Paparan Topik

Fenomena Kasus Perdagangan Orang

Perdagangan orang adalah salah satu bentuk terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Keberadaannya dikecam di semua negara karena merupakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Kedua tersangka pelaku perdagangan orang yang ditangkap dihadirkan dalam konferensi pers Pengungkapan Jaringan Internasional Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Dengan Korban Tereksploitasi di Negara Myanmar di Aula Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (16/5/2023). Kapolri membentuk Satgas TPPO dengan Wakabareskrim sebagai ketua satgas.

Fakta Singkat

Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia

  • Pada tahun 2023, tema peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia adalah “Jangkau Setiap Korban Perdagangan, Jangan Tinggalkan Siapa pun”.
  • Di Indonesia, tindak pidana perdagangan orang diatar dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  • Berdasarkan laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat berjudul ”Trafficking In Person Report 2023”, pada tahun 2022, diketahui ada 115,324 orang korban perdagangan manusia yang terindentifikasi secara global.
  • Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang tahun 2017 hingga Oktober 2022, tercatat sebanyak 2.356 korban perdagangan orang yang terlaporkan di Indonesia.
  • Mayoritas korban perdagangan orang di Indonesia adalah anak-anak (50,97 persen) dan perempuan (46,14 persen), sisanya laki-laki (2,89 persen).

Setiap tanggal 30 Juli seluruh dunia memperingati Hari Anti Perdagangan Orang atau World Day against Trafficking in Persons. Peringatan ini bertujuan untuk menentang dan meningkatkan kesadaran serta kepekaan masyarakat dunia terhadap masalah kejahatan perdagangan orang. Selain itu, juga untuk mempromosikan dan mendukung hak-hak korban.

Merujuk laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), peringatan Hari Anti Perdagangan Orang pertama kali ditetapkan pada tahun 2013 oleh Majelis Umum PBB. Sejarah penetapannya bermula pada tahun 2003 ketika United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) telah mencatat sebanyak 225 ribu kasus perdagangan orang.

Setelahnya, laporan kasus semakin bertambah banyak. Pada tahun 2006, The United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) meminta untuk lembaga antar pemerintah bekerja sama lebih lanjut guna memperkuat dukungan yang diberikan kepada negara-negara di bidang perdagangan orang.

Tak lama kemudian, Pemerintah Jepang menyelenggarakan rapat koordinasi organisasi internasional yang bekerja untuk melawan perdagangan orang. Organisasi yang hadir, di antaranya ILO, IOM, UNICEF, UN Women, UNCHR, dan UNODC  memutuskan untuk melanjutkan upaya yang telah dimulai dan membentuk kelompok anti perdagangan orang atau Agency Coordination Group Against Human Trafficking pada 2007.

Pada 2010 Majelis Umum PBB membuat rencana memerangi perdagangan orang dengan terciptanya “Dana Perwalian Sukarela-PBB” untuk korban perdagangan, khususnya perempuan dan anak-anak. Selanjutnya, pada 2013, Majelis Umum membuat resolusi bernomor A/RES/68/192 serta menetapkan bahwa 30 Juli merupakan Hari Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sedunia.

Pada tahun 2023, merujuk laman resmi PBB, tema peringatan tahun ini adalah “Jangkau Setiap Korban Perdagangan, Jangan Tinggalkan Siapa pun”. Tema ini menyerukan kepada pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat sipil untuk memperkuat dan meningkatkan upaya mereka mengakhiri perdagangan orang. Adapun “Jangan tinggalkan siapa pun” adalah janji sentral dan transformatif dari Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Tiga tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ditampilkan dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Resor Indramayu, Jawa Barat, Kamis (8/6/2023). Tiga tersangka berinisial DS, ES, dan TR itu diduga terlibat dalam kasus perdagangan orang ke Uni Emirat Arab. Padahal, pemerintah masih menerapkan moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia ke Timur Tengah.

Definisi dan Konsep

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, disebutkan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat tiga unsur dasar dalam perdagangan orang, yakni:

  1. Proses: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang.
  2. Cara: ancaman, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penyalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan, jeratan hutang untuk mendapat kendali atas diri korban sehingga dapat memaksa mereka.
  3. Tujuan: mengeksploitasi atau menyebabkan korban tereksploitasi untuk keuntungan.

Berdasarkan tujuannya, perdagangan orang yang terjadi di suatu negara dengan negara lain memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi secara umum bentuk-bentuknya meliputi: eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan dalam rumah tangga, pengantin paksa/pesanan, adopsi bayi ilegal, dan perdagangan organ tubuh manusia.

Dalam menjerat korban, terdapat beberapa modus yang sering digunakan pelaku perdagangan orang, seperti tawaran untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar tanpa persyaratan khusus, tawaran program pertukaran pelajar atau beasiswa yang menggiurkan, pemberian pinjaman sebagai penjeratan utang, hingga tawaran menikah dan tinggal dengan warga negara asing.

Mengacu buku Panduan Penanganan Tindak Pindana Perdaganagan Orang, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk membantu dalam mengenali dan menentukan apakah suatu peristiwa berpeluang terjadi TPPO, di antaranya:

  1. Tidak menerima upah atau imbalan tidak sesuai bagi pekerjaan yang dilakukannya.
  2. Tidak dapat mengelola sendiri upah yang diterima atau harus menyerahkan sebagian besar upahnya kepada pihak ketiga.
  3. Adanya jeratan utang untuk membayar biaya pengganti rekruitmen, jasa perantara, biaya perjalanan.
  4. Pembatasan atau perampasan kebebasan bergerak, misalnya tidak boleh meninggalkan tempat kerja atau penampungan untuk jangka waktu lama, di bawah pengawasan terus-menerus.
  5. Tidak diperbolehkan berhenti bekerja melalui ancaman dan kekerasan.
  6. Pembatasan kebebasan untuk mengadakan kontak dengan orang lain, termasuk keluarga dan teman.
  7. Tidak diberikannya pelayanan kesehatan, makanan yang memadai.
  8. Adanya ancaman penggunaan kekerasan, ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik.
  9. Diharuskan bekerja dalam kondisi yang sangat buruk dan/atau harus bekerja untuk jangka waktu yang sangat panjang.
  10. Tidak memegang sendiri surat-surat identitas diri atau dokumen perjalanannya
  11. Menggunakan paspor atau identitas palsu yang disediakan oleh pihak ketiga

KOMPAS/BM LUKITA GRAHADYARINI

Sejumlah 242 anak buah kapal (ABK) asal Myanmar dan Kamboja di PT Pusaka Benjina Resources, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, diangkut dengan kapal feri ke Tual, Maluku, untuk proses pemulangan ke negara asal, Selasa (19/5/2015). Perusahaan perikanan itu ditengarai melakukan praktik perdagangan orang.

Situasi Dunia

Bentuk paling awal perdagangan orang dimulai dengan perdagangan budak. Merujuk Kompas, praktik perdagangan orang, yang menempatkan manusia sebagai komoditas, telah berkembang luas pada abad 14 saat muncul pasar budak untuk merespons kurangnya tenaga kerja di Eropa serta wilayah koloninya. Ketika manusia kemudian dilihat sebagai sebuah komoditas, sesuatu yang dapat diperjualbelikan, praktik perdagangan budak kemudian meluas.

Pada abad 15, bangsa Portugis mulai mendatangkan budak dari Afrika Barat ke Eropa. Selanjutnya, pada abad 16, bangsa Spanyol membawa budak ke tanah Amerika. Selama kira-kira 350 tahun berikutnya, periode yang dikenal sebagai Perdagangan Budak Transatlantik, sekitar 12,5 juta budak dikirim dari Afrika ke seluruh dunia.

Merujuk The Exodus Road, sepanjang masa itu, perdagangan manusia merupakan praktik legal, diatur, dan sering dilakukan oleh satu kelompok orang ke kelompok lain. 

Praktik kejahatan ini baru ditentang pada 1807 ketika Inggris melarang perbudakan. Disusul Amerika Serikat pada 1820, dan negara-negara lainnya. Hingga kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengeluarkan perjanjian atau konvensi yang mengatur penghapusan perbudakan dan perdagangan manusia pada 1949. Sejak saat itu peraktik perdangan orang sudah menjadi persoalan internasional yang mengancam keamanan manusia.

Meskipun ditentang dan sudah banyak negara mengeluarkan undang-undang melarang praktik perdagangan orang, kejahatan ini masih terus terjadi hingga hari ini. Tindak pidana perdagangan orang pun sudah menjangkiti banyak negara di dunia.

Berdasarkan laporan tahunan situasi perdagangan orang yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat berjudul ”Trafficking In Person Report 2023”, diketahui bahwa ada 115,324 orang korban perdagangan manusia yang terindentifikasi secara global pada 2022. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah tersebut meningkat sekitar 27 persen. Pada tahun 2021, jumlah korban perdagangan manusia secara global tecatat sebanyak 90.354 orang.

Grafik:

 

Catatan: Statistik di atas adalah perkiraan yang berasal dari data yang diberikan oleh pemerintah asing dan sumber lain dan ditinjau oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Agregat data berfluktuasi dari satu tahun ke tahun berikutnya karena sifat kejahatan perdagangan manusia yang tersembunyi, peristiwa global yang dinamis, pergeseran upaya pemerintah, dan kurangnya keseragaman dalam struktur pelaporan nasional.

Angka tersebut pun belum menunjukan jumlah yang sebenarnya. Karena sifat kejahatan perdagangan orang yang tersembunyi, peristiwa global yang dinamis, dan kurangnya keseragaman dalam struktur pelaporan nasional membuat jumlah korban sulit diketahui secara pasti. Angka yang tersembunyi di bawah permukaan diperkirakan jauh lebih besar daripada angka yang ditampilkan.

Berdasarkan wilayahnya, korban perdagangan orang terbanyak pada 2022 berasal dari wilayah Asia Selatan dan Tengah, yakni 49.715 orang. Diikuti wilayah Eropa sebanyak 24.528 dan Afrika sebanyak 21.790 orang.

Grafik:

 

Catatan: Statistik di atas adalah perkiraan yang berasal dari data yang diberikan oleh pemerintah asing dan sumber lain dan ditinjau oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Agregat data berfluktuasi dari satu tahun ke tahun berikutnya karena sifat kejahatan perdagangan manusia yang tersembunyi, peristiwa global yang dinamis, pergeseran upaya pemerintah, dan kurangnya keseragaman dalam struktur pelaporan nasional.

Dari laporan yang berbeda, bertajuk “2022 Global Report on Trafficking in Persons”, diketahui bahwa dari 51.675 kasus perdagangan orang yang dilaporkan pada 2020, korban perdagangan manusia paling banyak menyasar perempuan (42 persen). Kemudian laki-laki (23 persen), anak perempuan (18 persen), dan terakhir anak laki-laki (17 persen).

Dari sisi bentuk, perdagangan orang kebanyakan terjadi dalam bentuk kerja paksa (38,8 persen), diikuti eksploitasi seksual (38,7 persen), dan bentuk lain (10,3 persen).

 

Grafik:

 

 

Sementara itu, jika bentuk perdagangan dilihat dari gender korbannya, tampak bahwa tiap profil memiliki bentuk perdagangan orang yang khas. Wanita kebanyakan menjadi korban perdagangan orang dalam bentuk eksploitasi seksual (64 persen). Sedangkan laki-laki kebanyakan diperdagangkan untuk kepentingan kerja paksa (56 persen).

Grafik:

Korban anak perempuan biasanya diperjualbelikan untuk kegiatan eksploitasi seksual (27 persen). Sedangkan anak laki-laki menjadi korban perdagangan manusia untuk kegiatan kriminalitas paksa, misalnya produksi, penjualan, dan pengangkutan obat-obatan terlarang (68 persen).

Di sisi pelaku, berdasarkan gender yang tertangkap karena kegiatan perdagangan orang didominasi oleh laki-laki (58 persen). Kemudian perempuan (40 persen), dan sisanya anak perempuan dan laki-laki masing-masing satu persen.

Grafik:

 

Grafik:

Situasi Indonesia

Perdagangan orang juga menjadi masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Praktik kejahatan ini pun sudah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama.

Secara historis, praktik perdagangan orang di Indonesia sudah terjadi sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, berawal dari proses perbudakan dan penghambaan pada masa itu. Merujuk artikel akademis berjudul “Lintasan Sejarah Perdagangan Perempuan di Indonesia” oleh Budiarti, salah satu bentuk perdagangan orang pada masa itu adalah praktik penghadiaan perempuan atau anak perempuan kepada raja dengan modus operandi perkawianan politik.

Pada masa kerajaan di Nusantara sudah menjadi kelaziman para putri raja dihadiahkan sebagai selir ataupun istri sebagai tanda takluk kepada raja lainnya. Praktik ‘menjual’ anak perempuan kepada raja juga kerap dilakukan dari lingkungan masyarakat bawah dengan maksud sebagai tanda kesetiaan, persembahan, maupun agar mendapatkan peningkatan pada statusnya.

Kemudian ketika bangsa Belanda datang pada abad ke-16, praktik perdagangan orang semakin meluas dan berkembang, serta mulai memperlihatkan bentuknya yang lebih bersifat komersial, salah satunya adalah jual-beli budak.

Menurut I Wayan Pardi dalam artikel jurnal berjudul “Perdagangan Budak di Bali pada Abad ke XVII-XIX: Ekploitasi, Genealogi, dan Pelarangannya”, pada abad ke-17 dan ke-18, Bali menjadi salah satu daerah pemasok budak yang sangat terkenal. Selama periode tersebut, jumlah budak yang diekspor dari Bali mencapai 2.000 orang setiap tahun.

Para budak Bali tidak hanya dijual ke wilayah-wilayah di Nusantara, tetapi juga ke Afrika Selatan, dan penjuru pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Bali pun juga dijadikan tempat transit para budak-budak dari Afrika dan Asia.

Budak laki-laki umumnya dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan, pelayan, penjaga serta dalam kasus lainnya budak-budak tersebut juga dijadikan serdadu Belanda. Sedangkan budak perempuan biasanya dijadikan sebagai pembantu rumah tangga dan pelacur, yang kemudian memunculkan adanya fenomena “pergundikan”.

Harga-harga budak di pasar pelelangan terutama ditentukan oleh usia, kekuatan mereka, dan juga asal-usul mereka. Nasib para budak tergantung kepada pemiliknya, kalau tidak disenangi suatu waktu dapat dijual lagi kepada orang lain.

Kemudian, ketika Jepang masuk ke Indonesia, praktik perdagangan orang yang paling populer adalah perdagangan perempuan untuk dijadikan pelayan seks para tentara Jepang. Jepang juga membawa banyak perempuan pribumi dan perempuan Belanda ke Singapura, Malaysia dan Hongkong untuk dijadikan ianfu atau wanita penghibur.

Praktik perdagangan orang pun terus berlanjut. Di Indonesia, hingga hari ini masih ditemukan situasi saat manusia diperdagangkan. Bahkan, jumlah kasus dan korban perdagangan orang justru meningkat, alih-alih menurun.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang tahun 2017 hingga Oktober 2022, tercatat sebanyak 2.356 korban perdagangan orang yang terlaporkan. Sejak tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah korban yang terlaporkan. Jika pada tahun 2019 terdapat 226 korban perdagangan orang. Pada 2020 menjadi 422 korban, pada 2021 menjadi 683 korban, dan pada Januari-Oktober 2022 tercatat 401 korban.

Sementara, berdasarkan data Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), selama periode 5 Juni – 16 Juli 2023, Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang melaporkan, telah menerima 680 laporan kasus perdagangan orang dengan 2.093 korban.

Dari jumlah itu, modus yang paling banyak ditemukan adalah sebagai pekerja migran atau asisten rumah tangga sebanyak 471 kasus. Kemudian, sebagai pekerja seks komersial (PSK) ada sebanyak 201 kasus dan eksploitasi anak 47 kasus. Modus lainnya adalah sebagai anak buah kapal (ABK) sebanyak 9 kasus.

Terkait dengan banyaknya kasus perdagangan orang dengan modus pekerja migran yang terjadi di Indonesia. Sebagian besar korban terjerat karena alasan ekonomi, tergiur iming-iming penghasilan besar.

Direktur Eksekutif ASEAN Studies Center Universitas Gadjah Mada Dafri Agussalim dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9: Deklarasi ASEAN Melindungi Pekerja Migran, Senin (15/5/2023), di Jakarta, menyebutkan bahwa banyaknya kasus tindak pidana perdagangan orang dengan modus pekerja migran tidak terjadi di ruang hampa. Penyebabnya adalah kesenjangan ekonomi yang mendorong orang susah mengakses pekerjaan. Orang lantas tergiur pekerjaan yang semata menawarkan gaji besar di luar negeri, meskipun mereka tidak tahu akan dipekerjakan sebagai. Hingga akhirnya kemudian terjebak dalam praktik perdagangan orang.

Merujuk pemberitaan Kompas (9/6/2023), Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Komisaris Besar Yani Sudarto memaparkan, setidaknya ada tiga modus yang dilakukan para pelaku TPPO kepada calon pekerja migran. Selain merekrut langsung, pelaku menggunakan media sosial hingga kedok perusahaan. Secara teknis, lanjut Yani, para pelaku memberangkatkan korban ke luar negeri tanpa prosedur. 

Para pelaku menggunakan bujuk rayu, menipu, hingga menjerat para korban dengan utang. ”Biasanya korban dikasih uang dulu. Kemudian, gaji yang mereka terima akan dipotong sesuai dengan utang yang ditetapkan,” ungkapnya.

Kondisi itu membuat korban, yang sebagian di antaranya di bawah umur, tidak berdaya. Mereka rawan tidak mendapat pekerjaan sesuai kesepakatan awal dan tidak digaji layak. Selain itu, mereka juga rawan mengalami eksploitasi dan kekerasan secara fisik dan seksual.

 

Sejumlah negara diketahui menjadi negara tujuan perdagangan orang dengan modus pekerja migran, di antaranya adalah Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, HongKong, Korea Selatan, Arab Saudi, Timur Tengah, dan beberapa negara Eropa.

Sementara, di sisi lain, Indonesia juga menjadi negara transit dan tujuan perdagangan orang  yang berasal dari China, Thailand, Hong Kong, Uzbekistan, Ukraina, dan beberapa negara lainnya, khususnya untuk tujuan eksploitasi seksual.

Kelompok Rentan

Secara umum, praktik perdagangan orang dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang gender dan usia. Namun, dari sejumlah data atau laporan terkait perdagangan orang, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban.

Merujuk kembali data KemenPPPA, dari 2.356 korban TPPO yang terlaporkan sepanjang tahun 2017 hingga Oktober 2022, persentase terbesar terjadi pada anak-anak sebesar 50,97 persen, perempuan sebesar 46,14 persen. Adapun laki-laki sebagai korban sebesar 2,89 persen.

Menurut Novianti dalam artikel berjudul “Tinjauan Yuridis Kejahatan Perdagangan Manusia (Human Trafficking) sebagai Kejahatan Lintas Batas Negara”, ketidakberdayaan dan kurangnya perlindungan terhadap perempuan dan anak menjadikan mereka objek dalam perdagangan orang.

Berdasarkan laporan investigasi Kompas, 9-10 Maret 2023, perdagangan anak dan perempuan banyak terjadi dalam bentuk pengiriman pekerja migran dan eksploitasi seksual. Kebanyakan korban berasal dari keluarga tak mampu. Adapun praktiknya banyak melibatkan orang dekat seperti pacar, teman, kerabat, dan tetangga.

Salah satu pelaku berinisial AL (17), lelaki asal Bogor, Jawa Barat, mengaku pernah menjual pacarnya yang berusia 17 tahun untuk melayani jasa prostitusi. AL menjadi joki atau mucikari sang pacar di salah satu apartemen di Kota Depok pada pertengahan 2022. Tarif yang dipasang AL untuk pacarnya Rp 300.000-Rp 800.000. 

Kondisi miris juga menimpa EH, yang menerima tawaran menjadi pekerja migran karena terjerat utang tetangganya yang juga menawarinya untuk bekerja ke Malaysia. Namun, EH justru terjebak sindikat perdagangan manusia sehingga dibawa dari Malaysia hingga ke Uni Emirat Arab, Sudan, Suriah, dan Irak. Selama berbulan-bulan berpindah negara dan majikan, EH tidak digaji dan malah mendapat perlakuan kekerasan seksual.

Organ Tubuh

Di antara berbagai bentuk kasus perdagangan orang, kasus perdagangan organ tubuh menjadi kasus yang kerap luput dari pengawasan karena operasinya yang dilakukan dengan sangat sembunyi-sembunyi.

Menurut laporan Transnational Crime and the Developing World yang dirilis Global Financial Integrity (GFI) pada 2017, setiap tahunnya ada sekitar 12 ribu organ tubuh manusia yang diperdagangkan secara ilegal di seluruh dunia. Nilai total transaksinya diperkirakan berkisar antara 840 juta hingga 1,7 miliar dollar AS per tahun.

Organ tubuh yang paling banyak diperdagangkan adalah ginjal, sekitar 7.995 organ per tahun. Kemudian, ada hati 2.615 organ, jantung 654 organ, paru 469 organ, dan pankreas 233 organ yang diperdagangkan setiap tahun.

Grafik:

 

Perdagangan organ ini melibatkan kelompok yang terorganisasi dan profesional, seperti dokter bedah, dokter anestesi, hingga oknum di institusi publik seperti rumah sakit, imigrasi dan kepolisian. Organ tubuh manusia yang dijual umumnya berasal dari negara yang mayoritas masyarakatnya berekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Sedangkan pembelinya sebagian besar merupakan individu berpendapatan tinggi yang berasal dari negara maju.

Kasus penjualan organ tubuh manusia juga marak terjadi di Indonesia. Modus operandi transplantasi organ biasanya berupa rayuan atau iming-iming nominal yang cukup tinggi padahal harga tersebut sangat tidak layak jika dibandingkan dengan nilai organ dan dampaknya terhadap pendonor.

Praktik perdagangan organ diketahui banyak beroperasi di internet, melalui media sosial dan dark web. Salah satu sistus perdagangan organ adalah organcity.com. Laman tersebut menampilkan berbagai pilihan organ dan harganya masing-masing. Misalnya jantung dijual dengan harga 100.000 dollar AS, ginjal 80.000 dollar AS, hati 60.000 dollar AS, dan paru-paru 50.000 dollar AS.

Di Facebook, praktik penjualan organ, khususnya ginjal, dipromosikan dengan kedok grup Donor Ginjal Luar Negeri dan Donor Ginjal Indonesia. Ginjal merupakan organ tubuh yang paling banyak diperdagangkan di Indonesia. Di laman itu ditawarkan, donor akan mendapat uang Rp 135 juta per ginjal. Anggota grup Facebook yang tertarik mendonorkan ginjal lantas diminta menghubungi sindikat melalui kontak pribadi.

Terbaru, pihak kepolisian telah berhasil mengungkap sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) internasional di Bekasi, Jawa Barat, yang menjual organ ginjal ke Kamboja. Praktik penjualan ginjal ke Kamboja ini telah berlangsung sejak 2019. Selama hampir lima tahun beroperasi, tidak kurang terdapat 112 korban yang telah menukar ginjalnya dengan uang tunai. Seluruh korban diterbangkan ke Kamboja dengan berkedok perjalanan wisata. 

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Polisi Hengky Haryadi mengungkapkan dari hasil penyidikan terungkap bahwa sebagian besar motif korban TPPO ginjal ini adalah motif ekonomi. Ia menjelaskan, profesi korban TPPO ginjal ini cukup beragam mulai dari pedagang, guru privat, bahkan ada seorang lulusan S2 yang berasal dari universitas terkemuka di tanah air. Semua korban ini, kata Hengky tidak memiliki pekerjaan karena terdampak pandemi Covid-19.

Sampai hari ini tim telah menangkap sebanyak 12 tersangka. Sembilan dari 12 tersangka ini merupakan sindikat dalam negeri yang berperan dalam merekrut, menampung, serta mengurus perjalanan korban. Satu tersangka lain merupakan sindikat jaringan luar negeri yang menghubungkan korban dengan sebuah rumah sakit di Kamboja. Sementara itu, dua tersangka lain di luar sindikat tersebut berasal dari oknum di instansi Polri dan imigrasi.

KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI 

Tersangka tindak pidana perdagangan orang dihadirkan dalam konferensi pers di Polda Jateng, Senin (12/6/2023). Sebanyak 33 orang tersangka TPPO berhasil diringkus selama sepekan. Korban dari perbuatan mereka mencapai ribuan orang.

Upaya Pencegahan dan Perlindungan

Merujuk kembali laporan Trafficking in Persons (TIPs) 2023 yang dirilis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menempatkan Indonesia di Tier 2. Sedikit lebih baik dibanding laporan serupa tahun lalu di mana Indonesia berada di Tier 2 Watchlist.

Dalam laporan itu Indonesia dinilai belum sepenuhnya memenuhi standar minimum untuk memberantas kejahatan perdagangan manusia, tetapi telah melakukan upaya yang signifikan untuk itu. Pemerintah Indonesia dinilai telah meningkatkan upaya untuk melakukan penyelidikan, penuntutan dan vonis hukuman atas dugaan kejahatan perdagangan orang.

Perhatian serius dalam upaya pemberantasan kejahatan perdagangan orang salah satunya dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan ini memuat aturan yang tegas terhadap para pelaku berupa pidana penjara dan pidana denda. Juga ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang.

Selain itu, pemerintah juga membentuk gugus tugas melalui Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, yang berujuan untuk mengkoordinasikan upaya-upaya anti-perdagangan orang di tingkat nasional, termasuk pencegahan perdagangan orang, perlindungan korban dan penuntutan tindak pidana.

Pada KTT ASEAN 2023, pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo selaku Ketua ASEAN 2023 juga mendorong untuk mengadopsi dokumen kerja sama penanggulangan perdagangan orang. Hal tersebut perlu dilakukan karena tindak pidana perdagangan orang sudah menjangkiti semua negara di kawasan Asia Tenggara.

Meski sudah ada kebijakan dan regulasi, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, perdagangan orang hingga kini masih belum berhasil diberantas dan masih menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintah. Hal tersebut terjadi karena adanya berbagai tantangan dan permasalahan dalam implementasinya.

Merujuk laporan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2018, ada sejumlah tantangan, baik dari sisi pencegahan dan penanganan maupun penegakan hukum, di antaranya adalah: minimnya anggaran pencegahan dan penanganan TPPO; kurangnya pengetahuan publik terkait TPPO; koordinasi antara pusat dan daerah serta antar kementerian/lembaga belum optimal; data TPPO antar lembaga penegak hukum belum terintegrasi; dan penegakan hukum yang tidak maksimal, terutama terkait dengan kesulitan menjangkau jaringan/koneksi di luar negeri.

Oleh karena itu, peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia 2023 ini seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih serius memerangi perdagangan orang. Pemerintah harus melakukan evaluasi kinerja terkait pemberantasan TPPO dan melakukan pembaharuan maupun penguatan regulasi, sebab dengan perkembangan teknologi informasi dan modus perdangan manusia semakin canggih, serta melibatkan jaringan pelaku, baik di dalam maupun luar negeri.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa mengabaikan akar permasalahan kasus TPPO, yakni kemiskinan. Jika menilik para korban, umumnya mereka berasal dari kelompok miskin. Sebagian besar korban terjerat karena alasan ekonomi. Dengan demikian, pemerintah juga perlu untuk mengatasi kemiskinan dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan kesejahteraan. Mencegah terulangnya korban TPPO setelah dipulangkan ke daerah asal, karena sekembalinya korban tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Jurnal
  • 2009. “Lintasan Sejarah Perdagangan Perempuan di Indonesia”. Jurnal Sejarah Lontar6(1), pp.32-39.
  • I Wayan Pardi. 2018. “Perdagangan Budak di Pulau Bali Pada Abad Ke XVII-XIX”. Jurnal Masyarakat dan Budaya20(1), pp.61-74.
  • 2014. “Tinjauan Yuridis Kejahatan Perdagangan Manusia (Human Traffikking) Sebagai Kejahatan Lintas Batas Negara”. Jurnal Ilmu Hukum Jambi5(2), p.43296.
Laporan
Aturan Terkait
  • UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
  • Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO
Arsip Kompas
  • “Mencari Akar Perdagangan Manusia”, Kompas, 29 Juli 2019.
  • “Pengetahuan Publik dan Media tentang TPPO Masih Minim”, Kompas, 8 Februari 2021.
  • “Dipicu Kemiskinan, Perdagangan Orang Meningkat Selama Pandemi”, Kompas, 9 Februari 2021.
  • “Pemblokiran Situs Perdagangan Organ Tubuh Masih Mudah Ditembus”, Kompas, 14 Januari 2023.
  • “Anak-Anak Perempuan Dijual dan Dilacurkan”, Kompas, 7 Maret 2023.
  • “Praktik Perdagangan Anak Melibatkan Orang Dekat”, Kompas, 8 Maret 2023.
  • “Mahfud MD: ASEAN akan Buat Komitmen Bersama Berantas Perdagangan Orang”, Kompas, 9 Mei 2023.
  • “Penempatan Ilegal Berkembang Seperti Bisnis”, Kompas, 15 Mei 2023.
  • “Keseriusan Pemerintah Memaksimalkan Penegakan Hukum TPPO Dinanti”, Kompas, 4 Juni 2023.
  • “Gunakan Jalur Ilegal, Sebagian Pekerja Migran Jabar Rawan Menjadi Korban Perdagangan Manusia”, Kompas, 9 Juni 2023.
  • “Mengakhiri Perdagangan Orang”, Kompas, 14 Juni 2023.
  • “Mengurai Akar Persoalan dari Penjualan Ginjal”, Kompas, 23 Juli 2023.
  • “Oknum Polisi dan Imigrasi Terlibat Sindikat Jual-Beli Ginjal Internasional”, Kompas, 20 Juli 2023.
Internet
  • “Rapat Koordinasi Tingkat Menteri GT TPPO Bahas Urgensi Pencegahan dan Penangan Tindak Pidana Perdagangan Orang”, diakses dari kemenpppa.go.id
  • “Modus TPPO Semakin Beragam, KemenPPPA Kuatkan Sinergi Pencegahan dan Penanganan”, diakses dari kemenpppa.go.id
  • “Polri Tangkap 793 Tersangka TPPO Periode 5 Juni – 16 Juli 2023”, diakses dari kompas.com
  • “The History of Human Trafficking”, diakses dari theexodusroad.com