Paparan Topik | Hari Orang Hilang

Hari Orang Hilang: dari Hukum Internasional sampai Sejarah Penghilangan Paksa di Indonesia

Setiap tanggal 30 Agustus, dunia internasional memperingati hari orang hilang atau penghilangan secara paksa. Tanggal tersebut ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bentuk pencegahan praktik penghilangan paksa yang marak terjadi sepanjang abad ke-20.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Pengunjuk rasa dengan membawa foto keluarga mereka yang hilang, Jumat (31/5), mendatangi Istana Negara Jakarta. Mereka menuntut agar pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri serius menangani kasus orang hilang yang terjadi di Indonesia.(Kompas, 1-6-2002, hal. 7)

Fakta Singkat

Hukum Internasional tentang Penghilangan Paksa

  • Declaration on the Protection of All Persons From Enforced Disappearances (1992)
  • Rome Statute of the International Criminal Court (1998)
  • International Convention on the Protection of all Persons from Enforced Disappearances (2006)

Hukum Indonesia tentang Penghilangan Paksa

  • Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  • Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Korban yang kembali dari penghilangan paksa di Indonesia

  • Aan Rusdianto, Andi Arief, Desmont Junaidi Mahesa, Faizol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Rahardjo Waluyo Jati

Korban yang belum ditemukan dari penghilangan paksa di Indonesia

  • Yani Afri, Noval Al Katiri, Dedy Umar/Hamdun, Ismail, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, Ucon Siahaan, M Yusuf, Sonny, dan Wiji Thukul

Penghilangan Paksa

Penghilangan secara paksa merupakan metode untuk membungkam kekuatan dari lawan. Kejahatan ini tidak hanya mencabut hak kebebasan manusia, namun juga menghilangkan eksistensi seseorang secara personal.

Setiap tanggal 30 Agustus, dunia internasional memperingati hari orang hilang atau penghilangan secara paksa. Tanggal tersebut ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bentuk pencegahan praktik penghilangan paksa yang marak terjadi sepanjang abad ke-20.

Penghilangan paksa biasanya digunakan kekuasaan yang dipimpin secara militer untuk menciptakan teror di dalam masyarakat agar tidak melakukan kritikan tajam kepada pemimpinnya. Praktik ini tidak hanya memberikan penderitaan kepada korban karena penyiksaan dan ketakutan akan kehilangan nyawa. Namun, juga membawa dampak bagi kerabat korban karena menghadapi ketidakpastian keberadaan dan nasib anggota kerabatnya yang dihilangkan. Bahkan, mereka seringkali putus asa menunggu kabar yang tak pasti selama bertahun-tahun.

Dalam sejarah Indonesia, praktik penghilangan paksa kerap digunakan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik kekuasaan. Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, penghilangan paksa dilakukan untuk menjaga stabilitas politik dan mempertahankan kebijakan massa mengambang (floating mass). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat berbagai peristiwa yang menggunakan metode penghilangan paksa, seperti pembantaian PKI 1965–1966, penembakan misterius tahun 1982–1985, Tanjung Priok 1984–1985, Talangsari 1989, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Timor Timur, dan lain sebagainya.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Seorang pengunjung mengamati koleksi Museum Omah Munir yang berdiri sejak 8 Desember 2013 di Jalan Bukit Berbunga Nomor 2, Kota Batu, Jawa Timur, Minggu (30/11/2014). Nama aktivis HAM Munir kini kembali mencuat setelah Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana dalam perkara pembunuhan Munir, mendapat pembebasan bersyarat.

Gerakan Anti Penghilangan Paksa Internasional

Praktik penghilangan paksa baru mendapatkan perhatian penuh oleh dunia internasional pada akhir tahun 1970-an. Ini disebabkan karena peristiwa penghilangan paksa begitu masif dilakukan antara tahun 1960-an sampai 1970-an di negara-negara Amerika Latin.

Di Guatemala terjadi penghilangan paksa secara massal pada tahun 1966 ketika negara tersebut mengalami situasi politik yang buruk setelah militer mengambil alih kekuasaan pada 1954 dari kaum reformis. Di Chile, penghilangan paksa mulai terjadi setelah kudeta militer pimpinan Jenderal Augusto Pinochet pada 1973-1990. Kemudian di Argentina pada 1976–1983 ribuan tahanan politik dihilangkan secara paksa setelah kudeta militer oleh Jenderal Jorge Rafael Videla.

Pada 28 Juli 1982, praktik kehilangan paksa di Argentina kemudian menggerakkan ibu-ibu korban untuk melakukan aksi damai. Mereka melakukan demonstrasi dengan membentangkan kain bertuliskan nama-nama keluarga mereka yang hilang di Plaza de Mayo berhadapan dengan Casa Rosada, Istana Presiden, di kota Buenos Aires, Argentina.

Aksi para ibu di Plaza de Mayo merupakan gerakan anti-penghilangan paksa internasional yang memberikan hasil dengan dibentuknya Komisi Nasional Penghilangan Paksa (Commision Nacional para la Desaparacion de Personas). Komisi ini pada tahun 1984 mengeluarkan laporan pengungkapan orang hilang selama rezim militer berkuasa di Argentina yang berjudul Nunca Mas (Jangan Terulang Lagi).

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY/HERU SRI KUMORO

Foto pertama: Rahardjo Waluyo Jati, aktivis mahasiswa yang sempat hilang selama 45 hari, 12 Maret-28 April 1998, hari Kamis, 4 Juni 1998, memberi kesaksian di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Jakarta. (5/6/1998). Foto kedua: Munir “Tokoh 1998” versi Majalah Ummat berpidato di Hotel Acacia, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat pada Senin, 28/12/1998. Foto ketiga: Mural pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib berjajar di antara tokoh-tokoh bangsa seperti Hatta, Soekarno, Jenderal Sudirman, dan Kartini di di Kecamatan Serpong Utara, Tangerang Selatan, Jumat (20/3/2020).

Hukum Internasional

Peristiwa penghilangan paksa yang marak terjadi di Amerika Latin mengundang perhatian dunia internasional. Dalam Sidang Umum PBB pada 20 Desember 1978 dikeluarkan Resolusi 33/173 tentang Penghilangan Paksa. Resolusi kemudian diikuti pembentukan Working Group on Enforced or Involuntary Dissappearances (Kelompok Kerja untuk Penghilangan Paksa atau Penghilangan Tidak Sukarela) pada 29 Februari 1980 oleh Komisi HAM PBB.

Pada tahun 1981 kelompok kerja ini kemudian mengeluarkan publikasi tentang peristiwa-peristiwa penghilangan paksa di beberapa negara di seluruh dunia. Langkah berikutnya, mereka menyusun deklarasi anti penghilangan orang secara paksa untuk mencegah aksi serupa di banyak negara. Deklarasi ini baru diterima dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1992 dengan nama Declaration on the Protection of All Persons From Enforced Disappearances (Deklarasi Perlindungan Setiap Orang terhadap Penghilangan Paksa).

Namun, deklarasi tersebut bukanlah instrumen yang mengikat secara hukum dan tidak banyak negara yang mengadopsinya ke dalam hukum nasional mereka. Baru pada tahun 2006, Komisi HAM PBB menerbitkan International Convention on the Protection of all Persons from Enforced Disappearances berdasarkan deklarasi serupa pada 1992.

International Convention on the Protection of all Persons from Enforced Disappearances, menyebutkan bahwa tindakan penghilangan paksa didefinisikan sebagai kejahatan. Konvensi tersebut juga menuliskan bahwa segala bentuk penghilangan paksa yang dilakukan secara sistematis dengan alasan apapun dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

KOMPAS/JOHNNY TG

Tidak Putus Asa. Tanpa kenal lelah kedua anak perempuan ini menantikan kembalinya ayah mereka yang sampai sekarang belum diketahui nasibnya. Untuk kesekian kalinya, Senin (26/10), keluarga aktivis yang hilang bersama Kontras mendatangi Markas Pusat Polisi Militer ABRI, Jakarta, untuk menanyakan kelanjutan penanganan kasus hilangnya aktivis.

Konvensi ini mewajibkan kepada setiap negara untuk memasukkan tindakan penghilangan paksa sebagai tindakan kriminal dalam hukum nasional mereka. Dari 98 negara yang menandatangani konvensi tersebut, 59 negara telah melakukan ratifikasi terhadap undang-undang perlindungan dan penegakkan HAM. Sedangkan, 39 negara belum meratifikasi termasuk Indonesia.

Hukum mengenai penghilangan paksa juga diadopsi dalam Statuta Roma (Rome Statute of the International Criminal Court) atau perjanjian internasional untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional. Statuta Roma disahkan pada 17 Juli 1998 di dalam Konferensi Diplomatik Persatuan Bangsa-bangsa untuk Pendirian Mahkamah Pidana Internasional di Roma, Italia. Statuta Roma menempatkan praktik penghilangan orang secara paksa sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Munir: Pahlawan Orang-orang Hilang, 8 September 2020

Praktik di Indonesia

Praktik penghilangan paksa di Indonesia sering terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru. Namun, peristiwa penghilangan paksa baru mendapatkan perhatian penuh oleh Komnas HAM setelah kerusuhan 27 Juli 1996 (kudatuli), bentrokan antara kelompok Megawati dengan Soerjadi dalam konflik Partai Demokrasi Indonesia.

Simak Galeri Video: Diracun di Udara, Puncak Teror untuk Munir

Mereka yang hilang merupakan para aktivis pro-demokrasi dan lawan-lawan politik dari pemerintahan Orde Baru. Menurut Peter Kasenda dalam bukunya Hari-hari Terakhir Orde Baru: Menelusuri Akar Kekerasan Mei 1998 menuliskan bahwa para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi buronan politik setelah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Soesilo Soedarman mengumumkan PRD sebagai dalang dari kudatuli.

Pada 12 Oktober 1996, Tim Pencari Fakta Komnas HAM yang menyelidiki kasus kudatuli memberikan laporan bahwa setelah peristiwa tersebut terdapat 5 orang meninggal dunia, 23 orang hilang dan 149 orang luka-luka. Menko Polkam Soesilo Soedarman mengaku terkejut dengan laporan dari Komnas HAM. Bahkan Presiden Soeharto meminta kepada Komnas HAM untuk memberikan bukti secara rinci dan lengkap terhadap temuan mereka.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigjen TNI Amir Syarifudin mengatakan bahwa laporan Komnas HAM tidak akan ditanggapi oleh pihak ABRI. Hal ini disebabkan karena ABRI akan melakukan penyelidikan sendiri mengenai kerusuhan di kantor Sekretariat DPP PDI pada 27 Juli 1996.

Seiring berjalannya waktu, kasus kudatuli belum juga terselesaikan meskipun peristiwa tersebut sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Pada tahun 1997 pemerintah melalui Menko Polkam Soesilo Soedarman menyatakan bahwa masalah kudatuli dinilai telah selesai. Hal ini kemudian ditanggapi oleh Komnas HAM yang mengatakan bahwa pemerintah telah bersikap tidak adil dengan mengenyampingkan masalah kudatuli dan tidak berpihak kepada korban.

Belum terungkapnya kasus kudatuli pemerintah Orde Baru semakin represif menjelang kontestasi Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR pada Maret 1998 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden periode 1998–2003. Cara-cara ini dilakukan untuk mendukung stabilitas politik Indonesia yang sejak tahun 1996 terjadi banyak kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia. Apalagi perlawanan rakyat semakin meningkat setelah Soeharto mencalonkan diri kembali menjadi presiden.

Sumber: Kanal Youtube Kompas TV, Korban dan Keluarga Peringati Kasus Penculikan 98, 13 Maret 2019.

Pada bulan Februari 1998, Kompas memberitakan dua orang aktivis lembaga swadaya masyarakat hilang. Ketika itu koordinator Siaga (Solidaritas Indonesia untuk Amien dan Mega), Ratna Sarumpaet dalam jumpa pers di LBH Jakarta menyatakan bahwa Desmond J Mahesa (Lembaga Bantuan Hukum Nusantara) dan Pius Lustrilanang (Aliansi Demokrasi Rakyat) tidak diketahui keberadaannya sejak 4 Februari 1998. Diduga, hilangnya Pius dan Desmond berkaitan dengan aktivitas mereka.

Kemudian pada 28 Maret 1998 juga dikabarkan bahwa aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Andi Arief diculik orang tak dikenal. HM Arief Makhyat, ayah Andi Arief mengira anaknya diamankan oleh aparat keamanan. Namun, setelah dicek ke Kepolisian Resort Kota Bandarlampung, Kepolisian Daerah Lampung, Komando Resor Militer 043/Garuda Hitam Andi Arief tidak ada di sana.

Tidak berhenti di situ, sepanjang bulan Februari–Maret 1998 beberapa aktivis pro demokrasi juga dikabarkan menghilang. Komnas HAM mencatat nama-nama mereka, yakni Haryanto Taslam, Suyat, Raharjo Waluya Jati, Faisol Riza, Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria. Bahkan nama-nama aktivis yang menghilang sejak tahun 1997 muncul kembali, yaitu Dedy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Yani Afrie, dan Sonny.

Komnas HAM dan para keluarga korban kemudian meminta kepada pemerintah untuk menindaklanjuti seputar hilangnya beberapa aktivis karena peristiwa tersebut menganggu hak masyarakat untuk hidup tenteram. Pembiaran terhadap penyelesaian kasus tersebut dapat memunculkan prasangka yang buruk terhadap aparat keamanan.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI, Brigjen TNI Abdul Wahab Mokodongan telah melakukan pemeriksaan terhadap seluruh markas ABRI dari tingkat yang paling bawah hingga atas. Hasilnya Mokodongan tidak menemukan satu pun aktivis yang hilang tersebut. Bahkan, Mokodongan juga dengan tegas bahwa ABRI tidak ada hubungannya dengan penculikan para aktivis

KOMPAS/DANU KUSWORO

Pagelaran Forum Solidaritas untuk Wiji Thukul dengan tema “Wiji Thukul Pulanglah!”, di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu petang, 22 Juli 2000. Wiji Thukul adalah aktivis di kelompok Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) yang “hilang” entah kemana, dan hingga ssat itu belum diketahui keberadaannya. Acara ini merupakan lanjutan serupa yang sebelumnya digelar di Solo, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.(Kompas, Rabu, 26 Juli 2000 halaman 9)

Korban yang kembali

Pada April 1998, Kompas mengabarkan beberapa aktivis yang sebelumnya hilang telah kembali. Desmond J Mahesa kembali ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan sedangkan Pius Lustrilanang kembali ke Palembang, Sumatra Selatan. Haryanto Taslam, Wakil Sekjen PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri yang dikabarkan hilang sejak 2 Maret 1998 dikabarkan sudah bebas dan berada di suatu tempat di Surabaya, Jawa Timur.

Andi Arief juga dikabarkan mendekam di tahanan Mabes Polri, karena dugaan kasus penemuan bom di rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat pada 18 Januari 1998. Rahardjo Waluyo Jati juga dibebaskan pada 25 April 1998. Jati menceritakan bahwa ia dibawa dengan menggunakan mobil dan diturunkan di dekat pintu kereta api Jatinegara. Penutup matanya dan borgolnya dilepas, namun mukanya ditutup koran sambil diancam untuk tidak menoleh ke belakang. Jati langsung ditinggal dan ia tidak mengetahui siapa penculiknya.

Tiga aktivis mahasiswa yang sempat diculik orang tak dikenal, yakni Nezar Patria, Aan Rusdianto, dan Mugianto dikabarkan telah dibebaskan pada 6 Juni 1998 setelah mendapatkan status penangguhan penahanan di Polda Metro Jaya. Nezar dan Aan menceritakan bahwa mereka ditangkap oleh orang tak dikenal pada 13 Maret 1998. Ketika itu mata mereka ditutup kemudian dibawa ke suatu tempat yang tidak dikenal, setelah itu dibawa ke Markas Kodim Jakarta Timur, sampai kemudian terdampar di tahanan Polda Metro Jaya.

Aktivis pro demokrasi yang kembali juga ada yang ditemukan meninggal dunia. Leonardus Nugroho Iskandar alias Gilang aktivis Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat yang hilang pada 21 Mei 1998 ditemukan tewas 3 hari kemudian di tepi jalan, di dekat tempat pariwisata Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Kematian Gilang diselimuti misteri. Berdasarkan data pemeriksaan pertama yang dilakukan Puskesmas Plaosan (Jatim), almarhum tewas akibat dibunuh.

Komnas HAM mencatat total ada sembilan orang yang kembali dalam keadaan hidup, yakni Aan Rusdianto, Andi Arief, Desmont J Mahesa, Faizol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Rahardjo Waluyo Jati. Kembalinya para aktivis yang hilang kemudian dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM selama mereka menghilang. Hal ini juga sebagai langkah untuk menemukan para aktivis lain yang masih belum ditemukan jejaknya. Komnas HAM juga melakukan klarifikasi seputar kasus penghilangan orang tersebut untuk mengetahui apakah terjadi pelanggaran HAM atau tidak.

Pius Lustrilanang akhirnya memberikan kesaksian di depan Komnas HAM pada 27 April 1998. Dalam kesaksiannya Pius mengaku diculik oleh orang yang tidak dikenal pada 4 Februari 1998, pukul 15.30 WIB di depan RSCM Jakarta. Selama dua bulan, Pius disekap di dalam penjara dan mengalami penyiksaan. Selama di dalam penyekapan, Pius sempat berjumpa dengan para aktivis yang dikabarkan hilang seperti Haryanto Taslam, Desmond J Mahesa, dan aktivis lainnya. Namun, Pius tidak bisa mengidentifikasi siapa penculiknya tersebut.

Pius juga mengatakan bahwa jiwanya terancam apabila dia membeberkan semua peristiwa yang dia alami selama penyekapan. Seusai memberikan kesaksian, Pius langsung diberangkatkan ke Amsterdam, Belanda pada pukul 17.00 WIB. Di Belanda, Pius juga bersaksi tentang peristiwanya kepada kelompok-kelompok HAM di Belanda dan pejabat-pejabat Uni Eropa.

Lewat kesaksian para korban penculikan, Komnas HAM dapat menyimpulkan bahwa mereka yang hilang merupakan korban penghilangan secara paksa. Tindakan ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM juga menyatakan bahwa tindakan penghilangan paksa dilakukan oleh kelompok terorganisir.

Para pelaku penghilangan paksa

Kasus penghilangan paksa kemudian ditanggapi oleh pemerintah Orde Baru. Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto membentuk tim pencari fakta (TPF) guna menyelidiki siapa yang melakukan aksi-aksi penculikan. Tim tersebut terdiri dari Komandan Polisi Militer ABRI, Asisten Keamanan, Ketertiban dan Masyarakat Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, dan Asisten Intelijen Kasum ABRI. Namun, beberapa pihak juga meminta untuk melibatkan LSM dan organisasi internasional agar lebih independen.

TPF ABRI kemudian memeriksa sejumlah korban penghilangan paksa yang telah kembali. Salah satunya adalah Desmond J Mahesa yang diperiksa oleh Mayjen (TNI) Andi Muh Ghalib, Mayjen (TNI) Syamsu D, Laksda Berty Ekel, dan Mayjen (Pol) Marwan Paris di Kantor YLBHI. Munir dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) juga meminta kepada TPF ABRI untuk menjamin keselataman dari para saksi penculikan terutama karena situasi yang belum stabil akibat kerusuhan Mei 1998.

Setelah melalui proses penyelidikan TPF ABRI dapat menarik kesimpulan sementara akan adanya keterlibatan oknum personel ABRI dalam melakukan penghilangan orang secara paksa. Keterangan ini disampaikan oleh Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto di Markas Besar ABRI. Wiranto menjelaskan bahwa tindakan oknum tersebut di luar dari prosedur pengamanan yang telah diperintahkan.

Menindaklanjuti laporan sementara TPF ABRI yang dikemukakan oleh Wiranto, Pusat Polisi Militer (Puspom ABRI) memeriksa 40 orang saksi diantaranya adalah 20 oknum ABRI. Hasilnya tujuh oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus penculikan sejumlah aktivis. Bahkan tidak menutup kemungkinan munculnya tersangka baru.

Kapuspen Mayjen TNI Syamsul Ma’arif dalam keterangannya mengatakan bahwa kasus penghilangan paksa merupakan suatu kesalahan prosedur. Kopassus hanya diperintahkan untuk mengungkap sejumlah kegiatan radikal. Namun, dalam pelaksanaannya telah dilakukan tindakan di luar batas dengan menculik sejumlah aktivis.

Terungkapnya tersangka penculikan para aktivis belum membuat para korban dan keluarga korban tenang. Komnas HAM meminta kepada Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk mengembalikan 13 orang aktivis yang belum kembali. Namun, Wiranto meminta kepada semua pihak untuk menunggu penyelidikan dan pengusutan terhadap sejumlah tersangka.

Pada 3 Agustus 1998, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto kemudian membentuk Dewan Kehormatan Perwira untuk memeriksa sejumlah pejabat Kopassus atas kasus penculikan aktivis. Tujuh perwira dan tiga bintara yang ikut terlibat diajukan ke mahkamah militer. Mereka semuanya yang diperiksa status militernya dinonaktifkan.

Pengakuan dari sejumlah tersangka yang melakukan penculikan para aktivis telah diakui sebagai tindakan di luar prosedur yang diminta pimpinan ABRI. Atas pemeriksaan tersebut, Mahkamah Militer Tinggi pada 6 April 1999 menjatuhi hukuman kepada tersangka dengan dipecat dari ABRI dan dituntut hukuman 15 bulan hingga 26 bulan penjara.

Sumber: Kanal Youtube Kompas TV, Babak Sunyi Wiji Thukul, 10 Mei 2017

Penyelidikan kasus oleh Komnas HAM

Penyelesaian kasus penghilangan paksa di Indonesia belum tuntas dengan hanya memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan saja. Hal ini disebabkan karena hingga penetapan tersangka masih ada 13 orang yang hilang dan belum diketahui keberadaannya. Oleh karena itu, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang belum kembali meskipun pemerintahan Orde Baru telah tumbang pada Mei 1998.

Pemerintah dan juga Dewan Perwakilan Rakyat juga merespon penyelesaian kasus penghilangan orang ini dengan undang-undang tentang perlindungan hak asasi manusia. Sebelumnya, perlindungan terhadap penghilangan orang secara paksa diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan delik penculikan.

Namun, setelah reformasi dibentuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Melalui undang-undang tersebut Komnas HAM  melakukan pengkajian terhadap kasus penghilangan paksa. Pada tahun 2000, hasil kajian Komnas HAM tersebut ditingkatkan menjadi penyelidikan setelah dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memuat tentang tata cara penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.

Komnas HAM berpendapat bahwa pengadilan HAM dibentuk sebagai salah satu cara untuk menghilangkan budaya impunity, di mana seseorang kebal secara hukum. Ini juga sebagai cara untuk menjerat pada tersangka lain baik dari pihak militer maupun pejabat sipil Orde Baru. Apabila mereka terbukti melakukan pelanggaran berat maka akan diproses hukum secara adil melalui pengadilan HAM.

Namun, bagi Munir pimpinan Kontras, kasus penghilangan paksa di Indonesia dapat diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan tidak digunakan penyelesaian kasus per kasus. Lewat komisi tersebut akan diperoleh mengenai motif penculikan, identifikasi kelompok mana saja yang menjadi korban penculikan, dan jawaban di mana orang-orang yang hilang tersebut.

Menurut Munir kasus penghilangan paksa selama pemerintahan Orde Baru terlalu luas cakupannya dan jumlah korbannya tidak sedikit. Hal ini yang menjadi kesulitan apabila diselesaikan satu demi satu. Namun, pemerintah saat itu belum terlalu tanggap dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Peserta Aksi Kamisan membawa payung hitam saat mengikuti aksi tersebut yang dilaksanakan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/1). Aksi untuk menuntut penuntasan pelanggaran HAM itu sudah dilakukan kelompok tersebut selama 10 tahun.

Pada 2005 Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997/1998 yang bekerja sejak 1 Oktober 2005 — 30 Oktober 2006. Penyelidikan tim meminta keterangan dari 77 orang saksi, yaitu 58 saksi korban maupun keluarga korban dan masyarakat umum, 18 saksi anggota/purnawirawan Polri, dan satu saksi purnawirawan TNI. Tim juga memanggil para jenderal ABRI salah satunya yakni mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto.

Setelah melalui serangkaian penyelidikan oleh Tim Ad Hoc, Komnas HAM menyimpulkan bahwa praktik penghilangan paksa dilakukan oleh institusi militer dalam upaya mempertahankan kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dalam analisisnya ditemukan adanya pola penangkapan yang sama dan sistematis dengan menggunakan fasilitas negara.

Hasil konstruksi Komnas HAM kemudian dikirimkan kepada Jaksa Agung untuk diproses dan sebagai langkah untuk menemukan 13 orang aktivis yang masih hilang. Namun, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menolak hasil tersebut. Ia berpendapat bahwa 13 orang yang belum ditemukan peristiwanya terjadi tahun 1997–1998, sebelum UU No. 26/2000 diundangkan. Mengacu pada peraturan tersebut bahwa kasus penghilangan paksa diselesaikan dalam Pengadilan HAM Ad Hoc bukan Pengadilan HAM biasa. Jaksa Agung bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan sampai ada rekomendasi DPR agar Presiden membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Namun, bagi Mugiyanto salah satu korban penghilangan paksa yang kembali, beranggapan bahwa kasus penghilangan paksa merupakan kejahatan yang berkelanjutan (continuing crime). Hal ini menjelaskan bahwa penanganannya tidak memerlukan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc, melainkan Pengadilan HAM biasa. Artinya, rekomendasi DPR dan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Presiden tidak diperlukan sebagai syarat pelaksanaan penyidikan oleh Jaksa Agung.

Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, Militansi Buruh Era Orde Baru Dibayar dengan Nyawa, 1 Mei 2021

Penyelesaian HAM terkini

Kasus penghilangan paksa yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM di masa lalu hingga kini belum tuntas. Nama-nama seperti Yani Afri, Noval Al Katiri, Dedy Umar/Hamdun, Ismail, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Suyat, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, Ucon Siahaan, M Yusuf, Sonny, dan Wiji Thukul, hingga kini belum diketahui keberadaannya. Pengadilan HAM yang direkomendasikan oleh Komnas HAM pada tahun 2006 juga belum pernah terlaksana hingga kini.

Keluarga korban pelanggaran HAM bersama dengan para LSM terus melakukan aksi diam di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis sejak tahun 2007 hingga sekarang. Aksi ini kemudian disebut “Aksi Kamisan”. Aksi ini terinspirasi dari ibu-ibu korban di Argentina yang melakukan aksi serupa di Plaza de Mayo tahun 1982.

Era pemerintahan Presiden Joko Widodo menjanjikan diselesaikannya kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, berkas penyelidikan dari Komnas HAM selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Sementara, Menko Polhukam Mahfud MD menjanjikan penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur nonyudisial. Menurutnya, penyelesaian nonyudisial tidak akan menutup upaya penyesaian hukum. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Sekelompok Ibu Memprotes Kunjungan Paus di Argentina”. KOMPAS, 11 April 1987, hal. 7.
  • “Militer Argentina Akui Membunuh 10.000 Orang”. KOMPAS, 27 April 1995, hal. 7.
  • “Hasil Sementara Tim Pencari Fakta Komnas HAM: Lima Orang Meninggal, 74 Hilang dan 149 Luka”. KOMPAS, 1 September 1996, hal. 1.
  • “74 Orang yang Hilang, Menko Polkam Kaget”. KOMPAS, 5 September 1996, hal. 1.
  • “Presiden Kepada Komnas HAM – Buktikan Hasil Temuan”. KOMPAS, 7 September 1996, hal. 1.
  • “Marzuki Darusman: Sebagian Orang Hilang Sudah Ditemukan”. KOMPAS, 21 September 1996, hal. 13.
  • “Pernyataan Komnas HAM Mengenai Kerusuhan 27 Juli Lima Tewas, 149 Luka, 23 Hilang”. KOMPAS, 13 Oktober 1996, hal. 1.
  • “Pernyataan Komnas HAM, ABRI tidak Merasa Perlu Menanggapi”. KOMPAS, 14 Oktober 1996, hal. 1.
  • “Pemerintah Harus Proporsional Melihat Peristiwa 27 Juli”. KOMPAS, 2 Agustus 1997, hal. 14.
  • “Ratna Sarumpaet Tanyakan Keberadaan Pius dan Desmond’. KOMPAS, 17 Februari 1998, hal. 13.
  • “Dua Aktivis LSM Hilang: Sepatutnya Diketahui Polri”. KOMPAS, 23 Februari 1998, hal. 7.
  • “Aktivis SMID Diculik”. KOMPAS, 30 Maret 1998, hal. 3.
  • “Pemerintah Harus Jelaskan ‘Hilangnya’ Sejumlah Mahasiswa Kapuspen ABRI * Tak Ada Hubungan dengan ABRI”. KOMPAS, 31 Maret 1998, hal. 3.
  • “Menkeh Kasus Orang Hilang Harus Diklarifikasikan * ABRI Telah Lakukan Pencekan”. KOMPAS, 1 April 1998, hal. 3.
  • “Kodam Jaya Tak Pernah Memburu Aktivis”. KOMPAS, 4 April 1998, hal. 3.
  • “Desmond dan Pius Sudah Kembali ke Orangtuanya”. KOMPAS, 8 April 1998, hal. 13.
  • “Haryanto Taslam Kabarkan Dirinya Bebas dan Sehat”. KOMPAS, 18 April 1998, hal. 3.
  • “Komnas akan Temui Taslam dan Pius * Untuk Penjelasan Keberadaan Selama Hilang”. KOMPAS, 21 April 1998, hal. 3.
  • “Andi Arief Berada di Tahanan Mabes Polri”. KOMPAS, 24 April 1998, hal. 1.
  • “Pius Lustrilanang Saya Ingin Semua Ini Diakhiri”. KOMPAS, 29 April 1998, hal. 1.
  • “Tak Ada Kebijakan ABRI Menghilangkan Orang”. KOMPAS, 30 April 1998, hal. 1.
  • “Kesimpulan Komnas HAM- Penghilangan Paksa oleh Kelompok Terorganisir”. KOMPAS, 1 Mei 1998, hal. 1.
  • “Untuk Membuka Tabir Kasus Orang Hilang Pangab Bentuk Tim Kecil Pencari Fakta”. KOMPAS, 2 Mei 1998, hal. 1.
  • “Rezim ‘Abrakadabra’ di Amerika Latin”. KOMPAS, 3 Mei 1998, hal. 3.
  • “Soal Pembentukan TPF Orang Hilang Perlu Libatkan Kalangan LSM”. KOMPAS, 4 Mei 1998, hal. 13.
  • “Desmond Diperiksa Empat Jenderal”. KOMPAS, 26 Mei 1998, hal. 6.
  • “Ribuan Massa Ikuti Pemakaman Gilang”. KOMPAS, 7 Juni 1998, hal. 12.
  • “Soal Penculikan Ada Keterlibatan Institusi Formal”. KOMPAS, 9 Juni 1998, hal. 6.
  • “Menhankam-Pangab Soal Orang Hilang Ada Oknum ABRI yang Bertindak Di Luar Prosedur”. KOMPAS, 30 Juni 1998, hal. 1.
  • “Kasus Penculikan Aktivis Puspom Abri Telah Memeriksa 40 Orang”. KOMPAS, 3 Juli 1998, hal. 1.
  • “KSAD Soal Kasus Orang Hilang Sebanyak 20 Oknum ABRI Diperiksa Sebagai Saksi”. KOMPAS, 11 Juli 1998, hal. 1.
  • “Dalam Kasus Penculikan Oknum Kopassus Terlibat”. KOMPAS, 14 Juli 1998, hal. 1.
  • “Tujuh Oknum Kopassus Ditahan KSAD * Silakan Usut Sesuai Hukum”. KOMPAS, 15 Juli 1998, hal. 1.
  • “Nasib 12 Korban Penculikan Masih Diselidiki”. KOMPAS, 24 Juli 1998, hal. 1.
  • “Prabowo, Muchdi, Chairawan Diperiksa * ABRI Minta Maaf”. KOMPAS, 4 Agustus 1998, hal. 1.
  • “Korban Penculikan yang Belum Kembali: Harus Jadi Agenda Perjuangan Bersama”. KOMPAS, 6 April 1999, hal. 8.
  • “Pengadilan HAM untuk Hilangkan Budaya Impunity”. KOMPAS, 8 Oktober 1999, hal. 8.
  • “Model Penyelesaian Kasus Orang Hilang Efektif Melalui Komisi Kebenaran”. KOMPAS, 17 April 2000, hal. 8.
  • “Tim Penghilangan Orang Secara Paksa Bertemu Wiranto”. KOMPAS, 11 Juni 2005, hal. 7.
  • “Pembentukan KKR Kelambanan Pemerintah Menuai Kritik”. KOMPAS, 7 November 2005, hal. 5.
  • “Penghilangan Paksa: Komnas HAM Temukan Bukti Pelanggaran Berat”. KOMPAS, 11 November 2006, hal. 2.
  • “Jaksa Agung Bersikukuh * Abdul Rahman Saleh: Penanganan Orang Hilang Perlu Keputusan Politik”. KOMPAS, 18 November 2006, hal. 3
  • “13 Aktivis yang Hilang Harus Ditemukan Penghilangan Aktivis 1997 1998 Dilakukan secara Sistematis”. KOMPAS, 23 November 2006, hal. 3.
  • “Kejelasan Nasib Korban Penghilangan Paksa”. KOMPAS, 28 November 2006, hal. 6.
  • “Hak Asasi Manusia ‘Kamisan’ di Depan Istana Merdeka, Tunggu Penyelesaian Kasus Pelanggaran…”. KOMPAS, 3 Februari 2007, hal. 4.
  • “Keluarga Korban Menolak untuk Menyerah * Suara Tak terdengar”. KOMPAS, 10 Mei 2021, hal. 1.
Buku
  • Ajidarma, Gibran, dkk. 1997. Peristiwa 27 Juli. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi dan Aliansi Jurnalis Independen.
  • Aswidah, Roichatul, dkk (ed.). 2014. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: Komnas HAM RI.
  • 1998. Penghilangan Paksa: Mengungkap Kebusukan Politik Orde Baru. Jakarta: Grasindo.
  • Kasenda, Peter. 2015. Hari-hari Terakhir Orde Baru: Menelusuri Akar Kekesaran Mei 1998. Depok: Komunitas Bambu.
  • Manan, Bunga Fitria dan Faryadi, Erpan (ed.). 1998. Deklarasi Perlindungan Setiap Orang terhadap Penghilangan Paksa dan Lembaran Fakta PBB tentang Penculikan. Jakarta: Lembaga Pembela Hak Sipil dan Politik.
  • Putra, Anak Agung Gde, dkk. 2012. Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
  • Saptono, Irawan. 2004. Penghilangan Paksa dan Eksekusi di Luar Perintah Pengadilan: Metode Teror. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
  • Sembiring, Garda, dkk (ed.). 2007. Nunca Mas Laporan Final Conadep: Argentina Pasca Junta Militer (1976-1983). Jakarta: Peoples Empowerment Consortium.
  • Siagian, F. Sihol. 1999. Pius Lustrilanang Menolak Bungkam. Jakarta: Grasindo.
  • Suyono, Seno Joko, dkk. 2013. Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Jurnal
Artikel Kompas.id