Paparan Topik

Aksi Kamisan: Sejarah dan Perjuangan Melawan Lupa

Setiap Kamis sore beberapa orang dengan mengenakan baju hitam dan berpayung hitam berdiri di depan Istana Merdeka. Mereka sudah di sana sejak tahun 2007 hingga sekarang. Tuntutan mereka tetap sama yakni mencari keadilan dan keluarganya yang hilang sejak Orde Baru.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sukarelawan mengikuti aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Maria Catarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, yang tewas saat Tragedi Semanggi I, jadi salah satu penggagas acara. Ia menyerahkan buku 12 tahun aksi itu kepada Presiden Joko Widodo.

Fakta Singkat

  • Aksi Kamisan dimulai sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang.
  • Inisiator Aksi Kamisan adalah tiga orang yang tergabung dalam presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yakni Maria Katarina Sumarsih, Suciwati Munir, dan Bedjo Untung.
  • Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menemui peserta Aksi Kamisan pada 26 Maret 2008 dengan didampingi oleh Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Usman Hamid.
  • Presiden Joko Widodo menemui peserta Aksi Kamisan pada 31 Mei 2018 di Istana Merdeka tepat pada peringatan dua dekade Reformasi.
  • Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo atas nama negara mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat.
  • Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres No 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat dan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
  • Pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara non-yudisial karena belum cukupnya bukti untuk membawanya ke pengadilan HAM Ad Hoc.
  • Peserta Aksi Kamisan dan korban pelanggaran HAM berat masih menuntut pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan cara yudisial.

Artikel terkait

Pelanggaran hak asasi manusia yang dimulai sejak bergantinya Orde Lama ke Orde Baru menjadi pemantik sebuah aksi untuk mengungkap kebenaran. Mulai dari peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, penghilangan paksa 1997-1998, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi I (13 November 1998), tragedi Semanggi II (24 September 1999), tragedi Trisakti (12 Mei 1998), kasus pembunuhan Munir (7 September 2004), dan masih banyak tragedi lainnya adalah contoh pelanggaran hak asasi manusia yang belum jelas penyelesaiannya.

Oleh karena itulah beberapa kelompok korban, orangtua korban, dan aktivis menuntut pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Harapannya mereka dapat mengetahui gambaran peristiwa, menemukan korban yang hilang, hingga siapa yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut.

Namun, aksi penuntutan tersebut tidak dilakukan dengan cara yang ekstrem melainkan dengan aksi diam di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis sore. Aksi yang dilakukan secara damai ini dimulai sejak 18 Januari 2007 dan masih bergulir hingga sekarang.

Aksi ini sebenarnya terinspirasi oleh gerakan ibu-ibu korban penghilangan paksa di Argentina pada tahun 1976-1983. Mereka melakukan demonstrasi dengan membentangkan kain bertuliskan nama-nama keluarga mereka yang hilang di Plaza de Mayo berhadapan dengan Casa Rosada, Istana Presiden, di kota Buenos Aires, Argentina.

Sikap represif militer Argentina tidak menyurutkan semangat para ibu yang berdiri di Plaza de Mayo. Bahkan semangat dari para ibu yang berasal dari kalangan bawah ini justru mendapatkan simpati dari publik. Hingga pada akhirnya aksi ini diikuti oleh berbagai kalangan tanpa melihat latar belakang pendidikan, status, agama, afiliasi politik, dan lain sebagainya.

Aksi ini kemudian membuahkan hasil dengan dibentuknya Komisi Nasional Penghilangan Paksa (Commision Nacional para la Desaparacion de Personas). Komisi ini pada tahun 1984 mengeluarkan laporan pengungkapan orang hilang selama rezim militer berkuasa di Argentina yang berjudul Nunca Mas (Jangan Terulang Lagi).

Melihat kegigihan aksi di Argentina hingga diungkapkannya kebenaran akan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu memberikan kekuatan dan motivasi bagi penyintas di Indonesia. Para penyintas di Indonesia ingin meniru aksi serupa di Argentina dan tentu saja mereka hingga sekarang masih menunggu keseriusan pemerintah dalam menegakkan hak asasi manusia dan menyembuhkan luka sejarah. Aksi diam ini kemudian dikenal dengan nama Aksi Kamisan karena selalu diadakan di setiap hari Kamis.

Foto Pertama: Ibu korban Tragedi Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih, mengikuti aksi Kamisan ke-574 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (14/2/2019). KOMPAS/WAWAN H PRABOWO. Foto Kedua: Suciwati, istri almarhum Munir, membacakan refleksi dalam Aksi Kamisan ke-600 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (5/9/2019). KOMPAS/RADITYA HELABUMI. Foto Ketiga: Korban peristiwa 1965, Bedjo Untung, bersama Koordinator Kontras Haris Azhar menyampaikan perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965 di kantor Kontras, Jakarta, Selasa (23/7/2013). KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Awal Mula

Aksi Kamisan mulanya muncul dari kegelisahan para orangtua korban dan penyintas yang mengalami keputusasaan atas tragedi yang menimpa keluarganya ataupun dirinya sendiri. Walaupun masa Orde Baru telah berganti dengan masa Reformasi, namun rencana untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM belum mencapai hasil yang maksimal. Apalagi sejak lengsernya pemerintahan Soeharto, ternyata pembiaran terhadap kasus pelanggaran HAM masih kerap terjadi dan sulit untuk diselesaikan.

Situasi inilah yang kemudian membuat beberapa korban pelanggaran HAM mulai bergerak. Setidaknya ada tiga kelompok yang tergabung dalam presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menjadi inisiator diadakan aksi damai menuntut pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Mereka adalah Maria Katarina Sumarsih, Suciwati Munir, dan Bedjo Untung.

Maria Katarina Sumarsih adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan, salah satu mahasiswa yang tewas tertembak peluru tajam dalam tragedi Semanggi I. Suciwati Munir adalah istri dari mendiang pegiat HAM Munir Said Thalib yang meninggal karena diracun di pesawat dalam perjalanan menuju Belanda. Sedangkan, Bedjo Untung adalah perwakilan dari keluarga korban peristiwa 1965-1966 yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan tanpa prosedur hukum.

Ketiga tokoh tersebut kemudian berinisiatif untuk melakukan pertemuan dengan menggandeng Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang sejak dahulu juga fokus dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM. Mereka menyepakati untuk mengadakan Aksi Diam untuk memperjuangkan pengungkapan fakta kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa akan sejarah.

Maka dipilihlah hari Kamis tanggal 18 Januari 2007 pukul 16.00-17.00 sebagai tonggak awal dimulainya Aksi Diam tersebut. Aksi ini dilaksanakan di Taman Apsari persis di depan Istana Merdeka Jalan Merdeka Utara Jakarta Pusat. Lokasi ini dipilih karena letaknya yang berhadapan langsung dengan simbol pemerintahan yakni Istana Merdeka. Harapannya mereka dapat langsung menemui presiden untuk menyampaikan keluh kesahnya sebagai korban pelanggaran HAM.

Aksi Diam ini kemudian dikenal sebagai Aksi Kamisan karena selalu diadakan setiap hari Kamis hingga saat ini. Bahkan gerakan ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja. Solidaritas dari berbagai daerah kemudian muncul sehingga menggerakkan aktivis dan penyintas di daerah-daerah untuk melakukan Aksi Kamisan ini. Tidak hanya korban masa lalu saja yang bergerak namun Aksi Kamisan juga mendapatkan simpati dari kalangan muda yang tidak mengalami langsung tragedi tersebut.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Aktivis yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi damai di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/5/2011). Aksi Kamisan yang ke-209 tersebut bertepatan dengan peringatan 13 tahun peristiwa Trisakti. Mereka mendesak Presiden RI menggunakan momentum 13 tahun reformasi untuk menyelesaikan semua kasus pelanggaran hak asasi manusia berat.

Simbolisasi

Aksi Kamisan sendiri menurut Leonardo Julius Putra dalam jurnalnya yang berjudul Aksi Kamisan: Sebuah Tinjauan Praktis dan Teoritis atas Transformasi Gerakan Simbolik, menyatakan bahwa negara tidak menunjukkan keseriusan dan komitmennya dalam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini dapat dilihat dari ketidakjelasannya siapa aktor intelektual yang melakukan pelanggaran HAM. Selain itu juga bagi mereka yang sudah dihukum pun hukumannya tidak setimpal dengan apa yang mereka perbuat kepada korban.

Maka Aksi Kamisan tidak hanya untuk mendesak penguasa mengusut tuntas pelanggaran HAM yang terjadi baik di masa Orde Baru maupun Reformasi saja. Namun juga ada pesan yang terkandung bahwa Aksi Kamisan menjadi simbol pengingat akan memori kolektif masa lalu tentang kejahatan HAM. Tujuannya supaya aksi-aksi serupa tidak terulang kembali di masa depan.

Pelaksanaan Aksi Kamisan juga berada tepat di depan Istana Merdeka yang merupakan simbol dari pemerintahan. Apalagi pelanggaran HAM masa lalu terjadi kepada kelompok yang berseberangan dengan pemerintahan masa itu. Para penyintas ingin menanyakan kepada pihak pemerintah sejauh mana mereka mengungkapkan kasus pelanggaran HAM. Ada juga para orangtua dan kerabat yang menanyakan keberadaan orang-orang yang hilang di masa Orde Baru.

Selain itu Aksi Kamisan juga diidentikkan dengan pakaian berwarna hitam dan payung berwarna hitam pula. Menurut Aditya Yudistira dan Purwo Husodo dalam jurnalnya yang berjudul Jalan Panjang Pencarian Keadilan: Aksi Kamisan Jakarta Tahun 2007-2021, bahwa baju hitam dan paying hitam merupakan simbol perjuangan dan kedukaan karena belum tuntasnya pelanggaran HAM di Indonesia.

Aksi Kamisan juga sering diikuti oleh orangtua korban khususnya para ibu seperti Maria Katarina Sumarsih. Hal ini juga menjadi salah satu simbol dari sikap orangtua yang menanyakan kepada negara tentang nasib anaknya baik mereka yang masih hilang maupun yang tewas dalam tragedi pelanggaran HAM.

Mutiara Andalas dalam jurnalnya berjudul Aksi Kamisan: Lamenting Women, State Violence, and Human Security, juga menyatakan bahwa ketika ia mengikuti Aksi Kamisan banyak para ibu yang merasa kehilangan orang yang dicintainya secara tiba-tiba dalam situasi tragis. Mereka kadang sulit untuk menceritakannya kembali sehingga butuh waktu untuk merenung. Maka Aksi Kamisan menjadi salah satu bentuk perjuangan mereka untuk mencari dan menemukan kebenaran demi anak-anak mereka.

Bivitri Susanti juga menegaskan bahwa Aksi Kamisan tidak lagi menjadi aksi demonstrasi soal pelanggaran HAM, namun telah menjadi pendidikan politik tentang civic virtue atau nilai-nilai keutamaan wargawi. Mereka yang hadir dalam Aksi Kamisan telah mempraktikkan kegiatan warga dalam membela kebebasan dan hak-haknya yang harusnya dipenuhi dan dilindungi oleh negara.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengunjuk rasa dari Jaringan Solidaritas Keluarga Korban melakukan aksi diam dengan membawa foto korban pelanggaran hak asasi manusia di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (18/1/2007).

Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Aksi berdiri di depan Istana Merdeka setiap Kamis sore dilakukan pertama kali pada 18 Januari 2007 sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun pada tahun pertama pelaksanaan Aksi Kamisan tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum sekalipun mendengarkan keluh kesah dari para peserta aksi. Padahal beberapa kali Presiden sempat melihat aktivitas tersebut ketika ia meninggalkan Istana Merdeka dengan mobil kepresidenannya.

Baru pada 26 Maret 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Usman Hamid serta beberapa keluarga korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Kantor Presiden. Pertemuan di kawasan Istana ini diadakan karena Presiden tidak dapat hadir dalam acara peringatan ulang tahun ke-10 Kontras.

Dalam pertemuan tersebut korban pelanggaran HAM meminta kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Maria Katarina Sumarsih yang ikut dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa aksi unjuk rasa untuk terus menuntut sampai komitmen pemerintah terwujud akan terus dilakukan. Aksi Kamisan (unjuk rasa satu jam setiap Kamis di depan Istana Merdeka) akan terus dilakukan sampai para pelaku di bawa ke pengadilan HAM ad hoc.

Pada 15 September 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat untuk Penanganan Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa Tahun 1997-1998 memutuskan empat rekomendasi. Harapannya rekomendasi ini sejalan dengan Aksi Kamisan dan mampu menyelesaikan salah satu kasus pelanggaran HAM.

Pertama, merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Kedua, merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. Ketiga, merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Rekomendasi dari pansus tersebut kemudian mendapatkan respon yang baik dalam Rapat Paripurna DPR pada 28 September 2009. Mereka pun sudah Bersiap untuk memberikan rekomendasi ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga dapat diteruskan kepada Kejaksaan Agung. Namun pada akhirnya rekomendasi ini belum juga dilaksanakan bahkan hingga di periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peserta Aksi Kamisan pun yang berharap akhirnya gigit jari.

Kekecewaan ini membuat para penyintas yang tergabung dalam Aksi Kamisan menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar dapat menerima rekomendasi dari Pansus Penghilangan Orang Secara Paksa. Pada 22 Desember 2011, sebanyak 1.257 surat yang ditulis korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dibawa puluhan perwakilan korban HAM dan aktivis HAM yang berunjuk rasa di depan Istana Merdeka. Mereka masih berharap bahwa pemerintah dapat mengadakan pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Penyelesaian pelanggaran HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya berjalan di tempat saja. Hingga jabatannya berakhir belum ada satu pun kasus yang diselesaikan. Meskipun telah dibentuk tim-tim khusus untuk menyelidiki kasus-kasus namun hal tersebut hanya mentok di Kejaksaan Agung dengan alasan berkas belum lengkap. Ini tentu saja membuat kasus-kasus tersebut tidak dapat dinaikkan dalam Pengadilan HAM Ad Hoc. Maka Aksi Kamisan terus berlanjut di era selanjutnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah potret korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dipajang dalam Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/11/2023). Aksi Kamisan ke-794 ini mengangkat tema 25 tahun Peristiwa Semanggi I yang terjadi pada 13 November 1998.

Masa Presiden Joko Widodo

Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum mampu menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun terpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang baru membuka harapan bagi korban pelanggaran HAM. Janji Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam kampanyenya adalah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang masuk dalam Nawacita.

Aksi Kamisan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dimulai pada 23 Oktober 2014 beberapa hari setelah pelantikan presiden dan wakil presiden di Gedung DPR RI. Harapan mereka masih sama seperti yang dahulu di mana mereka ingin bertemu Presiden Joko Widodo dan memintanya agar negara dapat bertanggungjawab dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Namun selama bertahun-tahun dan aksi berjilid-jilid Presiden Joko Widodo belum menemui peserta aksi maupun menyelesaikannya.

Dalam pemberitaan Kompas pada 11 Oktober 2016, Aksi Kamisan yang dipimpin oleh Maria Sumarsih pernah didatangi oleh apparat Istana Merdeka. Sumarsih menceritakan bahwa wakil dari pengunjuk rasa yang ingin menyampaikan surat kepada Preside Joko Widodo lewat para aparatnya sudah tidak diperkenankan lagi lewat jalan masuk yang biasanya, yakni di sisi barat Istana Merdeka. Alasan yang disampaikan para petugas dari Istana, pintu masuk itu hanya boleh untuk anggota keluarga Presiden Joko Widodo.

Selain itu aparat juga meminta agar refleksi unjuk rasa tidak menggunakan alat pengeras suara, seperti toa. Kalau pakai toa, tempatnya pindah ke seberang taman yang lebih jauh dari pintu Istana Merdeka.

Tidak hanya itu, di sekeliling Istana Merdeka juga dipasang pagar kawat berduri. Menurut salah satu peserta Aksi Kamisan hal-hal semacam ini baru terjadi pada saat pemerintahan era Presiden Joko Widodo karena di era sebelumnya para peserta aksi tidak mengalami kejadian serupa.

 

Foto pertama: Peserta Aksi Kamisan ke-806 berfoto bersama seusai aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (22/2/2024), KOMPAS/HERU SRI KUMORO. Foto kedua: Maria Catarina Sumarsih bersama sejumlah aktivis mengangkat kartu merah dan kuning sebagai peringatan kepada pelanggar demokrasi saat Aksi Kamisan ke-805 pada Kamis (15/2/2024), KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO. Foto ketiga: Para aktivis kemanusiaan mengikuti aksi Kamisan ke-574 di depan Istana Merdeka Jakarta, Kamis (14/2/2019), KOMPAS/WAWAN H PRABOWO.

Pada tahun 2018 tepat dua dekade masa Reformasi, Presiden Joko Widodo menerima peserta Aksi Kamisan di Istana Merdeka pada 31 Mei 2018. Inilah pertama kalinya Presiden Joko Widodo menerima para keluarga korban pelanggaran HAM yang menggelar aksi setiap Kamis sore.

Dalam pertemuan tersebut para peserta Aksi Kamisan berharap agar Presiden mau mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang rendah hati dan bermartabat dengan mengakui adanya pelanggaran-pelanggaran HAM berat pada masa lalu.

Setelah pertemuan tersebut Presiden Jokowi kemudian memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto untuk membicarakan masalah tersebut. Presiden juga memerintahkan Jaksa Agung berkoordinasi dengan Komnas HAM. Jaksa Agung juga berharap bahwa langkah ini sebagai kelanjutan dari komunikasi yang terjalin untuk mencari solusi penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Meskipun peserta Aksi Kamisan telah diterima dengan baik oleh Presiden Joko Widodo, aksi diam setiap Kamis sore tetap dilakukan tanpa pernah berhenti. Apalagi wacana Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut belum terealisasi hingga Presiden Joko Widodo maju kembali dalam kontestasi Pemilu 2019.

Pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo para peserta Aksi Kamisan masih menagih janji penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 27-30 April 2021, yang melibatkan 505 responden dari 34 provinsi, menunjukkan, 80 persen responden menganggap pelanggaran HAM Mei 1998 belum tuntas atau tuntas sebagian. Sebanyak 59,7 persen responden mendorong penuntasan melalui peradilan.

12 Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu. (KOMPAS, 12 Jan 2023)

Pada tahun 2021 pemerintahan melalui Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah sedang memproses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur nonyudisial. Dia menegaskan, penyelesaian nonyudisial tak akan menutup upaya penyelesaian hukum.

Pemerintah tengah sudah menyiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa HAM yang Berat (UKP-PPHB) melalui mekanisme nonyudisial. Substansi rancangan perpres itu adalah memberikan santunan, rehabilitasi sosial, serta restitusi kepada korban dan keluarga korban sembari menunggu RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi berproses di DPR.

Presiden Joko Widodo pada pemerintahan periode kedua membawa dampak besar bagi pelanggaran HAM masa lalu. Pada 11 Januari 2023, Presiden JokoWidodo sebagai kepala negara mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu setelah menerima rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta.

Setelah pengakuan ini Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 diterbitkan. Inpres itu tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Selain Inpres No 2/2023, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dengan cara non-yudisial ditempuh oleh pemerintah. Hal ini ditempuh karena pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan cara pengadilan HAM ad hoc. Salah satu ganjalannya adalah belum cukupnya bukti yang diterima oleh Jaksa Agung sehingga beberapa kasus yang diajukan dikembalikan lagi oleh Jaksa Agung.

Meskipun begitu dengan terbitnya Inpres dan Kepres HAM, pemerintah telah bertanggungjawab untuk memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM seperti pemulihan nama baik dan ganti rugi. Namun bagi keluarga korban pelanggaran HAM cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah masih belumlah cukup. Mereka masih menuntut pemerintah untuk meluruskan sejarah dan diadakan pengadilan HAM ad hoc secara yudisial.

Misi inilah yang kemudian terus digaungkan oleh peserta Aksi Kamisan. Sudah berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, namun hal-hal tersebut masih dianggap belum cukup oleh keluarga korban. Hingga kini Aksi Kamisan masih berlangsung di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis sore. Aksi Kamisan dapat dinilai sebagai bentuk perjuangan anak bangsa melawan lupa. Mereka berdiri untuk menyuarakan keadilan dan mencari anggota keluarganya yang masih hilang. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Aksi Kamisan, 17 Tahun Perjuangan Menuntut Keadilan

Referensi

Arsip Kompas
  • “Kekerasan HAM: Gerakan Diam untuk Menolak Lupa”. KOMPAS, 20 Agustus 2007, hal. 43.
  • “Penegakan Ham: Setahun Berlalu, Keadilan Tak Kunjung Tiba”. KOMPAS, 19 Februari 2008, hal. 5.
  • “Penegakan HAM: Presiden Terima Korban, Aksi Tetap Jalan”. KOMPAS, 27 Maret 2008, hal. 1.
  • “Pansus Keluarkan 4 Rekomendasi * Keluarga Korban Berharap Paripurna Mendukung”. KOMPAS, 16 September 2009, hal. 5.
  • “Orang Hilang: DPR Akan Buat Sejarah Penegakan HAM”. KOMPAS, 26 September 2009, hal. 5.
  • “Cari Kejelasan 13 Orang Hilang *Rekomendasi Pansus Diterima”. KOMPAS, 29 September 2009, hal. 1.
  • “Tinggal Kemauan SBY * Kejaksaan Bisa Segera Menyidik Kasus Orang Hilang”. KOMPAS, 8 Oktober 2009, hal. 2.
  • “Pelanggaran HAM masa lalu : Bentuk Komisi untuk Ungkap Kebenaran”. KOMPAS, 17 November 2011, hal. 4.
  • “Pelanggaran HAM: Keluarga Korban Tetap Berharap Ada Penyelesaian”. KOMPAS, 19 November 2011, hal. 4.
  • “Pelanggaran HAM: Keluarga Korban Surati Presiden”. KOMPAS, 23 Desember 2011, hal. 8.
  • “Penyelesaian Kasus HAM”. KOMPAS, 4 April 2012, hal. 7.
  • “Pelanggaran HAM: Dibutuhkan Pengadilan HAM “Ad Hoc””. KOMPAS, 25 Juli 2012, hal. 4.
  • “Kamisan Pertama untuk Presiden Joko Widodo”. KOMPAS, 24 Oktober 2014, hal. 3.
  • “Sisi Lain Istana: Aksi Kamisan Terisolasi”. KOMPAS, 11 Oktober 2016, hal. 2.
  • “Ganjalan Pascadua Dekade Reformasi”. KOMPAS, 23 Mei 2018, hal. 4.
  • “Setelah Aksi Kamisan Diterima Presiden…”. KOMPAS, 2 Juni 2018, hal. 4.
  • “Hak Asasi Manusia: Komitmen Pemerintah Ditagih”. KOMPAS, 9 November 2018, hal 5.
  • “Antara Wacana Capres dan Realitas Rakyat”. KOMPAS, 20 Januari 2019, hal. 2.
  • “Keluarga Korban Menolak untuk Menyerah”. KOMPAS, 10 Mei 2021, hal. 1.
  • “Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat”. KOMPAS, 12 Januari 2023, hal. 1.
  • “Korban Inginkan Pelurusan Sejarah”. KOMPAS, 13 Januari 2023, hal. 1.
  • “Inpres-Keppres HAM Terbit”. KOMPAS, 17 Maret 2023, hal. 4.
  • “Presiden: Ini Langkah Awal yang Akan Terus Berlanjut”. KOMPAS, 28 Juni 2023, hal. 15.
  • “Penantian Panjang Korban Pelanggaran HAM Berat”. KOMPAS, 30 Juni 2023, hal. D.
  • “Payung Hitam untuk Republik”. KOMPAS, 18 Januari 2024, hal. 1.
  • “Hujan di Depan Istana”. KOMPAS, 17 Februari 2024, hal. 2.
Buku
  • Aswidah, Roichatul, dkk (ed.). 2014. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: Komnas HAM RI.
  • Sembiring, Garda, dkk (ed.). 2007. Nunca Mas Laporan Final Conadep: Argentina Pasca Junta Militer (1976-1983). Jakarta: Peoples Empowerment Consortium.
Jurnal
  • Andalas, Mutiara. “Aksi Kamisan: Lamenting Women, State Violence, and Human Security”, dalam Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Vol. 13 No. 1, 2017.
  • Putra, Leonardo Julius. “Aksi Kamisan: Sebuah Tinjuan Praktis dan Teoritis”, dalam Jurnal Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Jakarta, Vol. 2 No. 1, Maret-Agustus 2016.
  • Rini, Mada Sulistiyo. “Kajian Yuridis Terhadap HAM: Timbulnya Aksi Kamisan Sebagai Representatif Peristiwa 1998-1999”, dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 7 (4), 2022.
  • Yudistira, Aditya dan Husodo, Purwo. “Jalan Panjang Pencarian Keadilan: Aksi Kamisan Jakarta Tahun 2007-2021”, dalam Jurnal Ceteris Paribus, Vol. 1, No. 2, September 2022.