Paparan Topik | Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda: Sejarah dan Makna Bahasa Indonesia

Sumpah Pemuda pada 1928 menegaskan Bahasa Indonesia merupakan pemersatu bangsa dari beragam latar belakang suku, adat, dan budaya. Selain memiliki nilai perjalanan sejarah, Bahasa Indonesia mempunyai makna bagi tumbuhnya dinamika kebudayaan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Video mapping yang mengambi cerita “Hai Pemuda Pemudi Indonesia” diproyeksikan pada sisi depan Gereja Katedral Jakarta dalam acara peringatan Hari Sumpah Pemuda, Sabtu (26/10/2019). Kegiatan yang melibatkan orang-orang muda tersebut akan berlangsung hingga Senin (28/10/2019) dengan mengusung tema “Dalam Semangat Sumpah Pemuda dan Amalkan Pancasila Kita Rajut Kesatuan dalam Kebhinekaan Indonesia”.

Fakta Singkat

  • Sumpah Pemuda berlangsung pada hari kedua Kongres Pemuda Kedua yang diinisiasi oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).
  • Ikrar persatuan Indonesia pada Sumpah Pemuda menyangkut tiga substansi berbeda, yakni Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa.
  • Akar Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu, yang telah hadir menjadi bahasa pemersatu di Nusantara sejak abad ke-7 pada zaman Kerajaan Sriwijaya.
  • Pada awalnya, Kongres Pemuda Pertama pada 1926 menggunakan terminologi “Bahasa Melayu” sebagai bahasa persatuan. Namun, hal ini menimbulkan penolakan.
  • Setelah menjadi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia memasuki babak baru sebagai bahasa resmi setelah ditetapkan pada 18 Agustus 1945.
  • Popularitas Bahasa Indonesia di masyarakat global ditunjukkan lewat tingginya minat studi Bahasa Indonesia.
  • Tercatat ada 143.000 pembelajar aktif yang mengikuti program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) oleh Kemendikbudristek (April 2022)
  • Di Asia Tenggara, jumlah penutur Bahasa Indonesia mencapai 40,89 persen dari total populasi.
  • Masalah utama yang dihadapi oleh Bahasa Indonesia adalah kebanggaan dalam berbahasa asli dan kurangnya pengetahuan dalam menggunakan bahasa secara baik dan benar.

Sumpah Pemuda 1928 membuktikan pemuda berkontribusi besar menjadi motor utama bagi perumusan jati diri atau identitas bangsa. Sumpah Pemuda lahir lewat inisiasi Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang melangsungkan Kongres Pemuda kedua pada Oktober 1928.

Mengacu pada laman resmi Museum Sumpah Pemuda, pelaksanaan kongres dibagi ke dalam tiga kali pertemuan, yang berlangsung dalam dua hari yang berbeda. Pembukaan kongres dilakukan di Jakarta pada 27 Oktober 1928. Di hari selanjutnya pada 28 Oktober 1928, kongres ditutup dengan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman dan pengumuman rumusan hasil kongres.

Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu lantas diucapkan sebagai “sumpah setia” yang berisi tiga alinea proklamasi tentang persatuan. Kini, bangsa Indonesia memperingati sumpah tersebut sebagai Sumpah Pemuda. Kelahiran dan kehadirannya terus diperingati hingga sekarang, yakni pada 28 Oktober.

Pada tahun 2022 ini, kehadiran Sumpah Pemuda memasuki usia peringatan yang ke-94 tahun. Substansi dalam Sumpah Pemuda berisi tiga makna persatuan: Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa Indonesia.

Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “bahasa” dipahami sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dalam penerapan sehari-hari, bahasa Indonesia dipergunakan dalam percakapan harian hingga bahasa tulis atau bahasa teks.

“Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”, bunyi dari Sumpah Pemuda yang mengikrarkan bahasa dalam kebanggaan dan semangat persatuan. Dalam perbedaan ribuan bahasa daerah dan atmosfer tekanan penjajah, kehadiran bahasa Indonesia menjadi simbol sekaligus alat pemersatu.

LITBANG KOMPAS/SLAMET JP

Sejarah bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia pada Era Nusantara

Meski secara normatif, kelahiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan terjadi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, akar kebahasaannya sendiri telah muncul sejak abad ke-7. Para pemuda PPPI tidak dengan sendirinya merumuskan susunan kebahasaan Indonesia. Akar bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu.

Mengacu pada laman Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek, Kongres Bahasa Indonesia II yang diselenggarakan pada 1954 di Medan menyatakan secara resmi bahwa akar bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu telah hadir sejak era Kepulauan Nusantara. Kehadirannya menjadi bahasa perhubungan (lingua franca), bahkan hingga hampir seluruh Asia Tenggara.

Pengaruh bahasa Melayu dengan proklamasi bahasa kesatuan oleh para pemuda juga tampak sebelum Kongres Pemuda kedua. Sebelumnya, para pemuda telah melaksanan Kongres Pemuda pertama pada 2 Mei 1926.

Kongres tersebut menghasilkan substansi yang tidak jauh berbeda dengan Sumpah Pemuda, namun tidak dilanjutkan karena poin ketiganya yang menimbulkan polemik. Poin tersebut berbunyi, “Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu”. Poin ini tidak dilanjutkan karena pada saat itu menimbulkan beragam polemik.

Kebahasaan Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu juga dijabarkan oleh Sahril dalam artikel ilmiah “Bahasa Melayu: Antara Barus dan Malaka”. Sebagai akar bahasa persatuan, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca terlebih dahulu dan berkembang sangat pesat di Indonesia. Cikal bakal bahasa Melayu berasal dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 di Sumatera. Masa kekuasaan kerajaan ini meninggalkan beragam prasasti, seperti prasasti Talang Tuo di Palembang dan prasasti Karang Brahi di Jambi.

Menurut Sahril, prasasti-prasasti yang telah ada sejak tahun 680-an Masehi tersebut menggunakan 70 persen kosakata Melayu kuno dan 30 persen meminjam dari bahasa Sanskerta.

Kerajaan Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu kuno yang dekat dengan Sanskerta sebagai bahasa pembelajaran kebudayaan utama. Namun, kerekatan bahasa Melayu dengan bahasa Sanskerta menurun setelah kemunduran Sriwijaya. Banyak daerah-daerah yang lantas melepaskan diri dan membentuk kerajaan kecil otonom.

Sejak itu, bahasa Melayu kian dipengaruhi oleh pengaruh dari luar, terutama bahasa Arab dan Persia. Hal demikian disebabkan oleh masuknya penyebaran agama Islam di Nusantara. Salah satu perkembangan bahasa Melayu yang cukup signifikan terjadi pada masa kekaryaan Hamzah Fansuri pada abad ke-16. Ulama sufi sekaligus sastrawan ini banyak berkiprah di Pasai, Aceh.

Pengaruh Fansuri terhadap kebahasaan Melayu termasuk dalam menuliskan karangan ilmiah pertama kalinya yang berbahasa Melayu. Hal demikian membuatnya memperoleh gelar “Bapak Bahasa dan Sastra Melayu”. Dalam sajak-sajak kesusasteraannya, Fansuri juga telah menunjukkan ciri-ciri kesusastraan modern. Lewat bahasa Melayu, Hamzah Fansuri telah memelopori kesusastraan khas Nusantara jauh sebelum pengaruh kolonialisme datang.

Dalam perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu yang demikian pesat, sejumlah kelompok pemuda pada Kongres Pemuda Pertama lantas mengangkatnya sebagai bahasa persatuan. Setelah penolakan yang terjadi, tokoh pemuda M. Tabrani mengusulkan agar bahasa Melayu diganti dengan istilah bahasa Indonesia. Hal ini pun disetujui bersama pada 2 Mei 1926.

Mengacu pada Sudaryanto dalam artikel ilmiah “Tiga Fase Perkembangan Bahasa Indonesia (1928–2009): Kajian Linguistik Historis”, lewat ikrar Sumpah Pemuda pada 1928, keberadaan atau eksistensi bahasa Indonesia pun diterima di masyarakat Indonesia. Penerimaan demikian menyebabkan orang Indonesia melihat bahasa Indonesia sebagai wujud bahasa persatuan bangsa Indonesia, juga dengan pandangan bahwa bahasa tersebut lain daripada bahasa Melayu.

Jejak sejarah bahasa Indonesia tidak berhenti sampai pada ikrar para pemuda tersebut. Pada tanggal 25–28 Juni 1938, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I di Solo. KBI I diselenggarakan atas prakarsa Soedardjo Tjokrosisworo, seorang wartawan harian dari Suara Umum Surabaya. Tjokrosisworo kerap menciptakan istilah-istilah baru karena tidak puas dengan pemakaian bahasa dalam surat-surat kabar Cina.

Kongres Bahasa Indonesia I mengangkat beragam topik kebahasaan. Termasuk di dalamnya seperti pengindonesiaan kata asing, penyusunan tata bahasa, pembaruan ejaan, pemakaian bahasa dalam pers, dan pemakaian bahasa dalam undang-undang dipandang sangat relevan dengan perkembangan bahasa Indonesia bagi periode setelahnya.

Sebagai hasil dari Kongres Bahasa Indonesia I, sejumlah tokoh kongres juga menyampaikan hal-hal penting akan bahasa Indonesia. Sanusi Pane selaku salah satu pembicara dalam kongres menuliskan bahwa pada titik waktu tersebut, bahasa Indonesia telah disadari tak semata sebagai simbol persatuan politik, namun juga dalam arti kebudayaan yang seluas-luasnya.

Sementara Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa kehadiran bahasa Indonesia adalah hasil dari bahasa Melayu yang telah mengalami penyesuaian menurut keperluan zaman. Pembaharuan bahasa demikian menujukkan bahwa secara esensial, bahasa Indonesia hadir dalam alam kebangsaan Indonesia untuk memudahkan rakyat.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO KOMPAS/ATM

Patung Ki Hadjar Dewantara didirikan di depan pendapa di kompleks sekolah Taman Siswa, Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, Senin (11/4/2016). Sekolah tersebut didirikan pada 3 Juli 1922 di kediaman almarhum tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara dan hingga kini masih terus berperan dalam mendidik generasi muda penerus bangsa.

Bahasa Nasional

Sudaryanto dalam artikel “Tiga Fase Perkembangan Bahasa Indonesia (1928–2009): Kajian Linguistik Historis” menuliskan, bahwa babak baru kebahasaan Indonesia dimulai pada 18 Agustus 1945. Setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, keesokan harinya Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara.

Ketetapan tersebut secara legal dimuat melalui Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia tahun 1945 Pasal 36. Bunyinya adalah, “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Seiring dengan ketetapan tersebut, Bahasa Indonesia yang awalnya semata merupakan bahasa persatuan, memasuki fase sebagai bahasa resmi negara.

Dengan status barunya sebagai bahasa resmi, lantas diadakanlah Kongres Bahasa Indonesia II (KBI II) di Medan pada 28 Oktober sampai dengan 2 November 1954. Berbeda dengan KBI I di Solo, Kongres Bahasa II ini diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia melalui Jawatan (setingkat kementerian) Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Lewat KBI II, diperoleh sejumlah keputusan termasuk penyusunan Panitia Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia. Dengan kehadiran historis yang panjang, yang telah dimulai pada tahun 1956, panitia ini berhasil menghasilkan embrio Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang diresmikan pada tahun 1972.

Selain dapat dilakukannya pengembangan epistemologi bagi kebahasaan itu sendiri, keputusan politik Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional juga memampukan pemerintah untuk dapat melakukan pengembangan bahasa dan pembinaan bahasa melalui Badan Bahasa. Pengembangan bahasa sendiri merupakan usaha untuk perluasan pemakaian bahasa Indonesia di luar masyarakat bahasa yang bersangkutan.

Sementara pembinaan bahasa dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan mutu penggunaan bahasa, termasuk peningkatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan berbahasa Indonesia yang dilakukan. Kedua usaha tersebut dilakukan melalui institusi pendidikan dan pemasyarakatan yang dapat mengukuhkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara.

Pengguna bahasa Indonesia

Seiring dengan penetapannya sebagai bahasa resmi tersebut, masyarakat pun kian identik dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa harian. Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan adanya peningkatan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari rumah tangga hingga setidaknya 9 persen dalam dua dekade (1990–2010).

Pada 1990, sebanyak 10,73 persen penduduk Indonesia menggunakan bahasa tersebut dalam aktifitas harian. Namun 20 tahun kemudian, lewat Sensus Penduduk Tahun 2010 ditemukan bahwa sebanyak 19,94 persen dari total penduduk Indonesia telah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa harian mereka. Data tersebut menunjukkan pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di rumah tangga meningkat hampir dua kali lipat.

Mengacu pada artikel “Penutur Bahasa Indonesia Capai 300 Juta Jiwa” dari laman Universitas Gadjah Mada, kini pengguna bahasa Indonesia telah mencapai jumlah pengguna bahasa Indonesia lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk yang menggunakan bahasa Indonesia telah mencapai jumlah 250 juta jiwa lebih dari total penduduk Indonesia yang mencapai 272 juta orang.

Dengan demikian, setidaknya terdapat 50 juta penutur bahasa Indonesia di luar negeri. Bahasa Indonesia telah menjadi variasi dialektal di negara-negara dalam kawasan Asia Tenggara, terutama di Malaysia yang berpenduduk 33 juta. Selain itu, kehadiran masyarakat diaspora Indonesia di berbagai dunia seperti di Amerika, Kanada, Jepang, Korea, dan Timur Tengah juga berkontribusi pada jumlah penutur bahasa.

Bahasa Indonesia terus digaungkan dan dikembangkan fungsi dan perannya sebagai bahasa nasional di Indonesia dan bahasa komunikasi di kawasan ASEAN. Perluasan pemakaian bahasa Indonesia mampu menguatkan peran ekonomi, politik, dan diplomasi kebudayaan Indonesia.

LITBANG KOMPAS/SLAMET JP
Infografik Sumpah Pemuda

 

Bahasa Indonesia di Mata Dunia

Seiring dengan proklamasi dan diakuinya Indonesia sebagai negara merdeka, bahasa nasional pun turut memperoleh pengakuan. Kompas.id (27/10/2018, “Pengutamaan Bahasa Indonesia”) bahkan mencatat, bahwa dalam usia negeri yang telah 77 tahun, bahasa Indonesia telah mendapat perhatian yang begitu luas oleh dunia internasional. Terbukti dari bagaimana masyarakat dunia terus membangun minat dalam mempelajari bahasa Indonesia.

Sejumlah negara tercatat telah mendirikan pusat-pusat studi Indonesia (Indonesian Studies). Beberapa di antara negara tersebut, antara lain, Korea, Jepang, Australia, Jerman, Polandia, Amerika, Spanyol, dan China. Berangkat dari studi kebahasaan, masyarakat asing tersebut lantas tertarik mendalami budaya Indonesia. Akhirnya kini, banyak orang asing yang sangat mahir berbahasa Indonesia.

Persebaran bahasa Indonesia di kalangan masyarakat internasional juga tidak lepas dari meningkatnya status kebahasaan Indonesia. Persebaran dan penggunaan bahasa Indonesia secara masif di masyarakat internasional menunjukkan fase baru bahasa Indonesia yang telah melampaui fungsinya sebagai bahasa nasional resmi.

Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, pada tanggal 28 Oktober hingga 1 November 2008 mengangkat tema “Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Pondasi Peradaban Bangsa”. Penggunaan terma internasional tersebut menjadi simbol akan memasuki masa bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.

Setahun setelah kongres dijalankan, pemerintah menebitkan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lewat Pasal 44, diperkuat penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.

Pengakuan dan antusiasme masyarakat asing demikian juga terlihat dari keikutsertaan pada program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Lembaga yang hadir di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ini berfungsi untuk menjadi wadah distribusi edukasi bahasa Indonesia sebagai instrumen soft power diplomacy.

Menurut laman Badan Bahasa Kemendikbudristek, pada akhir tahun 2020, tercatat sebanyak 355 lembaga penyelenggara program BIPA telah hadir di 41 negara berbeda dan diikuti oleh total 72.746 pembelajar. Dari jumlah tersebut, Badan Bahasa Kemendikbudristek memfasilitasi langsung 146 lembaga di 29 negara. Angka tersebut menjadi bukti nyata pengakuan atas vitalnya bahasa Indonesia oleh masyarakat global.

Pada tahun 2022 angka tersebut mengalami peningkatan yang begitu pesat. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, E Aminudin Aziz menyampaikan bahwa kini terdapat setidaknya 143.000 pembelajar aktif di lembaga BIPA, meningkat 50 persen lebih dari jumlahnya pada 2020. Tak hanya itu, kehadiran BIPA juga telah mencapai 49 negara. Aziz menekankan bahwa data pada 2022 ini menunjukkan tingginya minat masyarakat asing mempelajari Bahasa Indonesia (Kompas, 28/4/2022, Bangun Peta Jalan Bahasa Internasional).

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek E. Aminudin Aziz menyampaikan bahwa peluang internasionalisasi bahasa Indonesia begitu besar karena didukung oleh tingginya minat orang asing belajar Bahasa Indonesia. Hingga 2022 saja, di wilayah Asia Tenggara selain Indonesia, telah terdapat 5,2 juta orang yang menggunakan Bahasa Indonesia. Sementara di luar kawasan tersebut, terdapat setidaknya 4 juta orang.

Dengan tingginya persebaran demikian, sudah lebih dari satu dekade Bahasa Indonesia didorong menjadi bahasa internasional. Bahasa Indonesia memiliki kapasitas untuk tampil lebih di panggung dunia, dengan setidaknya menjadi bahasa pemersatu di kawasan Asia Tenggara. Hingga kini, Bahasa Indonesia telah digunakan dan dipelajari oleh lebih dari separuh anggota ASEAN. Di Asia Tenggara, jumlah penutur Bahasa Indonesia, termasuk penduduk Indonesia sendiri, mencapai 40,89 persen dari populasi (Kompas, 29/4/2022, Menduniakan Bahasa Indonesia).

Bahasa dan Budaya

Mengacu pada Kompas.id (26/3/2022, Paradoks dan Depolitisasi Bahasa), berdirinya sebuah bahasa selalu bersama dengan saudara kandungnya, yakni budaya. Di dalamnya terkandung ritual, sistem, dan pengetahuan tentang masyarakat pengguna bahasa itu sendiri.

Dalam hubungan demikian, apabila sebuah bahasa tidak pernah atau jarang digunakan, maka otomatis sistem dan pengetahuan akan budaya terkait juga bermasalah. Begitu pula bila Bahasa Indonesia tidak digunakan secara semestinya, maka sistem dan pengetahuan nasionalnya juga akan bermasalah. Di dalam bahasa, terkandung nilai historitas dan kebudayaan penggunanya. Begitu kehadiran budaya, diterjemahkan melalui kebahasaan.

Secara normatif, hilangnya kehadiran Bahasa Indonesia dalam peredaran kebahasaan dunia memanglah hampir mustahil. Meski begitu, kehadirannya sendiri dapat terganggu melalui budaya penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan. Logika bahwa bahasa berdiri sendiri harus diperbaiki untuk membangun kesadaran holistik terhadap penggunaan bahasa yang sesuai. Memelihara Bahasa Indonesia pun dapat dilakukan dengan dimulai dari kebanggaan atas budaya Indonesia.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Memperingati Hari Sumpah Pemuda, pelajar mengunjungi Museum 10 Nopember di Surabaya, Rabu (28/10/2015). Dalam museum tersebut mereka mendapat pembelajaran tentang perjuangn pemuda dari berbagai suku dan agama dalam mempertahankan kemerdekaan.

Dinamika Kontemporer Bahasa

Catatan historis telah menunjukkan kekuatan akar Bahasa Indonesia. Realita menunjukkan perkembangan masif Bahasa Indonesia dan fungsi pentingnya dalam masyarakat nasional maupun asing. Meski begitu, dalam usia peringatan Sumpah Pemuda yang ke-94, Bahasa Indonesia tetap saja memperoleh sejumlah permasalahan yang berpotensi menganggu penggunaan dan perkembangannya.

Masalah pertama yang muncul berangkat dari krisis nasionalisme sebagai sebuah kecenderungan yang terjadi pada konteks generasi baru di Tanah Air. Fenomena krisis nasionalisme ini ditekankan oleh Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia.

Dalam buku tersebut, Heryanto menekankan bahwa tren Asianisasi telah menjangkiti masyarakat urban dan kelas menengah Indonesia. Konsumsi budaya bergeser, bukan berkiblat pada Barat, melainkan pada produk-produk negara Asia. Sebut saja makanan Jepang, musik Korea Selatan, dan sinetron Thailand.

Kembali mengacu pada perspektif bahasa yang tidak berdiri sendiri, konsumsi produk budaya pop Asia demikian akan berdampak pada perubahan cara menggunakan bahasa. Di dunia, termasuk Indonesia, budaya Korea sendiri telah menyebar secara begitu masif dan cepat. Tingginya tingkat persebaran tersebut memunculkan istilah “Hallyu”, merujuk pada budaya pop Korea yang telah menyebar ke seluruh dunia. Persebaran budaya demikian demikian berdampak pada penggunaan bahasa pergaulan hari-hari masyarakat Indonesia. Selipan kata-kata dengan bahasa Korea dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia maya menjadi kian marak, seperti annyeong, saranghae, hyung, dan hwaiting.

Pada masyarakat Indonesia yang masih berkiblat pada budaya Barat, dapat ditemukan penggunaan Bahasa Inggris dan Indonesia secara campur-aduk. Fenomena demikian bahkan memunculkan istilah “bahasa Jaksel”. Istilah tersebut digunakan pada penyampaian bahasa secara bilingual dalam kalimat percakapan. Istilah bahasa Jaksel sendiri lekat dengan stereotip publik terhadap kelompok muda urban di daerah Jakarta Selatan.

Kompas.id (27/10/2018, Pengutamaan Bahasa Indonesia) menuliskan bahwa penggunaan orientasi bahasa asing yang campur-aduk demikian tidak hanya ditemukan pada kelompok masyarakat Indonesia semata. Hal serupa dapat ditemukan dalam penggunaan bahasa di ruang publik. Simbol bahasa tampak lewat papan lalu lintas, nama jalan, nama pertokoan, perumahan, promosi, dan seterusnya. Dalam wadah tulisan tersebut, Bahasa Indonesia kerap tenggelam oleh penggunaan bahasa asing yang justru lebih ditonjolkan di tanah Indonesia sendiri.

Perilaku pencampuradukan dengan bahasa asing hanya akan menggiring masyarakat pada mentalitas berbahasa yang rapuh. Kebiasaan demikian membuat artikulasi kosakata Bahasa Indonesia menjadi gagap. Tiap kosakata Bahasa Indonesia selalu merangkum empat entitas linguistik sekaligus: pengucapan, gramatika, ejaan, dan makna. Keempat entitas ini bersama mewakili alam kebatinan budaya penuturnya.

Akibatnya, apabila satu kata Indonesia diganti kosakata Inggris, ada empat entitas alam kebatinan penutur Indonesia yang tergantikan. Gejala demikian biasa diistilahkan sebagai “kreolisasi” dan “pijinisasi” sebagai penunjuk bagi penggunaan yang setengah-setengah (Kompas, 1/11/21, Revitalisasi Bahasa Indonesia).

Masalah kedua yang juga kerap muncul adalah kurangnya pengetahuan dan kemampuan berbahasa secara baik dan benar. Hal demikian tampak dari mudahnya menemukan kesalahan penulisan dalam berbagai produk bahasa. Surat-surat dan pengumuman resmi yang dikeluarkan lembaga pemerintah misalnya, sering tidak menggunakan kaidah bahasa sesuai.

Dari tingkat kelurahan sampai kementerian, acap ditemukan kesalahan penempatan awalan, akhiran, kata penghubung, hingga peletakkan tanda baca yang sering tidak memperhatikan maksud kalimat secara lengkap (Kompas.id, 21/6/2021, Tentang Bahasa Indonesia).

Sebagai contoh konkret, begitu mudah menemukan kesalahan penggunaan kata depan “di-” pada ruang-ruang publik. Petunjuk lokasi kerap menggunakan kata “diatas” daripada “di atas”. Sementara baliho-baliho di pinggir jalan kerap menggunakan kata “di jual” daripada “dijual”.

Kurangnya pengetahuan kebahasaan demikian juga membuat banyak padanan kata asli dalam Bahasa Indonesia tenggelam oleh kosakata baru yang diserap dari bahasa asing. Contohnya adalah kosakata “presenter” dan “pewara”. Keduanya telah baku sesuai KBBI V, tetapi kata presenter lebih banyak digunakan daripada pewarta. Hal serupa juga terjadi pada kata “mangkus” dan “sangkil” yang tenggelam oleh kata “efektif” dan “efisien”. Kata “lembayung” yang tenggelam oleh kehadiran kosakata “violet” (Kompas, 19/7/2022, Menata Kosakata).

Yang menjadi persoalan utama berkenaan dengan hal ini adalah, adanya pandangan umum bahwa bahasa adalah hal mudah dan merupakan bawaan. Pandangan demikian melihat mempelajari bahasa, baik lisan maupun tulisan, adalah hal yang tak perlu dipelajari secara khusus dan mendalam.

Akhirnya, kerap terciptalah argumentasi seperti “kan sudah bisa ngomongnya” atau ”kan sudah bisa menulis dan baca”. Padahal, kemampuan berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan, bukanlah suatu kualitas kemampuan yang bersifat “sekadar”. Kesalahan nalar dalam berbahasa hanya akan melanggengkan reduksi nilai bahasa itu sendiri, bahkan kebudayaan asli masyarakat (Kompas.id, 27/07/2021, Bahasa Indonesia).

Bahasa Persatuan

Bahasa Indonesia memiliki makna penting bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya sebagai bahasa resmi, kehadirannya juga menjadi simbol dan budaya persatuan. Melalui ikrar bahasa Sumpah Pemuda 1928, ribuan manusia dengan berbagai latar belakang bahasa dan budaya berbeda mampu bersatu. Oleh karena makna mendalam demikian, budaya persatuan demikian perlu dijaga melalui bahasa persatuan demikian. Cara utama dalam menjaga Bahasa Indonesia adalah dengan menggunakan bahasa tersebut secara baik dan benar.

Berbahasa secara baik berarti penggunaan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial masyarakat. Pemilihan ragam bahasa, antara formal dan non-formal, menjadi faktor penting dalam melakukan giat kebahasaan secara baik di masyarakat. Kurikulum 2013 mengangkat pendekatan pengajaran bahasa berbasis teks, sehingga bahasa bisa diperkenalkan kepada siswa sesuai dengan konteksnya dan tidak berupa satuan-satuan kata yang berdiri sendiri.

Sementara berbahasa secara benar berarti penggunaan kebahasaan sesuai dengan kaidah atau aturan berbahasa Indonesia. Dalam konteks kebahasaan Indonesia saat ini, kaidah berbahasa yang benar mengacu pada Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan atau EYD. EYD adalah pedoman resmi berbahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Dalam EYD, terkandung juga penambahan kaidah baru dan perubahan kaidah lama yang disesuaikan dengan perkembangan Bahasa Indonesia. Penambahan dan perubahan demikian menandakan keterbukaan bahasa Indonesia terhadap perkembangan. Oleh karena kandungan tersebut, EYD juga terus menerus disempurnakan dan disesuaikan lewat berbagai edisi. Terakhir, pada 16 Agustus 2022, Kemendikbudristek meluncurkan edisi EYD ke-5 yang dapat diakses secara terbuka melalui laman ejaan.kemdikbud.go.id (Kompas, 19/8/2022, Badan Bahasa Luncurkan EYD Edisi V).

KOMPAS/JB SURATNO

Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, Jumat (29/10/1976).

Salah satu cara konkret menjaga bahasa persatuan adalah melalui gerakan-gerakan pelibatan masyarakat luas, seperti ditunjukkan melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) oleh Badan Bahasa, Kemendikbudristek. GLN digaungkan dengan tujuan meningkatkan budaya literasi, khususnya minat membaca buku non-teks pelajaran dan minat menulis di kalangan generasi muda. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan pegiat komunitas literasi, juga terdapat kegiatan Pembinaan Komunitas Literasi.

Selain kegiatan literasi, perbendaharaan kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga terus dikembangkan. Pengembangkan demikian dilakukan untuk menjaga Bahasa Indonesia tetap adaptif dengan perubahan dan kebutuhan zaman. Melalui teknologi digital Google Trends, Badan Bahasa melakukan pengembangan dengan mendata kata/istilah dalam fenomena teraktual selama satu tahun.

Pada akhirnya, ancaman utama kepunahan bahasa selalu berasal dari masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Ketika terjadi dorongan mobilitas vertikal, masyarakat menjadi kian enggan dengan penggunaan bahasa sendiri, dan berangsur-angsur beralih ke bahasa kerja yang dianggap lebih adaptif dan populer dengan tuntutan zaman meski bukan bahasa sendiri (Kompas, 1/11/2021, Revitalisasi Bahasa Indonesia).

Penggunaan berbahasa yang baik dan benar menjadi cara terbaik dalam menjaga eksistensi Bahasa Indonesia. Selain itu, budaya berbahasa baik dan benar dapat menjadi bukti konkret bagi masyarakat Indonesia untuk menjunjung makna Sumpah Pemuda. (LITBANG KOMPAS)

Artikel terkait

Referensi

Arsip Kompas
  • Kompas. (2021, November 1). Revitalisasi Bahasa Indonesia. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 7.
  • Kompas. (2022, Agustus 19). Badan Bahasa Luncurkan EYD Edisi V. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
  • Kompas. (2022, April 28). Bangun Peta Jalan Bahasa Internasional. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1 & 15.
  • Kompas. (2022, Juli 19). Menata Kosakata. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
  • Kompas. (2022, April 29). Menduniakan Bahasa Indonesia. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6. 
  • Kompas.id. (2018, Oktober 27). Pengutamaan Bahasa Indonesia. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2018/10/27/pengutamaan-bahasa-indonesia
  • Kompas.id. (2021, Juni 21). Tentang Bahasa Indonesia. Diambil kembali dari kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/21/tentang-bahasa-indonesia
Buku, Jurnal, dan Paparan
  • Forum Mangunwijaya IX. (2015). Humanisme Y. B. Mangunwijaya. PT Kompas Media Nusantara: Jakarta.
  • Heryanto, A. (2019). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Sahril. (2020). Bahasa Melayu: Antara Barus dan Malaka. SIROK BASTRA, Vol. 8 No. 2, 196-210.
  • Sudaryanto. (2018). Tiga Fase Perkembangan Bahasa Indonesia (1928-2009): Kajian Linguistik Historis. AKSIS Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 2 No. 1
  • Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan. 1997.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  • Leirissa, RZ, Sutjianingsih, S, Ohorela, GA, Haryono, Suryo, Ibrahim, dan Muchtarudin. 1989. Sejarah Pemikiran tentang Sumpah Pemuda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Merayakan Indonesia Raya. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Internet