KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pelajar berbusana adat membawa bendera merah putih sepanjang 2.000 meter dalam rangkaian Sumpah Merah Putih di area Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (26/10/2019). Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober ini diisi dengan pentas sosio drama Kita Merah Putih, pembacaan Sumpah Merah Putih yang dipimpin Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan kirab bendera merah putih. Kegiatan ini untuk mengingatkan generasi muda agar menjaga kebhinekaan dalam mengisi kemerdekaan.
Fakta Singkat
Bendera Merah Putih dikibarkan pertama kali
Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta menjadi saat kali pertama bendera merah putih dikibarkan.
Jejak warna bendera
Warna bendera merah-putih mempunyai jejak sejarah yang panjang selama 6000 tahun.
Warna merah putih mulia
Masa Kerajaan Majapahit dan Mataram warna merah putih dimuliakan dengan memuja kembang tunjung merah putih,
Warna merah putih pelindung
Kitab Babad Mataram menyebutkan bahwa ketika Sultan Agung (1618-1645) menyerang negara Pati dan tentaranya, mereka bernaung di bawah dwiwarna.
Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta menjadi titik kelahiran perjuangan mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Para pemuda tidak hanya bersepakat untuk berbahasa satu, berbangsa satu, dan bertumpah darah satu. Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya bendera Merah-Putih dikibarkan serta lagu Indonesia raya ciptaan Wage Rudolf Supratman diperdengarkan. Bendera dan lagu tersebut kemudian disepakati menjadi lambang kebangsaan.
Pertanyaannya bagaimana para pemuda menyepakati bendera merah putih sebagai penanda bangsa yang kenyataanya baru merdeka 17 tahun kemudian? mengapa warna merah dan putih yang dipilih? Jawabannya mungkin keputusan para pemuda kala itu dilandasi oleh kenyataan sejarah Indonesia di masa sebelumnya. Jika merujuk pada hasil kajian sejarahwan Prof H Muhammad Yamin (Buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, Balai Pustaka 2016), warna merah-putih mempunyai jejak sejarah yang panjang selama 6000 tahun.
Awal Mula Penggunaan Merah-Putih
Berdasarkan penelitiannya, Yamin mempunyai sebuah teori universal, bahwa merah-putih mungkin telah muncul sejak enam milenium sebelumnya, seiring dengan masuknya peradaban dari Yunnan dan Bacson-Hoa di Benua Asia Timur menuju tanah air Indonesia 6000 tahun yang lalu. Penelitian terhadap bahasa yang digunakan oleh masyarakat di kala itu menemukan penggunaan kata merah-putih sebagai lambang penghormatan kepada cahaya matahari dan bulan. Matahari diwakili dengan warna merah, dan bulan dilambangkan dengan warna putih.
Teori Yamin diperkuat dengan hasil temuan arkeologi berusia 4000 tahun di Pagaralam (Sumatera Selatan) berupa makam batu yang dihiasi manik dari tanah merah dan putih. Di bagian dinding makan itu juga terdapat lukisan berwarna merah-putih.
Bukti penggunaan warna merah-putih pada sejumlah kerajaan di Nusantara juga terekam dalam beberapa catatan yang ditemukan. Seperti misalnya dalam catatan yang menceritakan pemberontakan di Kerajaan Singosari pada tahun 1292 yang dilakukan oleh Jayakatwang ketika melawan tentara Raden Wiajaya. Dikatakan bahwa adanya panji-panji (umbul-umbul) merah-putih yang digunakan.
Bukti terekamnya warna merah-putih juga terlihat pada ukiran dinding Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9. Pada ukiran tergambar tiga orang hulubalang membawa umbul-umbul yang disebut Pataka atau bendera berwarna gelap terang yang diduga melambangkan warna merah-putih. Catatan lain terkait dwiwarna ini juga terdapat pada ukiran dinding Candi Mendut yang berlokasi tidak jauh dari Borobudur. Tampak ukiran bunga tunjung (teratai) mabang (merah) dan tunjung maputeh (putih).
Baca juga: Perkumpulan Pemuda Pencetus Sumpah Pemuda
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana pelaksanaan Kongres Pemuda II yang menjadi sejarah tonggak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tersaji dalam diorama di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, Kamis (25/10/2018). Menjelang peringatan Sumpah Pemuda pada Minggu (28/01/2018), museum ini ramai dikunjungi warga yang ingin mempelajari lebih dekat sejarah yang melahirkan sumpah untuk meleburkan berbagai latar belakang perbedaan menjadi satu Indonesia.
Bunga Tunjung merupakan simbol warna alami yang banyak digunakan pada masa berkembangnya agama hindu-buddha. Hal ini terlihat dari banyaknya ornamen bunga tunjung yang dijadikan teladan pada ukir-ukiran Jawa Kuno, Hindu. Salah satu kerajaan yang menggunakan merah-putih pada seni pahatnya yaitu kerajaan Tarumanegara (358-669 M). Pemujaan terhadap tunjung merah putih juga tercermin dalam perbandingan keindahan dalam buku-buku kesusastraan seperti Ramayana karangan Empu Sedah.
Selain itu, di masa Kerajaan Majapahit dan Mataram warna merah putih juga dimuliakan dengan memuja kembang tunjung merah putih, seperti tertulis dalam karangan Prapanca yang berjudul Negarakertagama di mana di dalamnya diceritakan bahwa bendera merah putih sudah menjadi benda sakral yang selalu digunakan setiap kali upacara hari kebesaran Raja Hayam Wuruk (1350 -1389). Dari sini terlihat bahwa warna merah putih menjadi perlambangan warna dari alam yang dimuliakan karena berhubungan dengan rasa keagamaan dan kepercayaan.
Baca juga: Organisasi Pemuda Indonesia, Sumbu Pemersatu Bangsa
Sumber: Kanal Youtube Harian Kompas, 28 Oktober 2015
Infografik Terkait
Makna Pelindung
Selain mengandung makna pemuliaan, warna merah-putih juga bermakna sebagai pelindung. Keraton Susuhan Paku Buwono misalnya, yang menggunakan warna Gula-Kelapa untuk menyimbolkan merah-putih. Penggunaan Gula-Kelapa pada umbul-umbul Kerajaan Mataram juga diwariskan oleh Kiai Ageng Tarub, dan terus dimuliakan oleh Sultan Agung serta raja-raja penerusnya. Kitab Babad Mataram menyebutkan bahwa ketika Sultan Agung (1618-1645) menyerang negara Pati dan tentaranya, mereka bernaung di bawah dwiwarna tersebut.
Tidak hanya kerajaan di Jawa saja, Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan juga menggunakan warna-merah putih dalam benderanya. Raja Bone bernama Karrampeluwa (1398-1470) diceritakan pernah mengibarkan bendera Woromporong berwarna putih dengan diiringkan dua umbul-umbul merah di kiri-kananya yang bernama Callae ri (kanan) dan Callae ri abeo (kiri). Bendera ini menjadi simbol kebesaran dan kekuasaan kerajaan Bone.
Memasuki era kolonialisme Belanda pada abad ke-19, penggunaan umbul-umbul gula-aren pernah digunakan pada perang Diponegoro saat melawan Belanda (1825-1830) oleh barisan rakyat. Penggunaan umbul-umbul merah dan putih diyakini rakyat bisa melindungi mereka dari segala marabahaya.
Penggunaan warna merah putih sebagai Panji perang juga digunakan oleh Sisingamangaraja IX (1845-1907) yang berasal dari Batak. Bendera yang digunakan yaitu bendera dengan latar warna merah dan putih, serta pedang ganda yang juga berwarna putih. Dua pedang yang digambarkan tersebut merupakan pusaka milik keturunan Sisingamangaraja, yaitu Piso Gaja Dompak.
Para pemimpin dan pengikut Gerakan Paderi di Sumatera Barat menggunakan sorban berwarna merah dengan jubah berwarna putih untuk menandai gerakan perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda. Penggunaan warna merah-putih berhubungan dengan warisan warna dari bendera kerajaan Minangkabau di abad ke-14. Hal ini seperti yang tertulis dalam kitab Tembo Alam tahun 1840, dimana dalam kitab tersebut dituliskan bahwa bendera alam Minangkabau memiliki warna dasar merah-putih-hitam.
Baca juga: Cerita Museum Sumpah Pemuda, Gedung Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liong
Lambang Perjuangan Meraih Kemerdekaan
Makna merah-putih sebagai simbol perlawanan dan pemuliaan tadi selanjutnya digunakan sebagai landasan perjuangan meraih kemerdekaan di abad ke-20. Merah-putih menjadi corak yang dipilih sebagai lambang kemerdekaan nasional yang akan diwujudkan. Lambang merah-putih ini pertama kali digunakan pada tahun 1922 oleh mahasiswa-mahasiwa Indonesia di Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) yang mengingnkan Indonesia merdeka. Bentuknya yaitu bendera merah-putih disertai kepala kerbau.
Penggunaan warna merah-putih sebagai simbol organisasi juga dilakukan oleh Ir Soekarno sewaktu mendirikan Partai nasional Indonesia (PNI) di tahun 1927. Bendera merah-putih dengan kelapa Banteng ditengahnya sengaja dipilih untuk menyiratkan tenaga rakyat yang memberontak demi menegakkan kemerdekaan.
Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi titik awal pengakuan bendera merah-putih sebagai bendera kebangsaan. Kejayaan di masa lalu seperti yang terjadi pada era Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya untuk menyatukan seluruh Nusantara, menjadi landasan historis munculnya semangat nasionalisme, termasuk juga penggunaan corak warna merah-putih. Warna merah-putih pun ditafsirkan sebagai keberanian yang dilandasi oleh kesucian selama mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo menyerahkan Bendera Merah Putih kepada anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Salma El Mutafaqqiha Putri Achzaabi dalam upacara peringatan HUT ke-74 Republik Indonesia di Istana Merdeka Jakarta, Sabtu (17/8/2019). Kegiatan tersebut diikuti para tamu undangan dengan menggunakan pakaian tradisional dan disemarakkan oleh pentas seni budaya dari berbagai daerah.
Identitas Nasional
Bendera merah-putih resmi digunakan sebagai Identitas bangsa setelah Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Bendera merah-putih yang dikibarkan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta ini awalnya disebut Sang Saka Merah Putih. Tetapi, kemudian diubah ditujukan untuk setiap bendera merah-putih yang dikibarkan pada setiap upacara bendera. Sementara Bendera yang dan dijahit oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Soekarno, disebut sebagai Bendera Pusaka.
Aturan tentang bendera sebagai identitas kebangsaan pun diatur dalam Bab 15 UUD 1945 Pasal 35 dan Pasal 36A. Sementara hal-hal terkait dengan praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera merah-putih, diatur dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan.
Baca juga: Semangat Sumpah Pemuda
Referensi
- Winarno, Bondan.(2002).Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka. TSA Komunika: Jakarta.
- Yamin, Muhammad. (2016).6000 Tahun Sang Merah Putih. Balai Pustaka: Jakarta.
- Benderaku, Benderamu” KOMPAS, 19 Agustus 2007, hal. 27
- “Makna Merah Putih Bangi Bangsa”, KOMPAS, 10 Agustus 2009, hal. 10
- “Merah Putih dan Kuto Besak, KOMPAS, 11 Januari 1987, hal. 8.
Penulis:
Arief Nurrachman
Editor:
Susanti Agustina Simanjuntak
Artikel Terkait