Negara di Dunia.

Dalam kedua pengukuran dengan skala berbeda tersebut, jelas terdapat perbedaan-perbedaan lain dalam hal penyelenggaraan riset kebahagiaan. Berbeda dengan IKI yang diterbitkan tiga atau empat tahun sekali, WHR diterbitkan setiap tahun. WHR tahun 2022 menjadi riset kebahagiaan ke-10 yang telah diterbitkan melalui lembaga PBB.

Juga berbeda dengan IKI yang menggunakan tiga dimensi untuk mengukur kebahagiaan, dimensi pengukuran yang digunakan WHR lebih bervariasi. Terdapat pengukuran atas produk domestik bruto per kapita, jaring pengaman sosial, harapan hidup, kebebasan hidup, persepsi tingkat korupsi, hingga tingkat kemurahan hati masyarakat (generosity).

Sejumlah indikator tersebut secara nyata menunjukkan korelasi langsung dengan kebahagiaan, dan sedikit banyak termuat dalam dimensi pengukuran IKI. Namun, untuk dimensi yang disebutkan terakhir cukup berbeda dengan pengukuran IKI. Kemurahan hati atau generosity terbukti berhubungan sangat erat dengan kualitas kebahagiaan. Murah hati dalam pemahaman ini adalah bentuk kebaikan dalam wujud memberi dan berbagi – selaras dengan pemahaman kebahagiaan yang disampaikan Fromm di atas.

Kompas (20/8/22, “Langkan: Terbukti, Berbuat Baik Membahagiakan”) mencatat bahwa bermurah hati melakukan kebaikan, seperti berbagi tumpangan dan memberikan makanan kepada orang lain, selaras dengan peningkatan kebahagiaan. Tidak hanya kebahagiaan bagi sang pemberi, namun juga penerimanya. Tak hanya itu, kemurahan hati juga bersifat menular dan mendorong penerimanya untuk melakukan tindakan serupa. Dengan demikian, akan terbentuk rentetan kebahagiaan yang kian meluas.

Dalam hasil riset kebahagiaan yang ditampilkan WHR terhadap 146 negara, negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi adalah Finlandia. Negara tersebut memperoleh skor kebahagiaan 7,821 dalam skala 0-10. Sementara, negara dengan tingkat kebahagiaan terendah adalah Afganistan dengan skor kebahagiaan 2,4. Kelima belas negara dengan tingkat kebahagiaan terendah didominasi oleh negara-negara Afrika dan Timur Tengah.

Sementara negara Indonesia menduduki peringkat kebahagiaan ke-87 dengan skor 5,240. Di kawasan Asia, Indonesia menempati peringkat kebahagiaan ke-23. Dari berbagai indikator kebahagiaan yang digunakan, faktor pendapatan per kapita memberikan pengaruh kebahagiaan tertinggi, yakni sebesar 1,38 poin. Sementara pengaruh paling kecil dalam mendukung kebahagiaan adalah persepsi korupsi, hanya mencapai skor 0,047.

Skor persepsi korupsi dicapai dengan mengacu pada pertanyaan “Apakah korupsi tersebar luas di seluruh pemerintahan di negara ini atau tidak?” dan “Apakah korupsi meluas dalam bisnis di negara ini atau tidak?”. WHR percaya bahwa situasi korupsi di suatu negara akan berdampak pada persepsi kebahagiaan secara keseluruhan.

Indonesia masuk dalam lima negara dengan populasi terbesar. Dalam peringkat populasi tersebut, Indonesia menduduki posisi kebahagiaan ketiga. Secara berurutan berdasarkan jumlah populasi terbanyak, terdapat negara China (peringkat kebahagian ke-72), India (136), Amerika Serikat (16), Indonesia, dan Pakistan (121).

KOMPAS/YURNALDI

Tertawa adalah salah satu cara memberdayakan diri. Kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Ribuan orang mengikuti Pesta Rakyat-Olah Raga Tawa, yang digelar National Integration Movement di Lapangan Monas, Jakarta, Minggu (14/6/2009).

Kebahagiaan dan Pembangunan

Pada Indeks Kebahagiaan Indonesia 2022, terdapat penjabaran data yang menarik. Ada tiga provinsi di Pulau Jawa yang termasuk dalam provinsi dengan tingkat kebahagiaan terendah. Ketiganya adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Bahkan dalam IKI 2017 maupun 2014 konsisten masuk ke dalam 10 provinsi dengan Indeks Kebahagiaan terendah.

Bersamaan dengan hal tersebut, Pulau Jawa terkenal dengan tingkat pembangunannya yang masif, terutama bila dibandingkan dengan kawasan Indonesia Timur (Kompas, 16/8/2022, “Barat dan Timur Terpaut Satu Dekade”). Pembangunan, sebagaimana disampaikan di atas, diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia atau IPM.

Ketiga provinsi di Jawa yang disebutkan tersebut menduduki 10 besar Indeks Pembangunan tertinggi. Tampak pada laporan IPM 2022, Jakarta menduduki peringkat pertama, sementara Banten dan Jawa Barat masing-masing menduduki peringkat delapan dan 10. Perbandingan kedua indeks tersebut menunjukkan kontradiksi yang begitu mencolok, bahwa ketiga provinsi pada 10 besar tingkat pembangunan tertinggi, justru masuk dalam 10 provinsi dengan tingkat kebahagiaan terendah.

Sama dengan IKI, pengukuran dan perhitungan IPM juga dibentuk oleh tiga dimensi pendekatan. Ketiganya adalah umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak. Indikator pada IPM ditujukan untuk mengetahui keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup masyarakat.

Melalui IPM, tampak peringkat pembangunan suatu wilayah atau negara. Di Indonesia sendiri, IPM menjadi data strategis bagi pengukuran kinerja pemerintah dan alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU).

Sumber: BPS

Hubungan yang ditemukan antara kedua indeks tersebut menjadi faktor penting yang menunjukkan bahwa daerah dengan pembangunan lebih maju, disertai dengan fasilitas publik yang lebih lengkap dan kondisi ekonomi yang lebih baik, belum tentu menjamin tingkat kebahagiaan manusia di dalamnya.

Dengan demikian, temuan kuantitatif ini kian meneguhkan pernyataan bahwa sumber kebahagiaan dapat berasal dari dari berbagai faktor, tidak semata materiil, namun juga non-materiil (Kompas.id, 20/10/2022, “Memaknai Kebahagiaan Masyarakat Indonesia”).

Hubungan antara kebahagiaan dan tingkat pembangunan ekonomi yang kerap tidak saling menjamin juga ditunjukkan oleh data pada WHR. Negara Guatemala (peringkat 39) dan Uruguay (30) memiliki Indeks Kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan negara Jepang (54).

Padahal negara terakhir memiliki PDB yang jauh lebih tinggi dari kedua negara lainnya. PDB Jepang mencapai Singapura sebesar 4,9 triliun dollar AS, sedangkan Guatemala sebesar 85,99 miliar dollar AS, dan Uruguay sebesar 59,32 miliar dollar AS. Data internasional demikian juga menunjukkan bahwa kebahagiaan bukan semata-mata soal ekonomi dan pembangunan material, tetapi mencakup unsur kehidupan lainnya.

Selain itu, lembaga Forest Watch Indonesia (FWI) juga menyandingkan IKI 2017 dengan rasio persebaran atau tutupan hutan di Indonesia. Hasil yang dicapai adalah wilayah dengan rasio tutupan hutan yang tinggi cenderung dihuni oleh masyarakat yang tingkat kebahagiannya lebih tinggi. Di Maluku Utara misalnya, sebagai provinsi dengan kebahagiaan tertinggi, tutupan hutannya masih begitu lebat dan hijau.

Dari temuan tersebut, manajer kampanye FWI, Mufti Barri, menyoroti fenomena naik gunung dan camping yang kian masif dilakukan masyarakat perkotaan. Masyarakat kota kita menyadari alam organik sebagai sumber kebahagiaan, sehingga kian giat melakukan aktivitas yang kembali ke alam.

Tak hanya itu, kehadiran hutan juga mendukung keberlanjutan lingkungan spasial. Dengan dukungan hutan, berbagai bencana lingkungan, seperti longsor, kekurangan air, suhu udara panas, dan banjir, dapat dicegah. “Hutan menjadi ekosistem yang sangat penting bagi sistem ekosistem umat manusia yang hidup di bumi ini, karena tanpa hutan bencana akan terus datang. Tanpa hutan, tidak ada kebahagiaan bagi manusia,” kata Barri (Kompas.id, 16/1/2020, “Ingin Bahagia? Pertahankan Hutan”).

Memaknai dan Mencapai Kebahagiaan

Pada IKI 2022, dari keseluruhan penilaian indikator, salah satu faktor pencipta kebahagiaan masyarakat Indonesia yang paling tampak jelas adalah lingkungan sosial. Hal tersebut terbukti sekaligus teruji secara konkret dalam situasi pandemi Covid-19, sebagai konteks waktu pelaksanaan SPTK 2022. Kekuatan ikatan sosial tampak begitu relevan di saat masa-masa terpuruknya masyarakat.

Kekuatan lingkungan sosial sebagai fondasi bermasyrakat dan berkehidupan juga ditunjukkan oleh hasil survei Kompas pada Juli 2021. Dalam survei tersebut, diperoleh temuan bahwa kohesi sosial atau hubungan sosial yang masih begitu tinggi dalam masyarakat Indonesia, meskipun adanya hantaman pandemi.

Survei Kompas tersebut menemukan, kekuatan derajat kohesi sosial tecermin dari skor rata-rata ikatan sosial masyarakat Indonesia yang mencapai skor 18,5, dalam rentang skala 5–25 (Kompas.id, 20/10/2022, “Memaknai Kebahagiaan Masyarakat Indonesia”). Melalui keselarasan IKI 2022 dan situasi empiris di lapangan, ditemukan bahwa kehadiran keluarga, relasi sosial, dan kelekatan antar penduduk menjadi faktor kebahagiaan yang penting.

Ikatan sosial yang kuat yang mendukung kebahagiaan masyarakat Indonesia, meski berada dalam situasi pandemi telah menjadi fenomena tersendiri yang menarik. Bahwa skor IKI nasional justru mengalami kenaikan pada saat pandemi menunjukkan dampak kuatnya dukungan ikatan sosial tersebut.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pengunjung mengabadikan deretan gedung pencakar langit dari Skywalk Senayan Park, Senayan, Jakarta, Rabu (29/12/2021). Tempat ini menjadi destinasi wisata baru bagi masyarakat di akhir tahun yang ingin menyaksikan pemandangan Ibu Kota dari ketinggian. Berwisata merupakan salah satu parameter kebahagiaan.

Kepala Pusat Kesehatan Mental Masyarakat (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Diana Setiyawati menyebutkan bahwa hal demikian menjadi keunikan masyarakat Indonesia yang bahkan menimbulkan kekaguman dari peneliti asing. “Orang Indonesia itu memiliki buffer atau penyangga yang sumbernya adalah spiritualitas masyarakat,” katanya. Spiritualitas demikian dapat ditemukan dalam berbagai budaya dan agama yang di Indonesia (Kompas, 3/1/2022, “Pandemi, Masyarakat Lebih Bahagia”).

Dengan telah terbuktinya berbagai faktor non-material bagi kebahagiaan masyarakat, secara khusus lingkungan sosial, keluarga, perbuatan murah hati, maka pemerintah tidak bisa semata berfokus pada pembangunan ekonomi. Diperlukan juga keselarasan dengan pembangunan sosial. Dengan demikian, tidak hanya masyarakat berkecukupan secara ekonomi, namun juga sejahtera dan bahagia (Kompas, 4/1/2022, “Selaraskan Pembangunan Ekonomi dan Sosial”).

Erich Fromm dalam bukunya The Fear of Freedom, mengutip pandangan tokoh psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Fromm, Freud menyampaikan adanya kecenderungan bahwa semakin modern sebuah kehidupan, akan semakin besar kemungkinan manusia di dalamnya mengalami stres atau ketidakbahagiaan. Masyarakat modern pun mulai mencari alternatif pencapaian kebahagiaan dengan berbagai pertimbangan lokal dan individual, salah satunya melalui kehidupan religiusitas.

Hal serupa juga disampaikan oleh Peter L. Berger dalam buku The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics. Ia menuliskan bahwa upaya peningkatan kehidupan religiusitas justru kian menjadi isu sentral dalam masyarakat modern. Kehadiran agama menjadi jalan akhir bagi ragam persoalan kehidupan. Berger pun percaya akan terjadinya kebangkitan kembali agama-agama di era kontemporer.

Pada akhirnya, pernyataan Freud dan Berger, ditambah juga dengan berbagai pemaknaan penting Indeks Kebahagiaan yang disandingkan dengan IPM, menjadi penegas bahwa nilai-nilai material bukanlah hal utama dalam mewujudkan kebahagiaan. Melampaui rekomendasi kebijakan pembangunan yang harus diperhatikan para pemerintah maupun teknokrat, masyarakat juga harus memperhatikan berbagai unsur positif dalam hidupnya sebagai sumber kebahagiaan. Dengan tidak semata mengacu pada pengejaran dimensi ekonomi, kebahagiaan yang dirindukan manusia modern pun dapat tercapai. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
Artikel Akademik
  • Forgeard, M. J., Jayawickreme, E., Kern, M., & Seligman, M. E. (2011). Doing the Right Thing: Measuring Well-Being for Public Policy. International Journal of Wellbeing, 1(1), 79-106.
  • Helliwell, J. F., Layard, R., Sachs, J. D., Neve, J.-E. D., Aknin, L. B., & Wang, S. (2022). World Happiness Report 2022. United Nations Sustainable Development Solutions Network.
Buku
  • Berger, P. L. (1999). The Desecularization of the World of A Global Overview. Dalam J. S. al., The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics (hal. 1-18). Michigan: Eerdmans Publishing Company.
  • Fromm, E. (1942). The Fear of Freedom. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
  • Fromm, E. (2019). Mempunyai atau Mengada? (To Have or To Be?). Yogyakarta: IRCiSoD.
  • Magnis-Suseno, F. (1995). Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Plato (translated by G. M. A. Grube). (1974). Plato’s Republic. (G. M. Grube, Penerj.) Indianapolis: Hackett Publishing Company.
Dokumen
  • Badan Pusat Statistik. (2021). Indeks Kebahagiaan 2021. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
  • Badan Pusat Statistik. (2021). Indeks Pembangunan Manusia 2021. Jakarta: Badan Pusat Statistik.