Paparan Topik | Politik dan Demokrasi

Demokrasi pada Ruang Digital

Ruang digital menjadi bagian dari proses dan praktik demokrasi. Upaya penataan ruang digital telah dilakukan pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Majelis hakim membacakan sidang putusan uji materi UU ITE  di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/10/2021) terkait pemblokiran internet. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan yang diajukan Aliansi Jurnalis Independen dan wartawan suarapapua.com Arnoldus Belau terkait uji materi pasal 40 Ayat 2b Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pemohon meminta agar pemerintah menerapkan kriteria tertentu dan penjelasan sebelum melakukan pemblokiran internet. Kriteria dan penjelasan dibutuhkan agar pemblokiran akses internet tidak dilakukan secara serta-merta yang dapat menjadi sebuah tindakan sewenang-wenang.

.

Fakta Singkat

  • Demokrasi digital adalah konsep yang mengakomodir pemaknaan, pengadaan, dan kesahihan demokrasi dalam ruang-ruang digital.
  • Dominasi ruang digital mampu memengaruhi dan mengatur realitas apa yang terjadi di dunia nyata.
  • Realitas dalam dunia maya adalah hasil dari konstruksi-konstruksi pesan yang kredibilitasnya patut dipertanyakan.
  • Dampak demokrasi digital pada perpolitikan ditunjukkan lewat tiga hal, yakni kehadiran e-government, kemudahan terbangunnya jejaring koneksi antarwarga, dan perubahan esensi komunikasi politik.

Pada awalnya, penataan regulasi ruang digital diatur melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ini kemudian mengalami perubahan pada 2016, lewat UU Nomor 19 Tahun 2016. UU ini kemudian populer dengan sebutan UU ITE.

UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 diterbitkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Artinya, kehadiran UU ITE sendiri sejatinya merupakan upaya memperjuangkan demokrasi di ruang digital.

Meski begitu, dalam praktiknya penerapan UU ini kerap terjadi benturan antara aparat dengan masyarakat. Penerapan UU ITE bahkan mencederai penegakan hukum dan berdampak menurunkan indeks demokrasi itu sendiri. Dalam sejumlah kasus, aparatur penegak hukum bahkan salah melakukan penangkapan.

Salah satunya tampak dalam kasus penahanan Masril, warga Pekanbaru, Riau, oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. Masril hanya mengunggah ulang konten pembahasan kasus Ferdy Sambo, namun ditahan karena dinilai menyeret nama Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran. Karenanya, Masril disangkakan Pasal 26 Ayat (2) UU ITE.

Keabsahan penangkapan pun dipertanyakan oleh banyak pihak termasuk pengacara Masril. “Padahal, klien kita hanya mengunggah ulang saja dari medsos. Sangat banyak postingan seperti itu di media sosial, mengapa tidak diproses?” ujarnya. Masril mengulas dan mengunggah ulang konten berjudul ”Orang-orang Pilihan Ferdy Sambo” dan menambahkan tagar #BerantasJudiOnline (Kompas.id, 26/8/2022, “Warga Riau Ditahan Polda Metro Jaya karena Singgung Kapolda”).

Hingga Oktober 2022, Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) melaporkan pemidanaan terhadap warga karena dugaan pelanggaran UU ITE masih belum berhenti. Ada dua kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan dan sampai ditindaklanjuti oleh kepolisian meski tak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Situasi serupa ditunjukkan dalam Analisis Pelanggaran Hak-hak Digital Triwulan III-2022 yang diterbitkan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet). Selama Juli–September 2022, diperoleh 64 pelaporan ke kepolisian terkait ekspresi warga di ranah digital. Jumlah tersebut meningkat empat kali lipat dibanding triwulan II-2022. Jumlah terlapor pun turut meningkat menjadi 44 orang, dari 33 orang pada kuartal sebelumnya.

Belum berhentinya pemidanaan terhadap warga dengan tuduhan pencemaran nama baik menunjukkan masifnya dampak pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. Warga pun menjadi korban pidana dari pihak-pihak berkuasa dan bermodal yang merasa terancam (Kompas.id, 31/10/2022, “Pemidanaan Kasus Pencemaran Nama Baik Kian Masif, Masyarakat Sipil Desak Revisi UU ITE”).

Dalam laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Staf Ahli Bidang Hukum, Henri Subiakto, mengakui bahwa pembuatan maupun revisi UU begitu panjang. Sementara proses tersebut dilakukan, jutaan orang akan terus menggunakan media sosial. Dengan banyaknya kasus UU ITE yang tidak sesuai, revisi UU harus dilakukan. Namun sembari itu, diperlukan solusi untuk mencegah kebebasan absolut di ruang digital.

Budi Hardiman dalam buku Aku Klik maka Aku Ada mencatat bahwa bagaimanapun juga, negara harus tetap hadir dalam dunia digital. Kecanggihan ekosistem baru tersebut memungkinkan manusia bersembunyi di balik pesan-pesan yang mereka kirimkan. Kebebasan jari yang tanpa batas justru menciptakan: ujaran kebencian, hoax, perundungan, dan demagogi fitnah. Bahayanya, hal tersebut mampu dengan cepat menggerogoti keseimbangan demokrasi di ruang nyata.

Polemik UU ITE menunjukkan bahwa, baik masyarakat maupun pemerintah, masih gagap dalam menanggulangi dan menyikapi demokrasi digital. Fenomena ini sendiri terlahir dari masifnya perkembangan teknologi informasi dan kian menguatnya dorongan demokratisasi di berbagai negara. Sama seperti demokrasi pada ruang-ruang nyata, kualitas dan keberadaan demokrasi digital pun harus diregulasi dan ditata.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Petugas pengamanan dalam (Pamdal) saat berjaga dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021).Rapat paripurna itu menyetujui permintaan Presiden untuk memberikan amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Saiful Mahdi, terpidana kasus pencemaran nama baik.

Apa itu “Demokrasi Digital”

Mengurai makna “demokrasi” dan “digital”

Konsep demokrasi digital adalah frasa yang tersusun atas dua kata, “demokrasi” dan “digital”. Keduanya sendiri mengandung makna terminologis yang panjang dan mendalam, sehingga mampu membentuk suatu konsep yang kuat dalam menunjuk sebuah fenomena aktual.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “demokrasi” dipahami sebagai “bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya” atau secara singkat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.

Pemahaman etimologis dari demokrasi dijelaskan oleh pakar ilmu politik Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik. Demokrasi merupakan perpaduan dari istilah Yunani, demos dan kratos. Demos sendiri memiliki arti rakyat, sementara kratos berarti kekuasaan atau berkuasa. Perpaduan keduanya dimaknai secara harafiah sebagai “rakyat berkuasa” atau “kekuasaan oleh rakyat”.

Pada kelanjutannya, konsep demokrasi bukanlah semata masalah elektoral. Kompaspedia (15/9/2021, “Demokrasi: Konsep, Penyebaran, dan Variasinya”) merangkum hal ini dengan menuslikan bahwa sistem demokrasi sendiri baru aktif melalui empat elemen kunci, yakni pemilu yang bebas dan adil, partisipasi aktif warga negara dalam ruang publik, perlindungan hak asasi manusia, dan supremasi hukum.

Dengan keempat kunci tersebut, kesuksesan demokrasi pun dilihat dengan melampaui kriteria politik semata. Teoritikus politik Robert A. Dahl menyebutkan sejumlah kriteria lainnya, antara lain, partisipasi masyarakat yang efektif, kesamaan hak suara, tingkat kecerdasan pemilih, dan inklusi sosial.

Sementara itu, makna kata “digital” dapat ditilik secara etimologis dari kata aslinya dalam bahasa Latin, digitus yang memiliki arti “jari”. Dari sini, dapat dipahami bahwa konsep digital sendiri telah merujuk pada giat penggunaan jari oleh manusia. Apabila kita hitung jari jemari, maka berjumlah sepuluh (10) jari. Nilai sepuluh tersebut terdiri dari 2 angka, yaitu 1 dan 0.

Digital merupakan penggambaran dari suatu keadaan bilangan yang terdiri dari angka 0 dan 1 atau off dan on (bilangan biner). Semua sistem komputer menggunakan sistem digital sebagai basis datanya.

Pada kelanjutannya, makna kata “digital” merujuk pada hal-hal yang meliputi maupun terkait penggunaan teknologi data dalam wujud komputasi. Dewasa ini, makna digital telah begitu universal dipahami sebagai hal-hal terkait teknologi informasi dan komunikasi yang tersaji secara maya.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Suasana Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). Rapat tersebut menyetujui permintaan Presiden untuk memberikan amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Saiful Mahdi, terpidana kasus pencemaran nama baik.

Memaknai Konsep “Demokrasi Digital”

Pada akhirnya, “demokrasi digital” sebagai kesatuan makna dari dua kata, yakni “demokrasi dan digital”, dapat dipahami secara harafiah sebagai konsep yang mengakomodir pemaknaan, pengadaan, dan kesahihan demokrasi dalam ruang-ruang digital.

Bukan tanpa alasan konsep “demokrasi” dan “digital” disatukan dan memerlukan perhatian khusus. Rupanya, kedua konsep berkelindan erat, yakni digital memengaruhi demokrasi, sementara demokrasi juga melanggengkan penyebarluasan ruang digital.

Rhenald Kasali, dalam buku Disruption, menyoroti secara kritis hal-hal apa saja yang berubah dan terpaksa berubah seiring dengan kehadiran internet of things. Mulai dari strategi bisnis, bidang transportasi, budaya, pers, pangan, hingga sistem demokrasi merasakan dampak digitalisasi.

Meski tidak menjadi fokus utama, tulisan Rhenald Kasali memandang bahwa proses disrupsi digital akan membawa perkembangan peradaban secara linear pada demokratisasi. Selain Kasali, pengantar redaksi dalam Jurnal Dialog Kebijakan Publik Edisi 22 Tahun 2016 juga menuliskan kehadiran internet telah begitu determinan terhadap proses demokrasi.

Dicontohkan, fenomena politik di kawasan Timur Tengah menimbulkan terjadi hembusan demokratisasi yang dikenal dengan istilah “Musim Semi” demokrasi. Berbagai rezim otoriter tumbang dengan dukungan kanal-kanal digital. Termasuk di dalamnya rezim Muammar Khadafi di Libia, Husni Mubarak di Mesir, dan Sadam Husein di Irak.

Determinasi digital dimungkinkan karena menyediakan ruang-ruang publik maya yang lebih terbuka dan adil untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk politik. Oleh karenanya, berbagai fenomena dalam dunia nyata akan memperoleh respon dalam bentuk komunikasi pada dunia maya. Begitu juga sebaliknya, apa yang terjadi di dunia nyata mampu dipengaruhi oleh percakapan di dunia maya.

Akhirnya, keterhubungan antara demokrasi dan digitalisme dalam konsep demokrasi digital menjadi fenomena kontemporer yang umum dipahami. Meski begitu, berbagai pandangan tidak melulu optimistis. Terdapat pula variasi sudut pandang yang menyoroti bahwa kehadiran entitas digital nyatanya mampu mereduksi demokrasi itu sendiri.

Dualitas Dunia Digital

Kehadiran ruang-ruang maya menjadi pendorong penting dalam proses penguatan dan pelaksanaan demokrasi. Meski begitu, di saat bersamaan, kehadiran digitalisasi tersebut juga mampu mengotori nilai-nilai luhur dari demokrasi itu sendiri. Akhirnya, bagaikan dua sisi koin logam yang berbeda dan bertolak belakang, fenomena demokrasi digital pun memunculkan dualitas situasi yang harus disikapi secara lebih hati-hati.

Sisi Konstruktif Digitalisasi
Pada sisi konstruktif dan optimistis pada digitalisasi, tampak bagaimana ruang-ruang maya yang hadir telah menjadi ruang berkeadilan yang terbuka. Maraknya perdebatan opini dalam media digital menunjukkan kelimpahan komunikatif. Kehadiran media mengatasi jarak, baik horizontal maupun vertikal, dan dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Maraknya perdebatan menunjukkan bahwa ruang digital memberikan kekuasaan yang lebih luas pada publik.

Apabila kekuasaan dipahami sebagai “kemampuan menghasilkan efek yang diinginkan”, maka kini kemampuan tersebut kian terdistribusi secara luas. Berbagai pihak dengan akses digital mampu menyebarkan gagasannya sendiri untuk membangun komunitas maupun gerakan.

Semua orang punya kapasitas menyebarkan informasi dalam skala dan dampak yang lebih besar. Teknologi digital mendistribusikan keadilan dalam potensi kuasa secara lebih merata, membuat semua orang menggenggam jenis “kekuasaan baru”. Kembali pada konsep kriteria demokrasi yang sehat dari Robert A. Dahl, inklusivitas dan keadilan ini menunjukkan kesuksesan demokrasi

Hadirnya kekuasaan baru tersebut meninggalkan determinasi kekuasaan lama. Bentuk yang disebutkan terakhir memiliki sifat tertutup, nirakses, dan digerakkan secara sentral. Sementara sifat kekuasaan baru melibatkan banyak orang, terbuka, partisipatif, mengunggah, dan mendistribusikan (Kompas, 29/9/2020, “Mempertegak Demokrasi Digital”).

Menguatkan pandangan optimistik pada arus digitalisasi, artikel akademik “Lokalitas-Regionalitas di Tengah-Tengah Ekspansionisme Digital” oleh Agus Sudibyo menuliskan bahwa pada satu sisi, harus diakui revolusi digital berdampak signifikan terhadap tumbuhnya industri kreatif di tingkat lokal.

Distribusi kekuasaan dan kapasitas memberi pengaruh mendorong tumbuhnya rintisan usaha berbasis daring, di mana tampak kian menjamur di Indonesia. Revolusi digital mengembangkan ekonomi kreatif sekaligus mendemokratiskan ruang publik.

Dengan diperkuat oleh pandangan Rhenald Kasali dan pada bagian sebelumnya, maka tampaklah besarnya potensi digitalisasi untuk mendulang pelaksanaan demokrasi. Dari berbagai uraian yang ada tersebut, maka kekuatan terbesar dunia digital dalam mendukung demokrasi terletak pada terbangunnya ruang-ruang baru yang lebih lebih terbuka untuk berkespresi dan keadilan atau inklusivitas dalam distribusi kekuasaan.

Sisi Risiko Digitalisasi
Meski begitu, kehadiran ruang-ruang digital dan kekuatan yang dimilikinya juga memiliki sisi lain yang harus ditanggapi secara hati-hati. Sejumlah tulisan dan tokoh bahkan memandang sisi lain dari dualitas digital tersebut dengan begitu pesimis.

Pandangan akan hal ini juga masuk dalam artikel Agus Sudibyo. Tulisannya dilanjutkan dengan menjabarkan, bahwa meski menghidupkan usaha-usaha kecil dan menengah masyarakat, namun dunia digital juga bersifat “kanibalistik” terhadap industri informasi dan hiburan lokal. Secara konkret ditunjukkan bagaimana industri media cetak, radio, televisi, hingga buku bertumbangan, ditinggalkan oleh masyarakat kontemporer.

Implikasinya secara nyata, pemasangan iklan pun meninggalkan bentuk-bentuk media lama. Mereka lantas bermigrasi ke bentuk media baru, terutama yang terkoneksi dengan internet. Seluruh bentuk media lama pun mengalami tren penurunan pemasangan iklan. Pada titik ini, kehadiran dunia digital justru melahirkan sosok-sosok raksasa industri baru.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Hapus Pasal Karet UU ITE – Aktivis yang tergabung dalam Komite Rakyat Pemberantas Korupsi menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta, Selasa (8/1/2019). Mereka menyerukan untuk menghapus pasal karet dalam UU ITE atau merevisinya agar tidak digunakan sebagai senjata para koruptor untuk menyerang balik aktivis antikorupsi.

Selain dampaknya pada kemunculan pemain-pemain besar baru industri, Kompas (20/1/2020, “Demokrasi di Era 4.0”) menjelaskan bagaimana sisi lain digitalisasi juga berdampak pada polusi kebenaran. Ruang-ruang digital yang terbuka lebar dengan kebebasan yang luar biasa memunculkan keberlimpahan informasi. Produsen informasi tidak lagi mereka yang berwenang (seperti media, akademisi, dan pemerintah), tapi semua orang.

Meski pada satu sisi berdampak pada demokrasi informasi dan pengetahuan, namun di sisi lain hal ini justru memunculkan narasi-narasi tertarget yang diragukan kebenarannya. Kehadiran narasi-narasi yang secara bebas hilir mudik ini lantas diarahkan dalam fungsi sebagai manipulator kebenaran. Politik identitas, populisme, hoax, fitnah, dan lain-lainnya menjadi konsekuensi atas hal ini.

Kembali pada buku Aku Klik Maka Aku Ada, Budi Hardiman mengingatkan masifnya kekuatan entitas digital akhirnya menjadikan realita pada dunia nyata dilandaskan oleh fenomena pada dunia digital. Bahayanya, fenomena pada dunia digital adalah produksi kebebasan yang luar biasa dengan integritas kebenaran yang minim. Hal ini berdampak pada realita dunia maya yang juga akan menjauh dari aspek kebenaran itu sendiri.

Hardiman menjelaskan bahwa dalam era digital, manusia sendiri kehilangan perannya sebagai subjek atau tokoh utama dalam realitas. Sebaliknya, dengan masifnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi digital, pesan-pesan dalam narasi mengambil peran tersebut. Manusia hanya menjadi perantara pesan. Posisi mereka anonim dan tidak kelihatan, namun pesan yang diberikan nyata dan berwujud.

Dalam situasi tersebut, akhirnya realitas dibangun dari semata dari narasi-narasi dalam pesan. “Bukan sebagai dunia apa adanya, melainkan sebagai dunia konstruksi-konstruksi,” tulis Hardiman. Awalnya dunia konstruksi tersebut hanya berada pada tataran maya, namun lantas memengaruhi dunia nyata.

Contoh nyata dari hal ini adalah gerakan nasional #JusticeForAudrey yang viral pada April 2019 lalu, bahkan direspon oleh para artis dan tokoh tanah air. Berangkat dari media sosial, narasi yang muncul adalah kasus penganiyaan dan perundungan terhadap seorang anak SMP bernama Audrey, oleh 12 anak SMA.

Narasi tersebut berhasil menggugah dimensi emosinal masyarakat Indonesia, terutama akan iba dan melas. Sebuah petisi pun lahir dan mencapai 12 juta tanda tangan warga Indonesia yang sangat menyayangkan kejadian tersebut. Realitas digital lantas mendorong gerakan dunia nyata, termasuk pemidanaan para terduga penganiyaan.

Bulan-bulan berlalu, hingga akhirnya fakta-fakta baru terkuak. Audrey sama sekali bukan korban perundungan. Sebaliknya, ia sendirilah sosok yang melakukan perundungan. “Penganiyaan” yang diterimanya, ternyata adalah wujud bela diri dari para anak SMA tersebut. Dalam narasi 12 anak SMA, hanya terbukti tiga orang yang terlibat. Perkelahian pun dilakukan satu lawan satu. Visum pun menunjukkan, pengakuan Audrey hanyalah bohong belaka.

Dengan ini, seluruh masyarakat tanah air menjadi korban konstruksi narasi palsu. Kasus Audrey menjadi contoh dari bagaimana naras-narasi maya mampu memproduksi dunia keseolahan baru, yang bahkan menutupi kenyataan pada dunia nyata. Apa yang terjadi pada layar menggeser kepastian pada realitas. Dalam ketiadaan wujud fisik, imajinasi manusia pun dibimbing oleh keseolahan layar digital.

Kompaspedia (16/7/2022, “Memahami Era Pasca-Kebenaran”) menuliskan bahwa dalam periode Agustus 2018 sampai dengan Maret 2020, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah mendapati 5.156 kasus temuan hoaks yang berhasil dideteksi. Grafik kuantitas isu hoaks cenderung turun-naik dengan penurunan yang tidak signifikan. Sejak Februari 2019, temuan isu hoaks bulanan tidak pernah lebih rendah dari 260 kasus.

Hingga 2022, tren hoaks justru kian meningkat. Hingga awal tahun 2022, akumulasi jumlah hoaks dan konten negatif sejak Agustus 2018 telah bertambah hingga 9.546 temuan. Artinya, dalam waktu kurang dari dua tahun terakhir, telah ditemukan 4.390 hoaks.

“Selain hoaks, kami menemukan konten-konten negatif seperti penipuan pinjaman online sampai aspek-aspek radikal,” jelas Direktur Pemberdayaan Informatika Kominfo, Bonifasius Wahyu Pudjianto dalam acara Hari Pers Nasional (07/02/2022). Bonifasius pun mengakui bahwa penyebaran konten negatif demikian menjadi tantangan utama dalam perkembangan sektor-sektor digital.

Demokrasi memang sangat bergantung pada kebebasan arus informasi untuk dapat terciptanya informasi dan kesempatan yang sama bagi diskusi terbuka. Namun, dengan kebebasan yang tanpa batas, publik justru tidak bisa memercayai integritas informasi itu sendiri, dan dengan begitu juga tidak dapat memercayai proses demokrasi. Lonjakan digitalisasi yang tadinya diharapkan menjatuhkan para penguasa, justru menyebabkan kerentanan pada praktik demokrasi itu sendiri.

Dengan situasi yang demikian, sejumlah kalangan bahkan mencapai titik distopia dengan justru memproyeksikan akhir dari demokrasi. Salah satunya disebutkan oleh penulis asal Inggris, Jamie Bartlett. Ia memandang bahwa dalam beberapa tahun mendatang, akan terjadi tarik-menarik antara teknologi dan politik. Kemenangan teknologi akan menghancurkan demokrasi dan tatanan sosial.

Selain itu, patut diingat juga bahwa para penyedia ruang digital, seperti Google, Youtube, dan Facebook bukanlah industri berbasis kebenaran dan moralitas. Mereka hanya menjalankan bisnis dengan dasar komodifikasi dan kapitalisasi. Dengan dasar model bisnis yang tidak sesuai tersebut, maka makin melanggengkan ketidaksesuaian pada prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, perkembangan terakhir demokrasi digital menunjukkan lebih banyak sisi negatif yang diperlihatkan oleh kebaruan bidang informasi dan komunikasi. Padahal, satu dekade lalu, inovasi teknologi sendiri masih menjadi sumber dari harapan besar kehidupan berdemokrasi (Kompas, 20/1/2020, “Demokrasi di Era 4.0”).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Spanduk ajakan untuk melawan penyebaran berita bohong atau hoaks yang marak menjelang Pemilu 2019 bertebaran di sejumlah penjuru DKI Jakarta, yang salah satunya ditemui di Jalan Kyai Maja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (29/1/2019). Pelaku penyebar hoaks bisa terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. Penyebar hoaks dapat terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

Dampak Demokrasi Digital

Konsep demokrasi sendiri meliputi dimensi elektoral dan politik. Terdapat berbagai dimensi kehidupan lain yang menjadi letak dinamika demokrasi. Dalam konteks demokrasi digital, situasi yang sama juga terjadi, dimana kehadiran demokrasi digital juga mendisrupsi kehidupan manusia. Berikut adalah sejumlah dimensi kehidupan yang memperoleh dampak dari kehadiran demokrasi digital.

Demokrasi Digital dalam Politik

Keterhubungan antara demokrasi digital dan dimensi politik begitu lekat dan niscaya untuk ditelisik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, demokrasi digital telah menciptakan bentuk baru praktik kekuasaan (saling pengaruh dan dominasi). Kompas (6/4/20220, “Menimbang Politik Digital”) mencatat bahwa kerja politik bertransformasi setelah internet diadopsi luas sejak 1990-an.

Transformasi pertama, dengan kehadiran “pemerintah elektronik” atau umum dikenal sebagai e-government. Konsep ini mengubah pola hubungan antara pemerintah, warga, dan dunia usaha. Internet menggeser konektivitas birokratis menjadi hubungan langsung. Publik sendiri juga bisa secara langsung terlibat dalam diskursus dengan pemerintah, baik menyampaikan keluhan, petisi, gagasan, dan ide anggaran.

Survei Litbang Kompas pada Februari 2020 menemukan bahwa praktik demokrasi digital dalam politik dan sipil nyata terjadi. Sebanyak 23,8 persen responden pun setuju untuk menggunakan penggunaan ruang-ruang digital sebagai alat sipil mengawasi pemerintah.

Meski begitu di saat bersamaan, survei ini menemukan bahwa digitalisasi telah menumpulkan daya berpikir kritis dan memampukan keterbelahan sosial masyarakat. Pemilu 2019 menunjukkan secara nyata hal ini.

Kedua, digitalisasi memudahkan terbangunnya jejaring koneksi antarwarga dalam tujuan demokrasi. Gerakan #GejayanMemanggil di Yogyakarta dan #ReformasiDiKorupsi di Jakarta yang pada September 2019 menunjukkan bagaimana aksi kolektif dapat dihimpun melalui kanal daring. Pembangunan jejaring tersebut menjadi lebih mudah dan massal karena keleluasaan koneksi. Lebih lagi, gerakan menjadi lebih fleksibel, minim komando, dan sulit terlacak karena cairnya identitas.

Dalam hal ini, justru tercipta masalah baru, yakni sulitnya identifikasi aksi-aksi dan profil kelompok penyerang. Kehadiran aksi terorisme yang diinisiasi secara daring atau kelompok peretas seperti kasus Bjorka (Agustus 2022). Kehadiran dua contoh tersebut minim identitas, namun berefek luas. Dampaknya, justru mencederai keluhuran demokrasi itu sendiri yang bersih dan anti kekerasan.

Ketiga, internet mengubah esensi komunikasi politik. Keterbukaan akses pengetahuan dan informasi melahirkan variasi sumber-sumber kebenaran yang bahkan tidak diketahui kredibilitasnya. Warga pun jadi sulit dikontrol dan mudah dipropaganda. Keberlimpahan informasi membuat masyarakat takabur dan tidak lagi mengandalkan daya kritis dan logika, melainkan faktor sentimental semata.

Budi Hardiman dalam buku Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, sampai Post-Sekularisme menuliskan bahwa hal ini lantas dimanfaatkan oleh para aktor yang terlibat dalam kontestasi politik elektoral.

Kampanye dilakukan bukan lagi dalam kapasitas sebagai wadah adu argumen gagasan, namun sarana membangun citra politik untuk menggaet sentimentalitas masyarakat. Dengan ini, para pemberi suara di bilik pun tidak lagi digerakkan oleh kebebasan demokrasi, namun oleh sentimen konformisme.

Di Indonesia, praktik demikian pekat ditunjukkan dalam Pilkada 2017 di Jakarta dan Pemilu 2019 lalu. Internet menodai sakralitas demokrasi dengan meniadakan daya kritis dan kebebasan logika dengan narasi-narasi kebencian. Praktik manipulasi dan pembelahan juga terjadi di negara-negara dengan kultur demokrasi yang telah mengakar lama dan kuat.

Pilpres Amerika Serikat pada 2016 lalu dan referendum di Inggris pada 2022 dinilai mempraktikkan penggunaan internet dan terobosan digital lain untuk merekayasa kebencian dan ketakutan saat kampanye.

Demokrasi Digital dalam Agama

Hadirnya evaluasi reflektif dalam keterhubungan demokrasi digital dan agama dapat ditilik lewat artikel “Sekelumit Masalah Agama dan Demokrasi di Era Digital: Sebuah Refleksi” oleh ilmuwan politik Dicky Sofjan. Ia memulai refleksinya tersebut dengan penjabaran bahwa secara historis, sistem demokrasi dan institusi agama telah terkait sejak lama.

Pada era Yunani kuno, rumusan “Vox Populi, Vox Dei” mengasumsukan bahwa suara masyarakat kebanyakan adalah suara Tuhan. Pada satu titik, prinsip egaliterian dan toleransi yang diusung oleh demokrasi selaras dengan ajaran-ajaran agama. Namun di sisi lain, menyamakan agama yang sifatnya ilahi dan transenden tidak selaras dengan sistem demokrasi sebagai hasil rumusan manusia dengan sifat imanen.

Berkebalikkan dengan tren privatisasi agama global, demokrasi digital di Indonesia justru mendorong deprivatisasi agama yang kian masif. Sofjan menyoroti bagaimana ruang-ruang digital yang terbuka lantas direspon oleh berbagai kelompok keagamaan untuk secara aktif dan masif bergerilya membombardir media sosial dengan pesan-pesan keagamaan.

Dalam keterbukaan yang ada, lantas muncul sosok-sosok pemimpin keagamaan baru dengan kualitas imitasi dan selebritis, menyampaikan narasi agama yang begitu jauh dari tujuan mendamaikan maupun membawa pada keselamatan surgawi. Nuansa kebencian dan propaganda yang menyesakkan tersebut dengan mudahnya lantas tersebar dalam berbagai kanal media sosial.

Data oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2018, ditemukan 997 hoaks yang beredar di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut terus meningkat secara drastis pada tahun-tahun berikutnya, yakni mencapai 1.221 temuan pada 2019 dan 2.298 temuan pada 2020. Kondisi demikian menjadi ancaman nyata bagi demokrasi itu sendiri.

Dari jumlah tersebut, tercatat bahwa isu politik dan agama menjadi mayoritas tema hoaks yang tersebar. Pada tahun 2018, hampir 12 persen dari hoaks yang ditemukan adalah mengenai agama. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi kedua setelah tema politik yang mencapai 49,94 persen.

Dengan produksi narasi agama yang penuh kebencian yang dapat dilakukan oleh siapapun, hilir mudik di ruang publik digital, dan tanpa adanya usaha meluruskan yang juga terus menerus, akhirnya hal ini menjadi suatu normalitas baru. Demagogi neraka apabila tidak memenuhi kepentingan tokoh agama tertentu pun menjadi suatu kelumrahan. Sofjan memandang bahwa situasi demikian membuat agama menjadi agresif dan retrogresif bagi demokrasi. Ia memaparkan kebutuhan “redefinisi dan reartikulasi” secara fundamental soal relasi agama dan demokrasi digital.

Kembali pada buku Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, sampai Post-Sekularisme, Budi Hardiman menyebutkan bahwa usaha penggunaan agama untuk suatu kepentingan manusiawi justru melukai demokrasi itu sendiri. Agama yang digunakan sebagai alat kepentingan mematikan rasionalitas masyarakat, dan menggantinya dengan sentimentalitas. Padahal, rasionalitas kesadaran adalah unsur penting dalam praktik demokrasi.

Infografis: Definisi Hoaks

Demokrasi Digital dalam Pers

Selain pada institusi politik dan agama, demokrasi digital juga menunjukkan dualitasnya pada wahana komunikasi yang hadir sebagai pengawas independen terhadap berbagai kemasyarakatan dan politik, yakni pers. Nasihin Masha dalam artikel “Pers dan Demokrasi di Era Post Truth” bahkan menyebutkan bahwa pers adalah wahana utama dalam mekanisme checks and balances sekaligus medium terbaik mewujudkan kesetaraan. Artinya, pers adalah alat pendukung terbaik akan demokrasi.

Selaras dengan apa yang disampaikan Emile Durkheim – bahwa perubahan akan selalu menimbulkan anomali dan mendisrupsi kemapanan – inovasi dunia digital juga berdampak signifikan pada pers.

Kompaspedia (6/1/2023, “Meneropong Pers di Era Digital”) mencatat bahwa dampak ini ditunjukkan dalam bisnis pers lewat penurunan omzet, pemotongan gaji karyawan, merumahkan karyawan, maupun PHK karyawan. Situasi tersebut dihadapi bukan hanya oleh Serikat Perusahaan Pers (SPs), tetapi juga industri radio (Persatuan Radio Swasta Nasional/PRSSNI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan televisi lokal.

Data dari Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyebutkan, readership atau tingkat keterbacaan dan oplah media cetak terus menurun secara signifikan. Selama periode Januari–April 2020, sebanyak 71 persen perusahaan pers cetak mengalami penurunan omzet lebih dari 40 persen dibandingkan tahun 2019.

Selain itu, 50 persen perusahaan pers cetak telah melakukan pemotongan gaji karyawan dengan rasio 2–30 persen. Sementara jumlah karyawan yang dilaporkan telah dirumahkan tanpa digaji dilakukan oleh 43,2 persen perusahaan pers cetak, dengan jumlah karyawan yang dirumahkan antara 25–100 orang per perusahaan.

Hingga titik yang lebih ekstrem, berbagai perusahaan pers cetak harus meninggalkan identitas historisnya dan beralih ke platform berita daring dan aplikasi berita digital. Dengan upaya ini, media massa pun mulai sangat tergantung pada platform digital.

Sebagaimana dikutip oleh Nasihin Masha, buku The Vanishing Newspaper oleh Philip Meyer meramalkan bahwa pada 2043, media cetak akan mengalami kematian. Namun, mengenai proyeksi yang demikian, bentuk koran cetak selalu menunjukkan pada dunia akan kebertahannya. Koran terus bertahan ketika diramalkan mati setelah kehadiran radio hadir yang kemudian disusuil kehadiran televisi.

Sejak dekade 1990-an, ancaman terbaru media cetak adalah internet. Masha menyoroti, berbeda dengan kehadiran radio dan televisi, keterbukaan ruang-ruang digital tidak hanya mendisrupsi penyaluran informasi dan berita.

Lebih dari itu, dunia digital melakukan desakralisasi terhadap profesi jurnalistik. Kini, semua orang mampu menjadi “jurnalis”, atau biasa dikenal sebagai citizen journalism (jurnalisme warga). Dengan kanal informasi yang terbuka lebar, semua orang mampu memainkan peran sebagai pendulang berita, melakukan diseminasi atasnya, dan membagikan informasi tersebut.

Dengan hal ini, dunia pers tidak hanya dihadapkan pada krisis bisnis, namun juga krisis kebenaran. Sosok-sosok “jurnalis” baru tersebut, bersamaan dengan informasi dan media yang mereka bawa, hidup dalam ruang kebebasan yang begitu luar biasa sehingga turut berdampak pada integritas kebenaran informasi. Akhirnya, para jurnalis konvesional harus dikalahkan oleh kecepatan sosok “jurnalis” baru ini dan ruang digital dipadati oleh informasi yang kerap dipertanyakan.

Krisis kebenaran yang dihadapi pers dalam demokrasi digital tersebut menjadi katalis bagi masuknya dunia pada era post-truth. Secara harafiah post-truth atau “pasca-kebenaran” menunjukkan sebuah momentum yang telah melampaui masa kebenaran, dimana demokrasi dinodai oleh tipuan dan krisis kredibilitas.

Dalam post-truth, ditemui tiga kondisi mendasar dalam era ini. yang pertama, post-truth merujuk pada kondisi/keadaan terkait sikap kecenderungan manusia. Yang kedua, kecenderungan tersebut terletak pada unsur perasaan dan keyakinan yang menjadi lebih determinan dalam memberi pengaruh. Ketiga, determinasi kedua unsur tersebut mengalahkan unsur fakta yang objektif (Kompaspedia, 16/7/2022, “Memahami Era Pascakebenaran”). (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Budiardjo, M. (1995). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Hardiman, F. B. (2018). Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-Setan”, Radikalisme Agama, sampai Post-Sekularisme. Yogyakarta: Kanisius.
  • Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Yogyakarta: Kanisius.
  • Kasali, R. (2017). Disruption. Jakarta: PT Gramedia.
  • Masha, N. (2021). “Pers dan Demokrasi di Era Post Truth”. Dalam Nasir Tamara et al., Demokrasi di Era Digital (hal. 226-232). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
  • Sofjan, D. (2021). “Sekelumit Masalah Agama dan Demokrasi di Era Digital: Sebuah Refleksi”. Dalam N. Tamara, Demokrasi di Era Digital (hal. 438-452). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
  • Sudibyo, A. (2016). “Lokalitas-Regionalitas Di Tengah-Tengah Ekspansionisme Digital”. Jurnal Dialog Kebijakan Publik: Demokrasi Digital dalam Pilkada Serentak 2017 Edisi 22, 20-27.
Internet
Arsip Kompas