Paparan Topik | Tahun Baru Imlek

Munculnya Kesadaran Nasionalisme Tionghoa Masa Hindia Belanda

Revolusi di Tiongkok pada awal abad ke-20 telah membawa kesadaran nasionalisme pada kelompok Tionghoa peranakan. Di sinilah lahir organisasi-organisasi yang memperjuangkan kedudukan dan politik di Hindia Belanda.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga Tionghoa menyalakan dupa dalam sembahyang tahun baru China atau Imlek di Wihara Amurva Bhumi (Hok Tek Tjeng Sin), Kelurahan Karet Semanggi, Jakarta Selatan, Kamis (11/2/2021).

Fakta Singkat

Latar Belakang

  • Peraturan diskriminasi oleh pemerintah Hindia Belanda kepada kelompok Tionghoa.
  • Revolusi Tiongkok tahun 1911 dan membuka diri pada dunia barat.
  • Pandangan nasionalisme dari tokoh-tokoh bumiputra.

Dampak

  • Muncul kelompok organisasi Tionghoa terbesar Tiong Hoa Hwee Koan pada tanggal 17 Maret 1900.
  • Terbaginya kelompok Tionghoa dalam tiga aliran politik berdasarkan kedudukan sebagai warga negara.

Tiga Aliran Politik

  • Kelompok Sin Po yang berorientasi pada Tiongkok sebagai tanah kelahirannya.
  • Kelompok Chung Hwa Hui (CHH) yang berorientasi pada Belanda sebagai tanah kelahirannya.
  • Kelompok Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang berorientasi pada Indonesia sebagai tanah kelahirannya.

Artikel terkait

Nasionalisme di Hindia Belanda tidak hanya menyebar di kalangan bumiputra yang ditandai dengan berdirinya sejumlah organisasi politik. Namun, kesadaran nasionalisme juga berkembang pada kelompok peranakan Tionghoa. Kelompok ini adalah mereka yang lahir di Hindia Belanda dan mempunyai darah campuran bumiputra. Mereka juga belum pernah menginjakkan kakinya di negeri Tiongkok.

Gejala nasionalisme ini berkembang setelah politik etis sebagai sebuah kritikan kepada pemerintah Hindia Belanda. Saat itu kaum liberal menilai bahwa negara Belanda harus memberikan balas budi atas jasa kaum bumiputra dalam menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan. Salah satu programnya, yakni pendidikan telah menjadi bom waktu yang memicu setiap masyarakat Hindia Belanda untuk melek akan modernitas bangsa barat.

Memasuki akhir abad ke-19 menuju awal abad ke-20 terjadilah perubahan di negeri Tiongkok yang kemudian mempengaruhi perkembangan politik Tionghoa peranakan. Jepang sebagai negara tetangga dari Tiongkok telah menjadi negara yang modern dan diperhitungkan di dunia. Hal ini membuat orang Jepang di Hindia menjadi setara dengan orang Eropa. Sementara, kelompok Tionghoa peranakan mulai menyadari identitasnya sebagai orang Tionghoa dan memperjuangkan sikap politiknya di tanah Hindia.

Tiong Hoa Hwee Koan

Pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem pembagian kelas berdasarkan ras sebagai bentuk superioritas warga Eropa di tanah jajahan. Kelompok orang Eropa berada di golongan pertama; orang Tionghoa baik totok maupun peranakan, orang Jepang, Arab, dan timur asing berada di golongan kedua; dan golongan terakhir dihuni oleh orang bumiputra.

Namun, setelah kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905 posisi orang Jepang berubah. Orang Jepang dianggap sejajar dengan orang Eropa di Hindia karena telah berhasil menjadi negara Asia pertama yang mengalahkan orang Eropa. Akibatnya, banyak dari orang Tionghoa merasakan ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak kolonial karena Jepang dan Tiongkok tidak berbeda jauh.

Diskriminasi orang Tionghoa tidak hanya berhenti pada pengelompokkan golongan-golongan berdasarkan etnis saja. Pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem surat jalan (Wijkenstelsel dan Passenstelsel) kepada orang Tionghoa yang tinggal di wilayah-wilayah yang sudah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Apabila mereka ingin keluar dari wilayah tersebut maka akan diberikan surat jalan sebaliknya apabila mereka tidak membawa surat jalan maka akan dikenai hukuman.

Namun, di tahun 1911 terjadi peristiwa revolusi di Tiongkok yang ikut mempengaruhi kelompok Tionghoa peranakan. Salah satu perubahan besar pada revolusi Tiongkok adalah pemurnian orang Tionghoa dengan kembali pada ajaran Konfusianisme dan terbuka pada barat.

Penyebabnya karena pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni kerajaan-kerajaan tradisional telah meninggalkan ajaran Konfusianisme dan lebih tertutup dengan negara-negara barat. Orang Tionghoa menganggap hal tersebut berdampak pada kemunduran negeri Tiongkok beserta dengan orang Tionghoa di tanah perantauan. Mereka mencontoh Jepang yang memasuki era Meiji di mana Jepang masih memegang teguh kebudayaannya, namun juga terbuka dengan barat. Oleh karena itu, Tiongkok mulai meniru Jepang.

Pengaruh dari revolusi Tiongkok kemudian menyebar ke wilayah Asia Tenggara. Kelompok-kelompok Tionghoa di tanah perantuan mulai menyadari identitasnya sebagai bagian dari negeri Tiongkok, meskipun mereka adalah peranakan dan belum pernah ke Tiongkok. Hal ini kemudian mendorong kelompok Tionghoa peranakan untuk bisa berpikir secara modern untuk memajukan kelompoknya.

Hal ini yang memicu sekelompok orang Tionghoa di Hindia membentuk organisasi yang bernama THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) pada 17 Maret 1900. Tujuan dari pendirian kelompok ini adalah menyatukan seluruh golongan Tionghoa dan mengajarkan mereka mengenai identitasnya secara benar. Pada 3 Juni 1900 organisasi ini diakui oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Ketetapan Gubernur Jenderal No.15 dengan secara sah.

Dalam menjalankan program-programnya THHK menaruh perhatian yang cukup serius terhadap pendidikan bagi anak-anak Tionghoa peranakan. Mereka diajarkan sesuai dengan kurikulum yang berdasarkan pada identitas ketionghoaannya dengan berdasar pada ajaran-ajaran Konfusianisme. Selain itu, mereka juga mengajarkan pelajaran negara-negara barat, termasuk salah satunya adalah bahasa Inggris.

Pergerakan THHK yang semakin besar menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda. Hal ini diperlihatkan dengan melonjaknya anggota THHK berkat propaganda nasionalis Tionghoa. Keadaan ini dianggap oleh pemerintah membahayakan keamanan Hindia Belanda. Karenanya, pemerintah berusaha untuk membatasi setiap gerakan-gerakan nasionalisme yang dilakukan oleh Tionghoa peranakan.

Berbagai macam cara dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk meredam gerakan nasionalisme yang dilakukan oleh Tionghoa peranakan. Mulai dari merayu orang Tionghoa yang dekat dengan pihak Belanda untuk mencegah perkembangan nasionalisme Tionghoa. Cara ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Apabila dilakukan dengan tindakan yang keras maka akan terjadi gejolak yang besar dari orang Tionghoa dalam memerangi pemerintah Belanda.

Demi meredam perkembangan nasionalisme Tionghoa, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hollands Chinese School (HCS), yaitu sekolah Belanda untuk kaum Tionghoa. HCS merupakan sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang pertama di Hindia Belanda dengan menerapkan sistem kurikulum model sekolah Belanda pada umumnya. Tujuan pendirian HCS adalah untuk membendung pendidikan yang digerakkan oleh THHK.

Program pendidikan HCS oleh pemerintah disamakan dengan pendidikan barat yang diterapkan kepada kaum bumiputra, yaitu Hoogere Burger School (HBS), Hollandsch Inlandsche School (HIS), dan lain sebagainya. Langkah ini dilakukan untuk menarik minat orang-orang Tionghoa mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah buatan pemerintah. Apalagi saat itu banyak orang Tionghoa yang berkeinginan agar anak-anaknya yang sekolah di HCS dapat menaikkan derajat orangtuanya karena setara dengan orang Eropa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petugas dari kelenteng menyiapkan kebutuhan untuk berdoa berupa sejumlah patung dari kertas dalam tradisi ciswak atau ruwatan yang dilakukan bertepatan dengan Cap Go Meh di Kelenteng Sam Po Kong, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (22/2/2016). Dalam tradisi 15 hari setelah Imlek itu, mereka membuang segala hal yang buruk dan mengharapkan kehidupan yang makmur dengan makan bersama lontong cap go meh.

Konferensi Semarang 1917

Tekanan pemerintah Hindia Belanda kepada organisasi Tionghoa peranakan membuat mereka, kemudian, mengadakan pertemuan untuk mempertemukan seluruh golongan Tionghoa di Hindia. Pertemuan itu berlangsung dalam Konferensi Semarang tahun 1917. Mereka juga membicarakan identitas mereka sebagai golongan Tionghoa dan menaruh perhatian pada nasionalisme Tiongkok.

Tidak hanya berhenti pada nasionalisme Tionghoa saja tetapi mereka juga terpengaruh pada kondisi politik di Hindia Belanda sendiri yang digerakkan oleh para bumiputra. Kesadaran nasionalisme dan bangsa yang terjajah membuat kaum bumiputera membentuk sebuah organisasi yang berorientasi pada nasionalisme dan menolak kolonialisme di Hindia Belanda.

Seperti diketahui pada tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo yang diisi oleh para priyayi Jawa, kemudian berkembang Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam sebagai organisasi pergerakan massa paling besar pada masa itu. Kemudian, ada juga Indische Partij yang merupakan wadah golongan Indo. Atas pengaruh ini orang Tionghoa tidak mau tinggal diam dan berusaha untuk ikut ambil bagian dalam politik Hindia Belanda.

Bahkan, pembentukan Volksraad atau Dewan Rakyat oleh pemerintah Hindia Belanda juga ikut berpengaruh. Saat Volksraad telah terbentuk, tidak ada satu pun wakil dari golongan Tionghoa yang duduk di Dewan Rakyat. Akhirnya, muncullah pro dan kontra di antara para Tionghoa peranakan. Di satu sisi mereka ingin ada perwakilannya di Volksraad, namun di sisi lain, mereka tidak mau ada wakil di Volksraad karena mereka merasa bahwa mereka bukanlah warga negara Hindia Belanda tetapi Tiongkok setelah berdirinya Republik Tiongkok dan biro Tiongkok di Batavia.

Dalam Konferensi Semarang 1917 inilah, terjadi banyak perdebatan terutama menyangkut pada identitas mereka sebagai orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda. Pada akhirnya, menurut Leo Suryadinata dalam bukunya yang berjudul Politik Tionghoa Peranakan di Jawa, mengerucutlah tiga aliran politik Tionghoa peranakan di Jawa.

Kelompok Tionghoa pertama yang mengakui dirinya sebagai warga penduduk Belanda membentuk sebuah organisasi bernama Chung Hwa Hui (CHH). Kelompok kedua yang berorientasi pada identitas Tionghoa asli dan mengakui Tiongkok sebagai negaranya didominasi oleh kelompok surat kabar Sin Po. Sedangkan kelompok ketiga yang berorientasi pada Hindia sebagai tempat tinggalnya membentuk sebuah organisasi bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Seorang bocah memberikan angpau kepada pemain barongsai yang beratraksi di Pasar Modern BSD City, Tangerang Selatan, Sabtu (6/2/2016). Atraksi barongsai ini digelar untuk menyambut dan memeriahkan perayaan Tahun Baru Imlek.

Partai Tionghoa Indonesia

Pergerakan Tionghoa di Hindia didasari oleh tuntutan persamaan hak dengan golongan Eropa. Mereka sebagai golongan kedua seringkali disamakan dengan kelompok bumiputra yang merupakan golongan ketiga. Keadaan ini kemudian membuat beberapa tokoh Tionghoa ikut terpengaruh juga oleh pemikiran-pemikiran para nasionalis bumiputra. Hal ini tidak mengherankan karena mereka menyadari memiliki nasib yang sama, yakni sama-sama merasakan diskriminasi oleh orang Eropa.

Salah satu hal ditunjukkan oleh surat kabar Tionghoa peranakan, yakni Soeara Publiek yang menyatakan dukungannya terhadap orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda merupakan warga negara Hindia Belanda. Gagasannya, yakni Indisch Burgerschap atau Indier Burgerschap (Kewarganegaraan Hindia Belanda) guna menandingi Wet op het Nederlandsche Onderdaanschap atau Undang-Undang mengenai kaula Negara Belanda.

Mereka yang mendukung ide ini menyatakan bahwa orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda dan bahkan mengakuinya sebagai tanah air harus memiliki status hukum bumiputra. Liem Koen Hian kemudian semakin menegaskan bahwa “Kewarganegaraan Hindia Belanda” berkembang menjadi “Kewarganegaraan Indonesia”.

Memasuki tahun 1932, kelompok Tionghoa peranakan yang menganggap dirinya menjadi bagian dari Indonesia, tanah kelahirannya, membentuk sebuah wadah partai yang bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini didirikan pada tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok, dan kaum Tionghoa peranakan dengan dibantu oleh kaum nasionalis Indonesia moderat lainnya seperti dr. Soetomo dan Soeroso.

Tujuan dari pendirian PTI ini sendiri adalah mendorong bangsa-bangsa berwarna di Indonesia dan bekerja sama dengan tiap suku bangsa untuk memajukan kedudukan seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang perbedaan. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa PTI dibentuk tidak untuk satu golongan saja. Tujuan lain dari PTI sendiri adalah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia sesuai dengan perjuangan para nasionalis untuk lepas dari kolonialisme.

Oleh karenanya, surat kabar Siang Po pada tanggal 29 Desember 1932 untuk pertama kalinya menyerukan “panggilan tanah air” kepada kelompok Tionghoa. Seruan ini dapat diartikan bahwa Indonesia tidak hanya untuk orang Indonesia asli, namun untuk tiap orang yang lahir di sini. Inilah yang membuat banyak dari kelompok Tionghoa yang lahir di Indonesia berbondong-bondong masuk ke dalam PTI. Hingga pada akhirnya muncul istilah “Tionghoa-Indonesia”. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan 1855-1913. Jakarta: Hasta Mitra.
  • Carey, Peter. 2015. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
  • Coppel, Charles. 1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Lembong, Eddie, dkk. 2016. Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa Jilid I. Jakarta: Yayasan Nabil.
  • Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press.
  • ———. 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • ——— (ed.). 2005. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. Jakarta: LP3ES.
  • Tan, Mely G. (ed.). 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT Gramedia.
  • Williams, Lea E. 1960. Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of The Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916. Illinois: The Free Press.
Arsip Kompas
  • “Partai Tionghoa Indonesia. * Manfaatnya bagi Keturunan Cina ** 50 Tahun Indonesia Merdeka’. KOMPAS, 25 Juli 1995, hal. 1.
  • “Pers Tionghoa, Sensibilitas Budaya, dan Pamali Politik * Bentara”. KOMPAS, 1 Juni 2001, hal. 38.
  • “Jejak Nasionalisme di Surabaya (4): Modal Kebangsaan yang Beragam”. KOMPAS, 30 Juli 2012, hal. 4.