KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Menjelang hari raya Nyepi pada Sabtu (17/3/2018), umat Hindu menjalankan upacara Melasti, atau penyucian diri dan alam semesta, menuju ke laut, danau, atau sumber air lainnya kemudian mengadakan persembahyangan. Masyarakat dari sejumlah desa adat di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, Rabu (14/3/2018), menggelar prosesi Melasti dengan mengarak joli, atau jempana berisikan benda-benda pusaka dan sakral, ke Pantai Petitenget, Kuta, Badung.
Fakta Singkat
- Hari Raya Nyepi diperkirakan telah dirayakan di Indonesia sejak tahun 426 Masehi.
- Tradisi ogoh-ogoh menyambut hari puncak Nyepi di Bali telah mulai hadir pada era 1980-an. Ogoh-ogoh merupakan simbolisasi spiritual roh jahat yang menganggu manusia.
- Hari Raya Suci Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan dari usulan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pada November 1982. Penetapannya diterbitkan melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 3 Tahun 1983.
- Pada 1984, perayaan Hari Suci Nyepi yang unik dan begitu meluas di Pulau Bali menarik kedatangan Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja pada Maret tahun itu.
- Hari Suci Nyepi terdiri atas tiga rangkaian, yakni hari menyambut Hari Raya Suci Nyepi yang dimulai sejak tiga hari sebelumnya, Hari Raya Nyepi sebagai puncaknya, dan pasca-momen Nyepi yang dilakukan dengan Ngembak Geni.
- Dalam berbagai tata cara rangkaian hari tersebut, terkandung makna simbolis maupun filosofis yang begitu kaya dalam keyakinan Hindu.
- Hari Raya Suci Nyepi di Pulau Bali menjadi inspirasi bagi kampanye Hari Hening Sedunia atau World Silent Day yang digagas PBB.
- Pelaksanaan Nyepi yang turut berdampak pada keterbatasan aktivitas umat beragama lain di Pulau Bali menjadi simbol toleransi yang luar biasa. Salah satunya terwujud dengan tidak dilantunkannya azan oleh masjid-masjid di Bali selama Nyepi.
- Dalam SKB Tiga Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2023, pemerintah menetapkan cuti bersama satu hari setelah Hari Raya Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1945.
- Besarnya pelaksanaan Hari Raya Nyepi di Pulau Bali berdampak pada penurunan 47,07 persen konsentrasi partikel debu, penghematan satu juta liter bahan bakar, dan penghematan listrik hingga 60 persen.
Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, ditetapkan hari-hari libur sepanjang tahun 2023. SKB tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2023 tersebut melibatkan Kementerian Agama, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Salah satu libur nasional dan cuti bersama tersebut diadakan untuk mengakomodasi Hari Suci Nyepi yang dirayakan umat Hindu.
Tanggal 22 Maret 2023 yang jatuh pada hari Rabu ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasional untuk memperingati Hari Suci Nyepi. Selain itu, pemerintah juga menambahkan satu hari cuti bersama pada Kamis, 23 Maret 2023 atau sehari setelah Hari Suci Nyepi. Hadirnya dua tanggal tersebut melengkapi jumlah tanggalan merah pada 2023, yakni 16 hari libur nasional dan delapan hari cuti bersama.
Hadirnya hari cuti bersama digunakan untuk memperingati hari besar keagamaan. Untuk tahun 2023, pemerintah memberikan tambahan waktu cuti bersama untuk seluruh libur agama. Keputusan tambahan cuti bersama Hari Suci Nyepi tahun 2023 merupakan usulan dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Pada penyelenggaraannya pada 2023 ini, akan menjadi Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1945. Hari Suci Nyepi menjadi momen peringatan bagi umat Hindu seluruh dunia bagi tahun baru Saka. Dalam peringatan tersebut, dilakukan sejumlah rentetan upacara, termasuk yang paling utama adalah dengan tidak melakukan aktivitas di luar rumah selama 24 jam.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Suasana ritual upacara Melasti di Pantai Kuta, Badung, Bali, Minggu (22/3/2020). Desa Adat Kuta tetap melaksanakan ritual upacara Melasti yang menjadi rangkaian menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1942, namun membatasi keikutsertaan warga dalam ritual Melasti demi mengikuti imbauan pemerintah terkait langkah pencegahan dan penanggulangan penyakit akibat virus korona baru (Covid-19).
Sejarah Hari Raya Suci Nyepi di Indonesia
Hari Suci Nyepi tidak hanya menjadi momen besar bagi masyarakat Hindu secara khusus. Dengan dijadikannya hari tersebut sebagai tanggal merah dan meningat luasnya pelaksanaan Nyepi, membuat hari raya ini juga menjadi momen besar bagi bangsa Indonesia. Bahkan, secara historis kehadiran Nyepi telah bertahan lama sekali dalam negara Indonesia–-terutama di wilayah Bali yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Hindu.
Hingga kini, belum banyak catatan resmi tentang waktu dimulainya perkenalan dan perayaan Nyepi di Indonesia. Wayan Sayang Yupardhi dalam tulisan “Perayaan Nyepi Umat Hindu Bali Bertindak Lokal dan Berpikir Universal” menyampaikan bahwa dalam sejumlah diskusi yang ada, selalu dikatakan bahwa Hari Suci Nyepi telah dilaksanakan di Bali sejak dahulu kala.
Namun, melalui diskusi dengan Institut Hindu Dharma Negeri atau IHDN (sekarang menjadi Universitas Hindu Negeri atau UHN), Yupardhi memperoleh batas waktu yang lebih jelas. Dituliskan bahwa Nyepi telah dilaksanakan di Bali pada tahun 426 Masehi. Periode waktu ini sesuai dengan periode masuknya agama Hindu ke Nusantara pada awal abad keempat.
Sejak periode tersebut, pelaksanaan Nyepi tidak pernah berhenti. Kehadirannya telah menjadi tradisi yang diyakini membawa berkah keselamatan dan kesejahteraan–-baik bagi bhuana agung (alam semesta/dunia makro), maupun bhuana alit (mahluk di muka bumi/dunia kecil).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Umat mengikuti dengan khidmat upacara Tawur Agung Kesanga berlangsung di Pura Aditya Jaya, Jakarta, Rabu (29/3/2006). Tawur Agung Kesanga merupakan upacara yang digelar oleh umat Hindu sehari menjelang perayaan Nyepi. Upacara tersebut dihadiri ribuan umat Hindu dari wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Rangkaian Hari Raya Nyepi di Indonesia selalu berlangsung dalam periode waktu bulan Maret kalender Masehi. Hal demikian terjadi meski masyarakat Hindu menggunakan penanggalan Saka yang dalam kalender tersebut, tahun baru berada pada bulan kesembilan. Bagi umat Hindu, sembilan merupakan angka tertinggi. Setelah angka sembilan, akan terjadi pengulangan angka, mulai dari nol, satu, dua, tiga, dan seterusnya. Paradigma pengulangan kembali ini sesuai dengan nilai dari Nyepi sendiri yang akan dijelaskan pada bagian berikut tulisan ini.
Meski Hari Raya Suci Nyepi dilakukan oleh seluruh umat Hindu di dunia, pelaksanaannya di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Tepat satu hari sebelum puncak Perayaan Suci Nyepi, masyarakat Hindu di Bali akan melakukan perarakan ogoh-ogoh. Tradisi ogoh-ogoh di Bali sendiri sudah dimulai sejak 1980-an.
Ogoh-ogoh sendiri merupakan boneka raksasa yang dibuat sebagai simbolisasi atas kekuatan jahat yang suka mengganggu manusia, yang dalam ajaran Hindu disebut sebagai Bhuta Kala. Dengan simbol demikian, ogoh-ogoh memiliki penampakan yang menyeramkan. Tubuhnya menunjukkan sosok raksasa dan wajahnya dibuat menakutkan. Dengan bahan dasar bambu, bubur kertas, dan lem, kreativitas ogoh-ogoh termasuk dalam seni patung dari kebudayaan masyarakat Bali.
Lebih lanjut, boneka ogoh-ogoh akan diusung dalam pawai yang mengelilingi desa. Lengkap dalam pawai tersebut, masyarakat juga akan membawa obor dan berjalan menuju Sema yang merupakan tempat persemayaman umat Hindu. Setelah selesai diarak, lantas ogoh-ogoh akan dibakar. Dalam proses pembakaran, turut pula diiringi gamelan khas Bali yang disebut sebagai Bleganjur Patung.
Pawai ini sebenarnya merupakan strategi alternatif untuk menghindari anak-anak menggunakan mercon bambu berbahan bakar minyak tanah. Namun pada perjalanan waktu, tradisi ini mengalami komodifikasi oleh industri pariwisata dan generasi pasca-1980-an. Perarakan ogoh-ogoh lantas diinternalisasi sebagai sebuah tuntutan sosial kemeriahan menuju Hari Raya Suci Nyepi.
KOMPAS/AYU SULISTYOWATI
Dua ogoh-ogoh selesai dikerjakan pemuda di Banjar Kancil, Kerobokan, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Senin (7/3/2016). Keduanya siap diarak berkeliling desa setempat pada Selasa (8/3/2016) malam ini menjelang hari catur brata penyepian keesokan harinya dan hampir serentak dengan sekitar 4.500 ogoh-ogoh se-Bali. Ogoh-ogoh merupakan simbol kejahatan yang harus dilawan saat Nyepi dan biasanya diwujudkan dengan boneka raksasa.
Dalam perkembangan komodifikasi tersebut, termasuk bentuk ogoh-ogoh yang mengalami perkembangan. Dapat ditemukan ogoh-ogoh yang dibentuk menyerupai publik figur, seperti pemimpin dunia, artis, bahkan penjahat. Selain itu, pemerintah Provinsi Bali juga mengadakan lomba ogoh-ogoh. Menyambut Hari Raya Suci Nyepi 2023, lomba ogoh-ogoh menjadi implementasi pembangunan “Semesta Berencana menuju Bali Era Baru”.
Padahal sejatinya, tradisi simbolik tersebut bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan. Maknanya adalah mematikan nafsu angkara murka yang ada pada diri sendiri, sehingga benar-benar hening pada hari Nyepi (Kompas.id, 2/3/2022, “Nyepi dan Kompleksitas Manusia”).
Pada 25 November 1982, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) memberikan usulan kepada DPR untuk menetapkan Hari Raya Nyepi sebagai hari libur nasional. PHDI sendiri merupakan Majelis Tertinggi Agama Hindu Indonesia yang anggotanya ditentukan atas dasar keyakinan beragama.
Usulan tersebut lantas diterima oleh pemerintah–-diejawantahkan melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 3 Tahun 1983 yang ditetapkan pada 19 Januari 1983. Salah satu pertimbangan yang digunakan dalam penetapan libur nasional bagi Hari Raya Nyepi adalah untuk meningkatkan kemantapan peribadatan bagi umat Hindu. Keputusan tersebut terus bertahan hingga saat ini, dimana dapat dilihat pada SKB Tiga Menteri pada 2023.
Selain tradisi ogoh-ogoh, Nyepi di Bali juga terkenal dengan pelaksanaannya yang begitu khusyuk dan meluas. Meski dilakukan di salah satu wilayah destinasi favorit, namun dalam satu hari pulau tersebut akan menjadi begitu sepi. Menariknya pelaksanaan Hari Raya Nyepi di Bali telah menjadi daya tarik internasional sendiri sejak lama-–salah satunya menarik Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja.
Pangeran Sihanouk sengaja datang berkunjung pada Minggu, 4 Maret 1984 untuk merasakan langsung suasana upacara adat Hari Raya Nyepi 1906. Dalam kesempatan kunjungan tersebut, Sihanouk menyaksikan suasana Bali yang bebas dari lalu-lalang orang dan kendaraan, bebas dari keriuhan bunyi-bunyian, dan tiadanya cahaya lampu pada malam hari (Kompas.id, 3/3/2019, “Nyepi di Pulau Dewata”).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Umat Hindu melarung sesaji dalam upacara Melasti di Pantai Ngobaran, Kecamatan Saptosari, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Senin (9/3/2020). Upacara itu menjadi sarana penyucian diri untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Upacara ini yang merupakan salah satu bagian awal rangkaian kegiatan menyambut peringatan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1942 ini diikuti oleh umat Hindu dari berbagai daerah di DIY dan Jawa Tengah.
Tata Cara Upacara Nyepi
Meski Hari Raya Suci Nyepi sendiri dilangsungkan selama 24 jam, pelaksanannya sendiri terdiri atas beberapa hari. Dalam sejumlah hari tersebut, upacara Nyepi dapat dilihat dalam tiga tata urutan, yakni sebelum hari puncak untuk menyambut dan mempersiapkan Nyepi, hari puncak Nyepi, dan setelah Nyepi.
- Menyambut Upacara Puncak Nyepi
Sebelum melaksanakan penyepian, masyarakat Hindu akan terlebih dahulu mempersiapkan diri, terutama kesucian mereka. Dalam tahapan ini, terdapat sejumlah upacara yang dilangsungkan termasuk perarakan ogoh-ogoh sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Upacara Melasti, Tawur, hingga Pengrupukan.
Mengacu pada laman resmi PHDI, pelaksanaan Melasti dilakuan tiga hari sebelum puncak acara Nyepi. Upacara ini menjadi kesempatan untuk melakukan penyucian, baik penyucian buana agung maupun buana alit. Secara teknis, umat Hindu akan melakukan persembahyangan di laut maupun danau, sembari menyucikan segala benda sakral dari Pura. Di sumber air tersebut pula, umat Hindu akan melarungkan sesajen.
Menurut kepercayaan Hindu, laut dan danau adalah sumber air suci (Tirta Amerta) yang mampu menyucikan berbagai hal kotor, baik dalam diri manusia maupun alam. Oleh karenanya, dalam Upacara Melasti umat Hindu akan datang ke pantai ataupun danau. Salah satu contoh pelaksanaannya di luar Bali dapat ditemukan di Pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (Kompas, 16/2/2022, “Upacara Melasti di Pantai Ngobaran”).
Setelah melaksanakan Melasti, umat Hindu akan melakukan tata cara Tawur. Tawur meliputi penyiapan sesajen atau caru untuk diletakkan di rumah masing-masing. Pelaksanaan ini dilakukan sehari sebelum hari puncak Nyepi.
Masa waktu menyambut Nyepi ditutup dengan Upacara Pengrupukan atau Mecaru. Upacara meriah ini dilaksanakan dengan menebar nasi Tawur di sekeliling rumah dan wilayah tinggal. Sembari itu, umat Hindu secara khusus di Bali juga akan menimbulkan suara bising terutama dengan cara memukul-mukulkan kentongan hingga gaduh.
Pelaksanaan Pengrupukan memiliki makna untuk mengusir roh jahat Buta Kala yang ada di sekitaran tempat tinggal sebelum melakukan penyepian. Dalam Pengrupukan inilah, ogoh-ogoh akan dikeluarkan dan diarak untuk memeriahkan prosesi.
- Hari Puncak Menyepi
Setelah hari sebelumnya dilalui dengan begitu ramai dan meriah, umat Hindu memasuki momen menyepi selama 24 jam. Pada tahun 2023 kali ini, hari puncak Nyepi tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 22 Maret. Menyepi dilakukan dengan menerapkan Empat Sikap/Pengendalian Diri Penyepian wajib, atau biasa dikenal dalam Hindu sebagai Catur Brata Penyepian.
Keempatnya terdiri atas Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak melakukan aktivitas kerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak mencari hiburan) selama 24 jam. Dari konsepsi ini kemudian dikatakan bahwa saatnya masyarakat untuk berdiam diri, istirahat total dari segala kegiatan.
Bertolak dari catur brata tersebut, selama Hari Raya Suci Nyepi umat Hindu tidak diperkenankan bepergian ke luar rumah. Mereka juga tidak boleh melakukan aktivitas fisik sejak pukul enam pagi hingga pukul enam pagi keesokan harinya. Di saat bersamaan, mereka juga dapat menyebut nama-nama suci Tuhan berulang-ulang dalam hati di rumah masing-masing.
Masing-masing brata penyepian menjadi simbol pengingat manusia untuk bisa mengendalikan diri, mawas diri, dan terutama sejenak berhenti dari kegaduhan duniawi, egoisme, dan kehidupan yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompok. Para pemuka masyarakat Hindu mengharapkan umat Hindu melaksanakan introspeksi diri masing-masing atau meditasi selama waktu tersebut. Dalam spirit demikian, Pulau Bali yang mayoritas diisi oleh umat Hindu pun menjadi begitu senyap (Kompas, 2/3/2022, “Tajuk Rencana: Sejenak Lupakan Kegaduhan”).
- Pasca-Hari Pucak Nyepi
Setelah melakukan penyepian, umat Hindu pun mulai dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Setelah menyucikan diri dengan menyepi, mereka keluar dari rumah masing-masing dan mulai berkegiatan. Dalam kondisi batin yang tengah damai demikian, ada ritual Ngembak Geni yang juga biasa dilakukan.
Tata cara Ngembak Geni dilakukan oleh umat Hindu dengan melakukan Dharma Shanti atau mengunjungi keluarga dan tetangga untuk saling memaafkan satu sama lain. Konsepsi dari Dharma Shanti sendiri serupa dengan Lebaran, yakni agar manusia menjadi lebih bersyukur, saling memaafkan segala kekeliruan sesama pada tahun sebelumnya, dan memulai lembaran baru dengan hati bersih.
Dalam Hindu, Dharma Shanti adalah manifestasi dari filsafat Tattwamasi yang memiliki paradigma bahwa semua manusia di penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Bertolak dari paradigma tersebut, maka secara kodrati manusia harus saling menyayangi dengan hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Tradisi Ngembak Geni menjadi penutup dari rangkaian Hari Raya Suci Nyepi umat Hindu yang berlangsung pada setiap tahunnya.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali, Minggu (18/3/2018), menjalankan tradisi Omed-omedan. Tradisi Omed-omedan dirayakan setiap ngembak geni, atau satu hari setelah hari raya Nyepi. Omed-omedan menyiratkan kegembiraan dan kebersamaan masyarakat Banjar Kaja, terutama kalangan pemuda dan pemudinya.
Makna-Makna dalam Hari Raya Suci Nyepi
Rangkaian Hari Raya Suci Nyepi memang penuh dengan tata cara fisik. Meski begitu, segala aktivitas dan tata cara yang ada sejatinya mengandung makna filosofis maupun simbolis. Kembali merujuk pada PHDI, sangat penting bagi masyarakat untuk memahami dan menyadari makna tersebut agar dapat melaksanakan Nyepi secara total dan memperoleh kebermanfaatan secara penuh. Apabila hal ini tidak tercapai, pada Ngembak Geni manusia tidak mampu menjadi pribadi baru yang lebih saleh.
Tujuan menjalani Hari Raya Suci Nyepi secara garis besar sendiri adalah untuk menutup kehidupan lama yang buruk dan menyambut kehidupan baru secara bersih. Simbolisasi ini bertepatan dengan pelaksanaan Hari Raya Suci Nyepi pada Tahun Baru penanggalan Saka. Dalam proses demikian, diupayakan mencapai keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit melalui pembersihan diri, pengendalian diri, dan menjaga jarak dengan keinginan duniawi.
Dalam memaknai Hari Raya Suci Nyepi, proses pemaknaan haruslah dimulai dari tata upacaranya yang paling pertama, yakni Upacara Melasti. Dalam upacara tersebut, dilangsungkan aktivitas yang menyimbolkan pembersihan diri manusia. Sehari menjelang Nyepi, hadir hari Pengerupukan. Hari tersebut memiliki peran signifikan untuk membimbing manusia introspeksi, memandang ke dalam diri. Dalam pemahaman yang sesungguhnya, hari Pengerupukan dimaknai sebagai upaya mengusir makhluk jahat yang mengganggu kehidupan (Kompas, 13/3/2021, “Dari Penyadaran hingga Covid-19”).
Lantas, masyarakat Hindu pun melaksanakan momen menyepi pada hari puncak. Pada intinya, dengan berada dalam kondisi kesunyian tanpa cahaya diharapkan manusia bisa menyatukan pikiran dan akal budi, mengevaluasi cipta, rasa, dan karsa. Pada hakikatnya, hidup manusia dibelenggu dengan rutinitas sosial. Nyepi menjeda hal itu untuk memberi kesempatan raga dan pikiran melakukan evaluasi diri.
Dalam proses evaluasi tersebut, salah satu yang perlu direnungi adalah hidup yang seharusnya bermanfaat untuk orang lain dan tidak merugikan sesama. Kembali melihat diri dan lingkungan, perlukah kegaduhan, apalagi hanya untuk urusan kekuasaan dan politik (Kompas, 2/3/2022, “Tajuk Rencana: Sejenak Lupakan Kegaduhan”).
KOMPAS/AYU SULISTYOWATI
Seluruh jalanan di Pulau Bali sepi pada hari raya Nyepi menyambut tahun baru caka 1937, Sabtu (21/3/2015). Selama 24 jam, umat Hindu Bali melaksanakan ajaran caturbrata (amati geni, amati lelanguan, amati lelungan, dan amati karya). Tidak seorang pun boleh berpergian tanpa seijin pecalang, petugas keamanan adat setempat. Sebuah ogoh-ogoh masih dibiarkan tidak dibakar di pinggir jalan depan Banjar Kancil, Kerobokan, Kabupaten Badung setelah di arak berkeliling desa oleh para pemuda di malam menjelang penyepian.
Selama Hari Raya Suci Nyepi, umat Hindu juga menjalani Catur Brata Penyepian. Mengacu kembali pada laman resmi PHDI, masing-masing brata penyepian tersebut juga mengandung makna filosofis. Pertama, Amati Geni yang merupakan larangan menyalakan api. Melampaui paham untuk tidak boleh menyalakan api secara sungguhan, poin ini juga juga mengandung makna bahwa pada saat perayaan hari raya nyepi umat Hindu tidak boleh menyalakan api yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Api dalam diri manusia adalah bentuk-bentuk nafsu (keinginan). Selama menyepi, umat Hindu tidak boleh diwajibkan menuruti segala keinginan (hawa nafsunya).
Kedua, Amati Karya yang merupakan larangan untuk melakukan berbagai bentuk aktivitas fisik dan pekerjaan. Maknanya adalah umat Hindu dapat fokus melakukan penyucian rohani dengan melakukan introspeksi diri. Dalam menyepi, harus dilakukan perenungan atas berbagai kesalahan yang telah diperbuat pada tahun-tahun sebelumnya, dan melakukan janji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah diperbuat pada tahun-tahun sebelumnya.
Ketiga, Amati Lelungan yang melarang aktivitas bepergian. Perilaku wajib ini ada agar umat Hindu bermawas diri melalui kegiatan meditasi. Sementara keempat, Amati Lelanguan, yang melarang tindakan mencari hiburan/kesenangan. Brata ini diterapkan agar dalam menyepi umat Hindu tidak tidak mengumbar hawa nafsu dan fokus pada upaya kesenangan agar tetap dapat melakukan pemusatan pikiran dan berserah diri.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Pawai ogoh-ogoh, patung besar yang melambangkan Buta Kala, untuk perlombaan berlangsung di Kabupaten Klungkung, Bali, Minggu (10/3/2013) sore. Pawai ogoh-ogoh dilaksanakan untuk menyambut Nyepi Tahun Baru Saka 1935. Nyepi dirayakan umat Hindu pada Selasa (12/3/2013).
Dengan menyepi, manusia bisa mencapai kehidupan yang harmonis, baik bagi diri maupun alam semesta (atau lingkup eksternal yang lebih luas dari dirinya). Pada 2021, Guru Besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, I Nengah Duija, menjelaskan bahwa harmoni semesta akan tercipta ketika manusia mampu membebaskan diri dari semua kelekatan duniawi. Kelekatan yang dimaksud adalah kepentingan, egoisme, kekuasaan, dan nafsu.
Meski begitu, hal ini begitu sulit karena manusia adalah makhluk yang sangat lekat dengan hal-hal duniawi. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan I Nengah Duija, momen Nyepi memberikan kesempatan dan momen sejenak bagi umat Hindu melatih diri untuk bisa beranjak dari ruang material ke ruang bayangan yang damai tersebut itu (Kompas, 28/3/2021, “Nyepi untuk Harmoni Bangsa”).
Selanjutnya, rangkaian menyambut Tahun Baru Saka ini ditutup dengan Upacara Ngembak Geni. Umat Hindu pun saling mengunjungi kerabat satu sama lain (Dharma Santi). Dalam kunjungan ini, mereka juga melakukan simakrama, yakni bersalaman, meminta maaf dan memaafkan, dan mengucapkan rasa terima kasih. Ini menjadi momen umat untuk menunjukkan pribadi yang baru sekaligus menyambut Tahun Baru dengan kedamaian.
Secara umum, seluruh kegiatan dan pernak-pernik Nyepi adalah usaha umat Hindu memancarkan Kebenaran (Sathyam), Kesucian dan Keheningan (Sivam), dan Keindahan (Sundaram). Masing-masing hal tersebut terejawantahkan dalam hari-hari rangkaian Hari Raya Nyepi. Ragam ritual dilakukan sebagai upaya memerangi kejahatan dan nafsu angkara murka manusia mewujudkan kedamaian.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sangat mendukung pelaksanaan Nyepi oleh umat Hindu Indonesia, terutama untuk menjadikannya sebagai momentum introspeksi. “Agama harus menjadi inspirasi. Hindu yang mengajarkan ’aku adalah engkau’ harus menjadi inspirasi kita semua untuk saling menghormati, saling rukun dan bertoleransi,” ujar Yaqut pada 2021.
Ia menambahkan, ”Dengan inspirasi ajaran ini, maka kita akan memperlakukan orang lain secara adil tanpa ada diskriminasi. Inilah peta jalan moderasi beragama dan akan menjadi acuan kehidupan bermasyarakat di seluruh Indonesia” (Kompas, 28/3/2021, “Nyepi untuk Harmoni Bangsa”).
Dengan ragam makna kedamaian dan refleksi diri tersebut, sesungguhnya giat Nyepi sendiri dapat dilangsungkan tanpa batasan waktu dan lokasi. Momen Hari Raya Suci Nyepi yang diperingati secara nasional maupun internasional hanya menjadi ruang kesempatan untuk mengadakan hal tersebut. Namun, dengan segala prosesinya yang kasat makna, Nyepi sendiri mampu menjadi praktik diri yang berlangsung setiap bulan, setiap hari, bahkan setiap jam-–di mana yang terpenting adalah pelakunya menghidupi makna yang ingin dicapai.
Bila ditarik secara umum, Nyepi pun menunjukkan makna bahwa tiap manusia memerlukan jeda waktu untuk mengevaluasi diri sehingga dapat memulai sesuatu yang baru dengan lebih baik. Salah satu contoh praktik Nyepi paling mudah adalah ketika pada jam-jam tertentu, manusia menyadarkan dirinya dan memejamkan mata sesaat untuk mengontrol diri terhadap emosi. Lantas, tindakan baru dapat mulai dilakukan di jam berikutnya.
Melalui proses diri demikian, bukan hanya penyadaran yang akan didapatkan, melainkan juga energi dari kesadaran yang lebih kuat. Dalam tataran demikian, praktik Nyepi pun melampaui sebuah ritual keagaaman semata, melainkan juga sebuah sikap metodis yang mampu memberikan sumbangan besar pada individu manusia, masyarakat, bahkan dunia (Kompas, 13/3/2021, “Dari Penyadaran hingga Covid-19”).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Rangkaian upacara Tawur Agung Kesanga berlangsung di Pura Aditya Jaya, Jakarta, Rabu (29/3/2006). Tawur Agung Kesanga merupakan upacara yang digelar oleh umat Hindu sehari menjelang perayaan Nyepi. Upacara tersebut dihadiri ribuan umat Hindu dari wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Pelaksanaan Hari Raya Suci Nyepi Nasional
Hari Raya Nyepi telah menjadi salah satu momentum nasional melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 3 Tahun 1983. Melalui keputusan tersebut, Nyepi pun menjadi salah satu kegiatan yang diperingati secara nasional. Selain hadirnya kebijakan nasional tersebut, Pemerintah Bali juga menerapkan aturan pembatasan yang ketat selama penyelenggaraan Nyepi. Kebijakan yang memengaruhi dinamika satu pulau tersebut membuat momentum Nyepi kian terasa dan spesial di Bali.
Salah satu kebijakan daerah adalah dengan mematikan layanan data seluler dan Internet Protocol Television (IPTV). Kebijakan yang telah dilakukan selama bertahun-tahun ini pun dilaksanakan pada 2022, tepatnya pada Hari Raya Suci Nyepi Tahun Saka 1944 yang jatuh pada 3 Maret. Kedua layanan jejaring tersebut dimatikan dari pukul 06.00 WITA hingga keesokan harinya pada jam yang sama. “Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, provider yang melayani data seluler dan IPTV di wilayah Provinsi Bali dan sekitarnya akan mematikan data seluler dan IPTV,” jelas Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Bali, Gede Pramana pada 2022.
Sebelum melakukan pemutusan, pemerintah pun selalu memberikan pemberitahuan terlebih dahulu. “Sebelum melakukan penghentian, pemerintah akan menyosialisasikan kepada masyarakat Bali melalui SMS. Kami akan mengirim SMS kepada masyarakat yang tinggal di wilayah Bali, sebelum perayaan Nyepi, sehingga masyarakat bisa melakukan persiapan,” ucap Gede.
Menurut Gede, kebijakan tersebut juga telah didukung oleh pihak pemerintah nasional. Secara spesifik melalui Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 2 Tahun 2022 sekaligus Surat Seruan Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali Tahun 2022.
Meski begitu, kebijakan pembatasan aktivitas dan pencabutan layanan tersebut tidak diterapkan pada objek vital dan kepentingan umum. “Ini artinya layanan data seluler di HP akan dimatikan, namun pada objek vital dan untuk kepentingan umum lainnya masih tetap berjalan,” jelas Gede.
Objek vital yang dimaksud adalah layanan rumah sakit, kantor kepolisian, militer, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS), bandara, dan pemadam kebakaran. Berbagai institusi dan layanan tersebut tetap beroperasi. Selain itu, layanan telepon, SMS, dan internet fiber optik juga tetap dapat digunakan selama Hari Raya Suci Nyepi.
Kelonggaran demikian dilakukan untuk memudahkan masyarakat jika pada saat Nyepi berlangsung perlu mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Selain itu, sebagai upaya antisipasi terhadap permasalahan yang mungkin terjadi pada saat berlangsungnya puncak Hari Raya Suci Nyepi, maka Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio Kelas II Denpasar akan tetap melaksanakan pengawasan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Upacara Tawur Kesanga – Umat Hindu mengarak ogoh-ogoh dalam upacara Tawur Kesanga di kompleks Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (20/3/2015). Upacara menjelang Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1937 tersebut dihadiri Presiden Joko Widodo serta ribuan umat Hindu dari berbagai daerah.
Dengan besarnya jumlah penduduk yang terdampak oleh tradisi menyepi di Bali, membuat dampaknya pun lebih besar dan begitu terasa. Salah satu dampak tersebut adalah berkurangnya polusi udara secara signifikan di seluruh Pulau Bali. Penghentian sementara aktivitas publik berdampak pula pada tidak adanya penggunaan mesin-mesin motor, mobil, kapal laut, kapal udara, pabrik, asap rokok dan sebagainya. Hal demikian berdampak pada tidak adanya produksi gas-gas polutan seperti CO2, CO, dan CH4.
Korelasi antara berkurangnya polusi dan pelaksanaan Nyepi secara luas di Bali dibuktikkan oleh penelitian oleh BMKG pada 2022. Proses dan hasil penelitian itu sendiri dikutip oleh laman resmi Mongabay. Secara umum, pengukuran BMKG menemukan adanya penurunan konsentrasi partikel debu secara nyata yang bervariasi pada berbagai lokasi yang diteliti selama Hari Raya Suci Nyepi 2022 dibandingkan dengan hari-hari biasa lainnya.
Pengukuran udara sendiri menggunakan alat EPAM-5000 Haz-Dust. Kadar partikel debu pada hari pelaksanaan Nyepi di Bali lantas dibandingkan dengan kadar dari hari biasa lainnya. Hasilnya ditemukan bahwa terjadi penurunan konsentrasi partikel debu hingga 47,07 persen. “Nyepi sebagai suatu ritual keagamaan secara khusus terbukti mampu memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kualitas udara,” urai Peneliti BMKG Pusat, Danang Eko Nuryanto.
Danang juga menjelaskan bahwa penelitian tersebut sekaligus membuktikkan bahwa aktivitas manusia sehari-hari memberi pengaruh signifikan terhadap konsentrasi gas polutan dan partikulat di udara. Pada saat Hari Nyepi di mana seluruh aktivitas manusia menurun, konsentrasi udara pun menjadi lebih baik. Hal ini ditandai dengan ikut menurunnya konsentrasi partikel debu di udara. Dari berbagai daerah yang menjadi lokasi pengukuran kualitas udara, daerah urban mengalami perbaikan kualitas udara paling besar dibanding daerah sub-urban pada hari pelaksanaan Nyepi.
KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO
Kota Denpasar dan kabupaten di seluruh Bali lengang pada hari raya Nyepi, Senin (19/3/2007). Hanya pecalang, seperti di Jalan Gunung Sanghyang, Denpasar, yang berjaga-jaga di luar rumah.
Selain pengurangan polusi, dampak masif yang juga tercipta adalah penghematan bahan bakar sebagai sumber polusi udara itu sendiri. Mengacu pada laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), bahkan bahan bakar yang berhasil dihemat pada satu hari tersebut mencapai satu juta liter. Hal demikian mampu tercipta karena larangan bepergian selama Nyepi, sehingga semua masyarakat Bali pun tidak menggunakan kendaraan dalam kurun waktu 24 jam.
Salah satu manfaat yang diberikan pada lingkungan dalam pelaksanaan Hari Raya Suci Nyepi di Bali adalah penghematan yang luar biasa besar terhadap energi listrik. Selama hari puncak Nyepi, Pulau Dewata tercatat berhasil menghemat listrik hingga 60 persen dibandingkan hari-hari biasa. Hal ini menjadikan momen Hari Raya Nyepi sebagai sebuah inspirasi internasional.
Salah satu dampak inspirasi tersebut adalah hadirnya kampanye Hari Hening Sedunia atau World Silent Day. Kampanye ini merupakan program organisasi internasional PBB dan dirayakan tiap tahun pada 21 Maret. World Silent Day bertujuan untuk mengurangi aktivitas manusia yang merugikan bumi, salah satunya dengan cara mematikan segala penggunaan listrik dan menghentikan segala kegiatan dari pukul 10.00 hingga 14.00.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pemujaan pada upacara Tawur Agung Kesanga berlangsung di Pura Aditya Jaya, Jakarta, Rabu (29/3/2006). Tawur Agung Kesanga merupakan upacara yang digelar oleh umat Hindu sehari menjelang perayaan Nyepi. Upacara tersebut dihadiri ribuan umat Hindu dari wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Toleransi Bersama dari Pelaksanaan Nyepi
Selain dampak positif terhadap kedamaian batin, harmoni masyarakat, berkurangnya polutan lingkungan, dan penghematan energi, Hari Raya Suci Nyepi juga menjadi ruang terlaksananya praktik toleransi. Kembali mengacu pada artikel akademik Wayan Sayang Yupardhi, salah satu bentuk toleransi tersebut adalah dengan tidak terdengarnya alunan Masjid saat waktu sembahyang umat Islam. Selama 24 jam pelaksanaan Nyepi, berbagai Majid di Bali tidak melantunkan adzan yang digaungkan sebagai panggilan untuk bersembahyang.
Berbagai kebijakan pembatasan di Bali sepanjang Nyepi pun jelas akan ikut memberikan batasan pada umat beragama lain yang tinggal di Bali. Meski begitu, Yupardhi mencatat bahwa hal demikian telah berjalan begitu lama hingga menjadi suatu normalitas toleransi di Bali. Yupardhi menyampaikan bahwa selama Nyepi, penghormatan antarumat beragama membuat tidak pernah ada gesekan berarti.
Wujud toleransi di pulau yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu tersebut bahkan memperoleh sorotan oleh Presiden Joko Widodo. Dikatakan Presiden, Pulau Dewata telah selalu menunjukkan semangat kesatuan dengan adat dan budaya bangsa. Umat Hindu Indonesia juga senantiasa menjaga warisan budaya bangsa dan mahakarya Nusantara yang tersebar di Indonesia.
Presiden menyandingkan sikap toleransi tersebut dengan simbol arsitektur kuno yang berada di Pulau Jawa, yakni Candi Prambanan dan Candi Sewu. Candi Prambanan, sebagai candi Hindu, adalah mahakarya yang membuktikan keunggulan bangsa Indonesia di masa lalu. Pada reliefnya pun terukir pesan-pesan bermakna. “Candi Prambanan dibangun berdampingan dengan Candi Sewu yang bercorak Buddha. Ini mengajarkan kepada kita semua bahwa toleransi dan hidup rukun berdampingan antarumat beragama sudah dipraktikkan sejak dulu. Bhinneka Tunggal Ika merupakan DNA bangsa Indonesia,” tutur Presiden (Kompas, 28/3/2021, “Nyepi untuk Harmoni Bangsa”). (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Yupardhi, W. S. (2018). “Perayaan Nyepi Umat Hindu Bali Bertindak Lokal dan Berpikir Universal”. Jurnal Widya Duta Volume 13 Nomor 1, 19-24.
• “Dari Penyadaran hingga Covid-19”. Kompas,13 Maret 2021. Hlm 1 dan 15.
• “Nyepi untuk Harmoni Bangsa”. Kompas, 28 Maret 2021. Hlm 15.
• “Tajuk Rencana: Sejenak Lupakan Kegaduhan”. Kompas, 2 Maret 2022. Hlm 6.
• “Upacara Melasti di Pantai Ngobaran”. Kompas, 16 Februari 2022. Hlm 11.
• “Nyepi di Pulau Dewata”. Kompas.id, 3 Maret 2019. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2019/03/03/nyepi-di-pulau-dewata
- Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2022, Maret 3). Khidmatnya Perayaan Hari Raya Nyepi di Bali. Diambil kembali dari kemenparekraf.go.id: https://kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/Khidmatnya-Perayaan-Hari-Raya-Nyepi-di-Bali
- Parisada Hindu Dharma Indonesia. (2022, Agustus 11). Nyepi Sebuah Edukasi. Diambil kembali dari parisada.or.id: https://parisada.or.id/nyepi-sebuah-edukasi/