Paparan Topik | Politik dan Demokrasi

Eksil, Mereka yang Kehilangan Tanah Airnya

Mereka bukanlah diaspora yang mendapatkan kemewahan dari paspor yang dimiliki. Namun, mereka adalah orang-orang yang kehilangan kewarganegaraannya karena peristiwa politik 1965. Selama bertahun-tahun haknya atas sebuah tanah air telah dirampas.

IPPHOS

Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno memberikan amanat umum peringatan Hari Trikora di depan seluruh mahasiswa.

Fakta Singkat

  • Pada tahun 1950-an sampai 1960-an Presiden Soekarno mengirimkan mahasiswa Indonesia ke luar negeri untuk menyiapkan sumber daya manusia yang unggul di semua lini untuk mengolah sumber daya alam dan potensi-potensi Indonesia.
  • Peristiwa 1965 membuat pemerintah Orde Baru melakukan aksi pembersihan termasuk para mahasiswa yang di luar negeri agar tidak terpengaruh oleh ideologi komunisme.
  • Banyak dari para mahasiswa yang di luar negeri tidak mau mengakui pemerintahan Orde Baru karena dianggap melakukan kudeta dan ingin membalas jasa Presiden Soekarno.
  • Para mahasiswa yang tidak mengakui Presiden Soeharto menolak kembali ke Indonesia dan oleh pemerintah dicabut kewarganegaraannya, mereka inilah yang kemudian disebut kaum eksil.
  • Para eksil selama bertahun-tahun berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran, sambil mencari suaka politik.

Artikel terkait

Peristiwa September 1965 tidak hanya mengubah perpolitikan Indonesia saja, namun juga status kewarganegaraan sekelompok mahasiswa di luar negeri. Padahal mereka dikirim oleh Presiden Soekarno untuk mengenyam pendidikan supaya nanti kembali dapat mengelola kekayaan sumber daya alam di Indonesia demi mewujudkan ekonomi berdirikari.

Namun, dalam sekejap mereka yang dianggap tidak loyal kepada Indonesia dan dituduh mendukung PKI. Padahal mereka memiliki keyakinan untuk patuh terhadap pemerintahan Soekarno. Mereka memiliki pemikiran untuk membalas jasa Presiden Soekarno yang mengirimnya bukan kepada pemerintahan yang baru.

Para mahasiswa yang menolak pulang kemudian harus kehilangan kewarganegaraan sekaligus tanah airnya. Mereka diharuskan untuk berpindah dari satu negara ke negara lainnya demi mencari suaka. Mereka inilah yang disebut sebagai para eksil.

Cita-cita Soekarno

Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka mulai memikirkan untuk menjadi negara yang mandiri secara ekonomi, politik, dan infrastruktur. Oleh karena itulah terdapat dua cara untuk menempuh tujuan tersebut. Pertama, pengembangan sumber daya manusia untuk menjadi generasi yang mampu memajukan potensi-potensi negara. Kedua, menjalin hubungan diplomatis dengan negara-negara lain baik itu yang sudah maju, tetangga, maupun berkembang.

Pemikiran inilah yang melandasari Presiden Soekarno menciptakan analogi tentang ekonomi berdikari. Potensi sumber daya alam di Indonesia cukup besar hal ini terlihat ketika bangsa-bangsa barat melalukan kolonisasi Indonesia. Namun, menurut Presiden Soekarno potensi sumber daya alam yang besar ini berbanding terbalik dengan sumber daya manusia Indonesia. Pada saat itu negara masih sibuk untuk mempertahankan kemerdekaan sehingga belum berpikir untuk membangun negara.

Presiden Soekarno mulai merancang apa saja yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai ekonomi yang berdikari. Mulai dari tahun 1949 Kabinet Hatta II sampai Kabinet Djuanda menyusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1959. Tujuannya adalah sebagai cetak biru mengenai apa dan bagaimana meraih cita-cita bangsa. Dari sini jugalah kebutuhan Indonesia terlihat yaitu menyiapkan sumber daya manusia unggul di semua lini untuk mengolah sumber daya alam dan potensi-potensi Indonesia.

Untuk mencapai cita-cita ini Presiden Soekarno mulai bergerak menjalin relasi dengan negara-negara untuk mengirimkan putra-putri Indonesia menempuh pendidikan di sana. Namun, saat itu situasinya adalah Perang Dingin, di mana dunia terbagi dalam dua kekuatan besar yaitu Amerika Serikat yang berideologi kapitalis barat dan Uni Soviet yang berideologi komunis. Keadaan ini menyulitkan posisi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Apabila Indonesia tidak memilih salah satu kubu akan kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara lain.

Presiden Soekarno cerdik dengan tidak memilih salah satu blok, melainkan memainkan posisi di antara keduanya untuk tujuan pragmatis. Tujuannya adalah demi mendapatkan bantuan asing untuk kepentingan Indonesia. Politik ini juga dikenal dengan “Bebas Aktif”. Namun, posisi ini justru membuat posisi Indonesia diperebutkan oleh masing-masing kubu karena melihat potensi Indonesia yang cukup besar.

Wahyudi Akmaliah dalam tulisannya yang berjudul Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan Kemunculan Eksil Indonesia, memperlihatkan bahwa Presiden Soekarno selama tahun 1950-an membuka hubungan diplomasi ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, China, Jepang, dan lain-lain. Hasilnya, Indonesia berhasil mengirim putra-putrinya untuk belajar di negara-negara tersebut.

Misalnya, pada kunjungan Presiden Soekarno ke Uni Soviet tahun 1956 menghasilkan pengiriman tujuh mahasiswa pertama ke Moskwa. Bahkan kunjungan balasan oleh Nikita S. Khrushchev, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet membuka kesempatan beasiswa kepada seluruh mahasiswa Indonesia pada Februari-Maret 1960. Program ini disambut hangat dengan dikirimkannya 2000 pelajar Indonesia ke Uni Soviet.

Tidak hanya itu saja. Hubungan diplomatik antara Presiden Soekarno dengan Amerika Serikat juga menghasilkan perjanjian pertukaran pelajar dan kunjungan kebudayaan. Amerika Serikat juga membuka beasiswa kepada seluruh mahasiswa Indonesia melalui Ford Foundation kepada mahasiswa jurusan ekonomi. Kebanyakan yang dikirim adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk belajar di Universitas Berkeley.

Pendekatan diplomatik dengan blok komunis tidak hanya dengan Uni Soviet saja. Pemerintah China yang dipimpin oleh Mao Zedong juga ikut membuka jalur beasiswa. Namun, tidak hanya kesempatan belajar ke negeri China saja, pemerintah China juga meminta mereka untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Meskipun jumlahnya tidak banyak, ada beberapa orang yang dikirim untuk belajar ke negara-negara sosialis Eropa Timur, Asia, dan Timur Tengah, seperti Albania, Hungaria, Rumania, Cekoslovakia, Vietnam, Korea Utara, dan Mesir.

Meskipun banyak mahasiswa Indonesia yang dikirim belajar ke luar negeri, namun negara tetap menyeleksi secara ketat. Tidak hanya kepandaian saja yang menjadi tolak ukur mereka yang dikirim, namun juga harus memiliki sikap dan pemikiran yang Pancasilais. Dalam harian Kompas tanggal 16 Juli 1965 disebutkan bahwa mahasiswa yang belum cukup pengetahuannya tentang bangsa, negara, dan revolusi harus dicegah. Mereka dikirim demi mengemban tugas kembali ke tanah air sehingga dapat menyumbangkan tenaganya kepada kemajuan negara.

IPPHOS

Berdasar Tap MPRS No XIII/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku Pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk pembentukan Kabinet Ampera. Letjen Soeharto menjadi Ketua Presidium kabinet tersebut. Bung Karno sedang mengumumkan susunan kabinet tersebut (25/7/1966).

Peristiwa 1965

Pada 30 September 1965 terjadi peristiwa yang mengubah jalannya perpolitikan di Indonesia. Terbunuhnya enam jenderal dan satu perwira membuat Partai Komunis Indonesia menjadi tertuduh sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Sejak saat itu militer berusaha untuk menghabisi seluruh simpatisan PKI dan mengganti pemerintahan Presiden Soekarno dengan Presiden Soeharto.

Pembersihan orang-orang yang dianggap berideologi komunis ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Mahasiswa yang mengenyam pendidikan di negara-negara blok komunis pun ikut menjadi objek pembersihan. Apalagi sejak tahun 1960-an, Presiden Soekarno lebih banyak mengirimkan mahasiswa Indonesia ke negara-negara Eropa Timur dan China.

Seperti diberitakan di dalam harian Kompas tanggal 29 Oktober 1965, di mana mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri harus segera membersihkan diri dari oknum-oknum “gestapu”, seperti mahasiswa di dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk menggalang persatuan di antara civitas akademika demi mengamankan Pancasila serta segenap ajaran Bung Karno.

Sebelumnya perwakilan pemerintah di luar negeri telah mendata terlebih dahulu para mahasiswa yang belajar di luar negeri. Mereka kemudian diminta untuk menandatangani bukti keloyalan mereka terhadap Indonesia dengan mendukung pemerintahan yang baru. Banyak dari mereka yang sebenarnya tidak mengetahui duduk permasalahan di Indonesia sehingga mereka diperlakukan seperti itu. Maka ada beberapa mahasiswa yang setuju untuk tanda tangan, namun ada juga yang menolaknya.

Pembersihan mahasiswa luar negeri dari ideologi komunis juga dilakukan oleh sesama mahasiswa. Dalam Kompas tanggal 16 Juli 1966 disebutkan bahwa mahasiswa Indonesia yang Pancasilais sempat mendapatkan kesulitan dalam aksi pembersihan. Seperti yang diberitakan bahwa KBRI di Uni Soviet tidak membantu dalam aksi pembersihan malah justru melindungi para mahasiswa. Akhirnya mahasiswa yang pro pemerintahan baru berusaha untuk membersihkan KBRI dahulu sebelum membersihkan mahasiswa yang dituduh pro PKI.

Bagi para mahasiswa yang dituduh ikut ambil bagian dalam peristiwa 1965 tidak terima dengan aksi pembersihan tersebut. Menurut Wahyudi Akmaliah, mahasiswa di luar negeri yang menolak aksi membuat gerakan tandingan untuk mengecam keras kebijakan pencabutan paspor tersebut. Mereka membangun gerakan dengan nama Gerakan Mahasiswa Revolusioner (GEMAREV) dan Gerakan Pembela Ajaran Sukarno (GPAS).

Aksi ini sempat memanas ketika pemerintahan Uni Soviet di Moskow ikut campur tangan dalam aksi. Mereka juga ikut melindungi KBRI dan mahasiswa pro Soekarno. Beberapa mahasiswa yang melancarkan aksi akhirnya di-persona non grata-kan oleh pemerintah Uni Soviet dan dicap sebagai “pengacau”. Mereka akhirnya diusir dari Moskow.

Waperdam Sospol/Menlu Adam Malik menerangkan bahwa, Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan instruksi untuk mencabut paspor para mahasiswa dan orang Indonesia di luar negeri yang tidak loyal terhadap pemerintahan baru. Adam Malik juga bekerja sama dengan kedutaan setempat agar mengurus para mahasiswa yang ingin kembali ke tanah air.

Di negara-negara Eropa Timur, China, dan Uni Soviet yang berideologi komunis menjadi pusat perhatian dari pembersihan ini. Apalagi negara-negara blok komunis dituduh juga ikut andil dalam peristiwa September 1965. Mereka dianggap berlindung di negara-negara tersebut sehingga tidak ingin kembali ke Indonesia. Kementerian Luar Negeri sempat memaksa mereka untuk kembali, apabila tidak diperhatikan maka status kewarganegaraannya akan dicabut.

Status kewarganegaraan mahasiswa di luar negeri yang tidak mau pulang terus dipermasalahkan oleh Menlu Adam Malik. Seperti diberitakan oleh Kompas, dalam kunjungannya ke Tokyo pada 12 Oktober 1966, Adam Malik menyatakan bahwa pemerintahan yang baru sedang merencanakan undang-undang yang dapat membatalkan kewarganegaraan seseorang yang tidak mau pulang sesudah dipanggil dan ingin hidup di negara lain.

Padahal mahasiswa di luar negeri yang tidak mau pulang lebih disebabkan karena mereka patuh terhadap pemerintahan Soekarno. Alasannya karena mereka dikirim ke luar negeri atas jasa Presiden Soekarno bukan pemerintahan yang baru. Sikap politik inilah yang harus dibayar mahal dengan kehilangan paspor mereka yang berarti tercabutnya identitas mereka sebagai warga negara. Otomatis mereka juga kehilangan hak-hak mereka untuk bisa kembali ke Indonesia. Alhasil mereka harus mencari suaka di negara lain. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai eksil.

KOMPAS/JB SURATNO

Menlu Adam Malik di tempat kediamannya kemarin menerima delegasi Pemuda UMNO (United Malay National Organization) (17/11/1976). Dalam kunjungan tersebut pemuda-pemuda Malaysia itu dengan penuh minat mendiskusikan pembersihan antek-antek komunis dalam pemerintahan dan partai. Kebebasan menyatakan pendapat bagi para mahasiswa banyak ditanyakan kepada Menlu Adam Malik.

Hidup di Pengasingan

Amin Mudzakkir dalam tulisannya yang berjudul Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita, menyebutkan bahwa secara bahasa arti kata dari “Eksil” adalah pengasingan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, eksil adalah orang-orang yang karena alasan tertentu terasing dari tanah airnya. Begitupun dengan para mahasiswa Indonesia di luar negeri yang menolak untuk pulang sesaat setelah peristiwa 1965 disebut juga eksil atau orang tanpa kewarganegaraan (stateless).

Martin Aleida dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Tanah Air yang Hilang, juga mengungkapkan bahwa mereka bukan diaspora yang menerima paspor dengan kemegahan, melainkan orang-orang yang haknya atas sebuah tanah air telah dirampas. Mereka ini berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang bertahta berdasawarsa lamanya.

Bagi Abdurrahman Wahid atau Gus Dur para eksil ini digambarkan sebagai orang-orang “klayaban” yang mengembara di berbagai negara Eropa Barat. Tercatat beberapa dari mereka yang tidak bisa kembali ke Indonesia telah menetap di beberapa kota di Eropa seperti Amsterdam, Den Haag, Berlin, Koeln, Praha, Sofia, dan Paris. Ada dari mereka yang mendapatkan suaka tinggal, diakui sebagai warga negara di mana mereka tinggal, atau ada juga yang tanpa kewarganegaraan (stateless).

Pada tahun-tahun pertama sebagai eksil, banyak dari mereka yang mengalami depresi dan kondisi yang memprihatinkan. Mereka tidak lagi memiliki uang karena beasiswa yang terputus dari pemerintah Indonesia maupun lembaga donor yang memberikan beasiswa. Belum lagi mereka harus mencari suaka dari satu negara ke negara lain bukanlah pekerjaan yang mudah.

Berpuluh tahun menanti tanpa kepastian, mereka mau tidak mau memutuskan menjadi warga negara di tempat yang mereka tinggali saat itu. Keputusan yang tak mudah karena mereka masih begitu mencintai Indonesia dan masih ingin menjadi warga negara Indonesia. Bagi mereka, status sebagai warga negara asing hanya selembar kertas untuk keperluan administrasi, hati mereka tetap Indonesia.

Banyak dari para eksil yang awalnya dikirim ke Uni Soviet, China, maupun negara-negara blok komunis pergi meninggalkan negara-negara tersebut. Apalagi menjelang tahun 1990-an ketika Uni Soviet mulai runtuh dan diikuti oleh negara-negara blok komunis lainnya membuat para eksil menuju ke Eropa Barat. Kebanyakan tujuan mereka adalah ke Belanda. Pilihan untuk tinggal di Belanda menimbulkan perasaan ironis sebagian dari mereka.

Mereka yang sedang mencari suaka di Belanda adalah generasi di mana mereka masih merasakan pahitnya kolonialisme Belanda di Indonesia. Di tahun 1960-an sentimen anti-Belanda cukup kuat saat itu ketika Presiden Soekarno menyerukan untuk pembebasan Irian Barat. Namun, di sisi lain pada saat itu Belanda adalah negara yang mampu memberikan kesejahteraan bagi para eksil. Ini juga ditambah dengan keberadaan beberapa kelompok asal Indonesia yang lebih dulu tinggal di Belanda.

Ketika di Belanda mereka dibantu oleh para pengacara, kelompok aktivis hak asasi manusia, atau gereja yang membantu mengadvokasi proses pengajuan suaka. Beruntungnya ada beberapa orang Belanda dengan jaringannya yang luas meminta kepada pemerintah Belanda untuk menerima kaum eksil melalui jalur suaka politik. Alasan yang dipakai para kaum eksil ini adalah mereka terhalang untuk pulang ke Indonesia karena suatu praktik politik tertentu sehingga atas dasar kemanusiaan suaka mereka dapat diterbitkan.

Meskipun jauh dari tanah air dan telah mendapatkan suaka politik, namun beberapa kaum eksil masih berkeinginan untuk kembali ke Indonesia. Pada pertengahan tahun 1980-an ada kaum eksil yang berusaha untuk menyusup ke Indonesia. Dalam Kompas 23 Juli 1985, Jaksa Agung Hari Suharto SH menegaskan ada beberapa orang yang dahulunya menolak kembali ke Indonesia setelah peristiwa 1965 mencoba untuk kembali ke tanah air. Para eksil ini berasal dari Bulgaria, Uni Soviet, dan Jerman Timur.

Isu ini kemudian ditanggapi oleh Presiden Soeharto. Apabila mereka ingin kembali ke Indonesia, maka harus melalui ketentuan-ketentuan umum tentang mereka yang menjadi kader PKI. Menko Polkam Sudomo juga menyatakan bahwa untuk bisa kembali ke Indonesia mereka harus memenuhi sebuah peraturan yang menyebutkan, bila seorang warga negara RI tidak melapor selama lima tahun pada KBRI bersangkutan akan kehilangan kewarganegaraannya.

Ditambahkan, orang-orang ini bisa saja kembali ke Indonesia, tapi akan diperiksa seberapa jauh keterlibatan mereka dalam peristiwa 1965. Setelah hasil pemeriksaan akan diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang masalah itu. Hal inilah yang kemudian memberatkan mereka untuk kembali ke Indonesia.

Selama di pengasingan, para eksil jarang berhubungan atau ada juga yang secara sengaja memutus hubungannya dengan keluarga mereka di Indonesia. Mereka beralasan untuk melindungi keluarga mereka di Indonesia. Oleh karena itulah para eksil terus melanjutkan kehidupannya. Ada beberapa dari mereka yang kemudian bekerja bagi instansi pemerintah setempat atau perusahaan swasta. Bahkan ada yang kemudian menikah dengan orang setempat dan memiliki anak.

Ada juga beberapa kaum eksil yang merindukan Indonesia justru mengembangkan kebudayaan Indonesia di luar negeri. Arief Budiman dalam tulisannya di Kompas 16 November 1983 menuliskan kisahnya ketika berkunjung ke restoran Indonesia di Paris, Prancis. Restoran ini didirikan oleh beberapa kaum eksil yang tidak bisa kembali ke Indonesia namun rindu akan tanah airnya. Tidak hanya sebagai tempat makan, restoran ini menjadi kancah kegiatan kebudayaan untuk memperkenalkan Indonesia.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (tengah) didampingi Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono memberikan keterangan kepada wartawan terkait hasil pertemuan dengan Presiden membahas tindak lanjut rekomendasi Tim Penyelesaian Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu secara Non-Yudisial (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/1/2023).

Pengakuan Negara

Selama 32 tahun Presiden Soeharto memimpin Indonesia, belum ada satu pun eksil yang berani untuk pulang. Meskipun pemerintah membuka pintu, namun mereka yang pulang diharuskan melalui pemeriksaan apakah mereka terlibat dalam peristiwa 1965 atau tidak. Keadaan ini justru menyurutkan niatan para eksil untuk kembali ke tanah air.

Baru setelah Orde Baru tumbang dan Indonesia dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid, keberadaan para eksil di luar negeri mulai diperhatikan. Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah membuka pintu seluas-luasnya kepada para eksil. Ratusan warga negara Indonesia yang bermukim di Eropa dan terhalang pulang, karena persoalan politik sejak tahun 1965 akan diberikan kemudahan. Jika mereka ingin kembali menjadi WNI, tak perlu lagi menempuh prosedur seperti proses naturalisasi warga asing lain.

Pada saat itu Presiden Aburrahman Wahid menyatakan ingin mengadakan rekonsiliasi nasional peristiwa 1965. Bahkan bagi Gus Dur para eksil yang berkeliaran di luar negeri justru tidak tahu-menahu tentang peristiwa 1965 karena mereka dikirim kebanyakan untuk belajar sehingga dapat kembali ke Indonesia untuk membangun negeri. Sebab, bagi Gus Dur, tindakan diskriminasi itu melanggar konstitusi mengingat semua orang punya hak yang sama sebagai warga negara.

Pengakuan negara oleh Presiden Aburrahman Wahid ini ternyata membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Sikap Gus Dur yang meminta maaf atas terjadinya peristiwa 1965 dan ingin menyelesaikan kasus tersebut dihalangi oleh beberapa oknum. Mereka beralasan apabila negara mengakui peristiwa 1965 akan terjadi kebangkitan komunisme di Indonesia. Gus Dur pun akhirnya lengser di tahun 2001 dan rencana untuk mengembalikan para eksil pun sirna.

Meskipun rencana Gus Dur belum terealisasi, namun runtuhnya pemerintahan Orde Baru dimanfaatkan oleh sebagian para eksil untuk kembali ke Indonesia. Mereka ingin menengok keluarganya yang ditinggal lebih dari tiga dekade. Tetapi mereka merasa aneh karena ketika kembali ke tanah air mereka bukan lagi menjadi warga negara Indonesia, mereka justru mengantongi paspor negara asing. Mereka masih kesulitan untuk kembali menjadi warga negara Indonesia.

Baru pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, isu tentang pelanggaran HAM muncul kembali. Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa 1965. Pemerintah berjanji memberi kemudahan bagi para eksil korban peristiwa 1965 untuk kembali ke Tanah Air. Kemudahan itu wujud komitmen pemerintah melaksanakan rekomendasi Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).

Sesuai Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, para eksil itu bisa mengajukan visa atau izin tinggal ke konsulat jenderal di luar negeri. Pemerintah akan menerbitkan izin tinggal lima tahun atau visa untuk melakukan kunjungan berkali-kali bagi para korban tahun 1965 secara gratis.

Namun, Yasonna mengungkapkan, bahwa para eksil tidak bisa mengajukan dwikewarganegaraan. Ketentuan dwikewarganegaraan tidak bisa diberikan oleh pemerintah semata. Kebijakan tersebut harus dilakukan dengan mendasarkan pada undang-undang dan hingga saat ini UU Kewarganegaraan RI tidak mengenal hal tersebut.

Pengakuan negara dan kemudahan kaum eksil untuk kembali ke Indonesia membuat mereka agak lega. Walaupun untuk kembali menjadi warga negara Indonesia tidak mudah, namun bisa mengunjungi kembali tanah airnya merupakan sebuah impian mereka lebih dari setengah abad yang lalu. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • Mahasiswa Jang Dikirim Ke Luar Negeri Harus Pantjasilais. KOMPAS, 16 Juli 1965 hal. 2.
  • Mahasiswa Kita Di LN Harus Dibersihkan. KOMPAS, 29 Oktober 1965 hal. 1.
  • Akan ditjabut paspornja. KOMPAS, 16 Juni 1966 hal. 1.
  • Antek Gestapu Keliaran Bebas di LN. KOMPAS, 15 Juli 1966 hal. 2.
  • Sebabnja Diusir Dari Moscow. KOMPAS, 16 Juli 1966 hal. 2.
  • Sepertiga Dari Mahasiswa Ind. Di Peking Tetap Setia R.I. KOMPAS, 21 Juli 1966 hal. 1.
  • UU Untuk Batalkan Kewarganegaraan. KOMPAS, 13 Oktober 1966 hal. 1.
  • Restoran Indonesia di Paris dan politik. KOMPAS, 16 November 1983 hal. 4.
  • Pelarian PKI berusaha menyusup ke Indonesia. KOMPAS, 23 Juli 1985 hal. 1.
  • Semakin Banyak: Kader PKI Ingin Pulang ke Indonesia. KOMPAS, 19 Maret 1991 hal. 1.
  • WNI yang Terhalang Pulang akan Diberikan Kemudahan. KOMPAS, 7 Januari 2000 hal. 15.
  • Para Eksil Dipermudah Kembali ke Tanah Air. KOMPAS, 28 Agustus 2023 hal. 15.
  • Eksil: Mereka yang Dipaksa Terasing. KOMPAS, 1 Oktober 2023 hal. C.
  • Eksil, Mereka yang Terhalang Pulang dan Terpinggirkan di Negeri Sendiri. KOMPAS, 4 Oktober 2023 hal. 3.
Buku
  • Aleida, Martin. 2017. Tanah Air yang Hilang: Wawancara dengan Orang-orang “Klayaban” di Eropa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • H. Ramadhan, dkk. 1999. Rantau dan Renungan: Budayawan Indonesia Tentang Pengalamannya di Prancis. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Sedjati, Waloejo. 2013. Bumi Tuhan: Orang Buangan di Pyongyang, Moskwa, dan Paris (1960-2013). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Jurnal
  • Akmaliah, Wahyudi. “Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan Kemunculan Eksil Indonesia”, dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 1 Tahun 2015.
  • Mudzakkir, Amin. “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita”, dalam Makalah Seminar PSDR-LIPI, 2013, Jakarta.
  • ——. “Hidup di Pengasingan: Eksil Indonesia di Belanda”, dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015.