Tokoh

WR Supratman

WR Supratman adalah komposer dan pencipta lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Lagu itu pertama kali dibawakan dalam nada-nada instrumental gesekan biola saat diselenggarakan Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Lagu-lagu perjuangan ciptaannya berperan besar menggelorakan semangat bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan.

Fakta Singkat

Nama Lengkap
Wage Rudoft Supratman

Lahir
Purworejo, 19 Maret 1903

Almamater
Tweede Inlandscheschool (Sekolah Angka Dua)
Normaalschool (Sekolah Pendidikan Guru)

Jabatan
Pahlawan Nasional, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

Wage Rudolf Supratman atau sering dipanggil WR Supratman adalah sosok yang menuai perdebatan. Perdebatan bukan pada kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan melainkan terkait informasi tentang tanggal lahir yang menjadi penanda sejarah tokoh tersebut. Ada yang menyebut tanggal 9 Maret 1903, tapi sebagian lainnya meyakini ia lahir 10 hari setelahnya, yakni 19 Maret. Kedua tanggal tersebut, dalam kalender Jawa, jatuh pada hari pasaran Wage, yang menjadi nama kecil tokoh tersebut.

Buku-buku sejarah menulis bahwa WR Supratman lahir di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) Jakarta, 9 Maret 1903. Bahkan, makam WR Supratman di Surabaya mencantumkan tanggal kelahirannya itu dalam sebuah prasasti.

Merujuk tanggal itu, kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional di Istana Negara pada 10 Maret 2003. Kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional yang diperingati tiap tanggal 9 Maret.

Namun, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo Nomor 04/Pdt/P/2007/PN PWR pada 29  Maret 2007, tanggal lahir WR Supratman ditetapkan pada 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo. Putusan pengadilan tersebut disetujui oleh keluarga WR Supratman. Penetapan PN Purworejo sekaligus mengoreksi keterangan tentang WR Supratman selama ini yang lahir di Jatinegara, Jakarta, pada tanggal 9 Maret 1903.

Terlepas dari perdebatan dua versi tanggal kelahirannya, peran WR Supratman dalam perjuangan merebut kemerdekaan tak bisa diragukan. Berkat lagu-lagu ciptaannya, ia berhasil mengelorakan semangat bangsa Indonesia memperjuangan kemerdekaannya hingga terwujud pada 17 Agustus 1945, tujuh tahun setelah kematiannya.

Tumbuh di Makassar

Wage Rudolf Supratman lahir pada tanggal 19 Maret 1903 di Dusun Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Ia adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen. Sang ibu memberi nama Wage, yang diambil dari salah satu nama hari pasaran Jawa.

Walaupun lahir di Purworejo, Wage, begitu nama kecilnya, tidak tinggal di desa tersebut. Tiga bulan setelah lahir, orang tuanya membawanya ke Meester Cornelis (Jatinegara), Jakarta. Sebagai seorang tentara KNIL, sang Ayah menambahkan nama Supratman dan segera mencatatkan kelahiran anaknya di kota tersebut.

Wage Supratman memulai pendidikan di Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Jakarta pada 1907, saat usianya 4 tahun. Di sekolah itu, dia diajarkan permainan dan dasar-dasar bahasa Belanda. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di perguruan Budi Utomo tahun 1909, namun setahun kemudian ayahnya pensiun dari KNIL dan seluruh keluarga pindah ke Cimahi, Bandung. Wage pun kemudian melanjutkan pendidikan dasarnya di Bandung.

Tahun 1912, sang ibu meninggal dunia dan ia diasuh oleh ayahnya yang kemudian menikah lagi. Ketika kakak sulungnya Roekijem Supratiyah dan suaminya tiba di Cimahi untuk menjenguk ayahnya, Wage menyatakan keinginannya untuk ikut sang kakak ke Makassar.

Tahun 1914, Wage bersama kakak sulungnya Roekijem dan suaminya seorang pria peranakan Belanda-Indonesia Willem van Eldick tiba di Makkasar. Kemudian, kakak iparnya menambahkan nama Rudolf pada Wage Supratman. Tujuan penambahan nama itu supaya bisa dimasukkan ke sekolah Europese Lagere School dan statusnya disamakan dengan Belanda. Nama lengkapnya kemudian, seperti dihafal sampai sekarang sebagai Wage Rudolf Supratman.

Ia disekolahkan dan dibiayai oleh kakak iparnya yang merupakan seorang gewapande politie atau polisi bersenjata di masa Hindia Belanda. Selama tinggal bersama kakak sulungnya itu, WR Supratman melanjutkan pendidikannya di Tweede Inlandscheschool (Sekolah Angka Dua) dan selesai tahun 1917.

Pada tahun 1919, Wage lulus ujian Klein Ambtenaar Examen (ujian untuk calon pegawai rendahan). Setelah lulus KAE, Wage melanjutkan pendidikan ke Normaalschool (Sekolah Pendidikan Guru). Di Makassar itulah, Wage mulai belajar memainkan alat musik gitar dan biola pada kakak iparnya. Kepiawaiannya bermusik itu pula mendorongnya dalam menciptakan lagu-lagu perjuangan.

WR Supratman bersama dua adiknya

Karier

Pada usia 17 tahun, Wage bersama kakak iparnya mendirikan dan memimpin band jazz “Black and White”. Sebelumnya, kakak iparnya itu memberi hadiah biola kepada WR Supratman ketika ulang tahunnya yang ke-17 tahun pada 1920. Sambil bermusik dan sering bermain di gedung Societeit Makassar, Wage menjadi guru bantu di Sekolah Angka Dua Makassar.

Wage bekerja sebagai klerk atau juru tulis di Firma Nedem, kemudian ia pindah ke kantor advokat terpandang, Schulten, sebagai juru tulis di firma tersebut. Disela-sela bekerja di kantor pengacara, Wage tetap mengasah kemampuannya bermusik.

Sejak dia bekerja di Firma Schulten, Wage mendapat bacaan berbagai koran yang sebagian koran itu dikelola kalangan pergerakan. Sejak itu, jiwa nasionalismenya bangkit dan ia mulai mengikuti perjuangan pergerakan kemerdekaan dengan mendatangi rapat-rapat kalangan pergerakan.

Kegiatannya itu akhirnya diketahui oleh Dinas Rahasia Pemerintah Hindia Belanda. Mengingat ia adalah adik ipar seorang militer yang tinggal di kompleks militer dan kegiatannya bisa mengancam karier kakak iparnya, akhirnya Wage memutuskan meninggalkan Makassar dan kembali ke Jawa.

Tahun 1924, Wage kembali ke Jawa dan tinggal beberapa waktu di rumah kakaknya di Surabaya. Kemudian, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan koran Kaoem Moeda di kota tersebut. Selain menjadi wartawan, Supratman masih terus mengasah keahliannya bermusik dan menggubah lagu.

Setahun kemudian ia pindah ke Jakarta dan menjadi juru warta surat kabar Sin Po, surat kabar Tionghoa-Melayu. Sejak saat itu, Supratman rajin menghadiri rapat-rapat organisasi pemuda dan rapat-rapat partai politik yang diadakan di Gedung Kenari dan Gedung Kramat 109. Sejak hijrah ke Jakarta, WR Supratman berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Husni Thamrin dan Soekarno.

Selama menjadi wartawan, ia pernah meliput Kongres Pemuda Indonesia I (30 April – 2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda Indonesia II (27–28 Oktober 1928) yang dia tulis di koran Sin Po.

Pada bulan Oktober 1928, di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres itu, Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental menggunakan biola di depan peserta umum. Pada saat itulah, untuk pertama kalinya lagu yang kemudian menjadi “Indonesia Raya” dikumandangkan di depan umum.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Biola WR Supratman dipamerkan dalam pameran peringatan Hari Museum Nasional di kawasan Kota Tua, Jakarta, Jumat (11/10/2019).

Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, lagu yang merupakan wujud rasa persatuan dan keinginan merdeka itu selalu dinyanyikan. Salah satunya, dalam pembukaan Kongres PNI pada 18–20 Desember 1929 di Jakarta, semua peserta berdiri menyanyikan lagu tersebut dengan diiringi biola WR Supratman.

Dalam perkembangannya, lagu itu sempat dilarang Pemerintah Hindia Belanda karena dinilai menganggu ketertiban dan keamanan. Selaku pencipta, Supratman tak luput dari ancaman. Kehidupannya tidak lagi tenang karena diburu oleh polisi rahasia Hindia Belanda.

Sejak Juli 1933, kondisi kesehatan Supratman terus memburuk. Pada November 1933, ia berhenti sebagai wartawan Sin Po, dan menetap secara berpindah-pindah. Mula-mula tinggal di Cimahi, kemudian di Palembang. Pada bulan April 1937, Supratman yang dalam keadaan sakit pergi ke Surabaya, ke rumah kakaknya di Jalan Mangga.

Meski dalam kondisi kesehatan yang kurang baik, Supratman masih terus bermusik. Tanggal 7 Agustus 1938, WR Supratman ditangkap Belanda di studio Radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep) di Jalan Embong Malang Surabaya, lantaran lagunya yang berjudul “Matahari Terbit” dinyanyikan pandu-pandu KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) di radio tersebut.

Lagu itu dianggap simpati pada kekaisaran Jepang. Ia sempat ditahan di Penjara Kalisosok, Surabaya, kemudian dilepas setelah Belanda tidak dapat menemukan bukti-bukti bahwa dirinya bersimpati kepada Jepang.

Pada tanggal 17 Agustus 1938, Supratman meninggal dalam usia 35 tahun di kediamannya di Jalan Mangga No. 21, Tambak Sari, Surabaya. Jasadnya dikebumikan di Kenjeran, Surabaya dengan pelayat yang jumlahnya tak lebih dari 40 orang. Tanggal 13 Maret 1956, kerangka jenazahnya dipindahkan ke makam baru di Tambak Segaran Wetan dengan upacara resmi.

Makamnya kemudian dipugar dan dipercantik dengan pintu masuk yang berada di sebelah timur. Makamnya terbuat dari marmer berbentuk segi empat dan bagian tengahnya diberi motif biola. Di bagian halaman kompleks makam juga terdapat patung WR Supratman yang sedang memainkan biola, prasasti Lagu Indonesia Raya, dan prasasti riwayat hidup WR Soepratman. Komplek makam ini diresmikan oleh Presiden Megawati pada 18 Mei 2003.

Dalam prasasti riwayat hidupnya dicantumkan pesan terakhirnya yang berbunyi “Nasibkoe soedah begini inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal saja ikhlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan carakoe, dengan biolakoe, saja jakin Indonesia pasti Merdeka.”

Selama hidupnya, WR Supratman sudah menciptakan puluhan lagu yang mengobarkan semangat patriotisme dan nasionalisme. Berikut adalah lagu-lagu ciptaannya: Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” (1928), “Indonesia Iboekoe” (1928), “Bendera Kita Merah Poetih” (1928), “Bangunlah Hai Kawan” (1929), “Raden Adjeng Kartini” (1929), “Mars KBI (Kepandoean Indonesia)” (1930), “Di Timur Matahari” (1931), “Mars PARINDRA” (1937), “Mars Surya Wirawan” (1937), “Matahari Terbit Agustus” (1938), dan “Selamat Tinggal” (belum selesai, 1938).

Ia juga menulis buku sastra, yakni Perawan Desa (1929), Dara Moeda (1930), dan Kaoem Panatik (1930). Buku Perawan Desa pada tahun 1930 disita dan dilarang beredar oleh Polisi Hindia Belanda.

Monumen di kompleks makam WR Soepratman.

Daftar Penghargaan

  • Bintang Mahaputra Anumerta III (1960)
  • Gelar Pahlawan Nasional kepada WR Supratman (1971)
  • Bintang Mahaputra Utama (1974)
  • Tanggal lahirnya versi 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional.

Penghargaan

Atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1960, WR Supratman mendapatkan penghargaan dari pemerintah berupa anugerah Bintang Mahaputra Anumerta III, setelah itu melalui surat keputusan Presiden RI No.16/SK/1971 tanggal 10 November 1971, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada WR Supratman. Kemudian melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 017/TK/Tahun 1974 tanggal 19 Juni 1974 Presiden RI menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama kepada WR Supratman.

Sebagai penghormatan pada sosoknya, tanggal lahir WR Supratman versi tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Hal itu dicanangkan Presiden Megawati pada tahun 2003. Sepuluh tahun kemudian, hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Keppres itu disebutkan, penetapan Hari Musik Nasional merupakan upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik Indonesia, meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi para insan musik Indonesia, serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat musik Indonesia secara nasional, regional dan internasional.

KOMPAS/PAT HENDRANTO (PH)

Peringatan Hari Pahlawan 10 November diperingati dengan kesederhanaan tapi khidmat di berbagai tempat seluruh tanah air. Di Istana Negara, Presiden Soeharto hari Rabu 10 November 1971 menganugerahkan gelar pahlawan Nasional kepada almarhum Wage Rudolf Supratman dan Nyai Achmad Dahlan serta Bintang Mahaputra kepada Alm. Osa Maliki.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Diorama WR Supratman di Museum Sumpah Pemuda di jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat

 

Lagu Indonesia Raya

Pada Kongres Pemuda Indonesia II di Jakarta, Supratman dalam kedudukan sebagai wartawan Sin Po diberi kesempatan tampil oleh Sugondo Djojopuspito selaku ketua panitia. Pada kesempatan jam istirahat, pada malam kedua sekaligus malam penutupan pada 28 Oktober 1928, Supratman tampil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gesekan biola.

Lagu “Indonesia Raya” kembali dinyanyikan pada akhir bulan Desember 1928, saat pembubaran panitia kongres kedua. Ketiga kalinya, dikumandangkan saat pembukaan Kongres PNI pada 18–20 Desember, dan pada kesempatan itu hampir semua hadirin serentak berdiri dan memberi penghormatan pada lagu tersebut.

Dalam perjalanan sejarahnya, lagu “Indonesia Raya” karya WR Supratman itu mengalami beberapa perubahaan sejak disepakati menjadi lagu perjuangan dan berlanjut menjadi lagu kebangsaan. Perubahan tak hanya menyangkut pada tempo dan irama lagu, tetapi juga pada syairnya. Meski demikian, semangat dan rohnya tetap sama seperti saat pertama kali lagu itu diciptakan.

Perubahan pada naskah asli WR Supratman dilakukan Soekarno pada bagian refreinnya. Naskah asli “Indones, Indones, merdeka, merdeka/ Tanahku, negriku, yang kucinta”, karena larangan Belanda untuk “merdeka”, maka Soekarno menyarankan mengubahnya menjadi “Indonesia Raya, mulia, mulia / Tanahku, negriku, yang kucinta”. Kemudian, pada zaman Jepang, lirik ini diubah lagi menjadi “Indonesia Raya, merdeka, merdeka / Tanahku, negriku yang kucinta.”

Meski beberapa kali diubah, setelah kemerdekaan, lagu “Indonesia Raya” belum seragam. Untuk mengatur itu, tanggal 26 Juni 1958, Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda, menetapkan aturan baru terkait lagu kebangsaan. Aturan baru itu diundangkan pada 10 Juli 1958 sebagai Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Dalam PP No. 44/1958 yang menjadi payung hukum lagu kebangsaan itu, disebutkan “Lagu Kebangsaan Republik Indonesia, selanjutnya disebut “Lagu Kebangsaan” ialah lagu Indonesia Raya”. Lebih lanjut, dijelaskan bagaimana tata cara menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan cara yang benar serta menetapkan nada-nada, irama, iringan, kata-kata, dan gubahan dari lagu itu serta cara penggunaannya.

Kemudian melalui UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu kebangsaan disebutkan Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam pasal-pasalnya juga disebutkan pengunaan lagu tersebut dan tata cara penggunannya serta larangan mengubah lagu tersebut baik irama, nada maupun kata-kata.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Lagu dan syair Indonesia oleh WR Soepratman menghiasi salah satu sudut Museum Sumpah Pemuda di jalan Keramat Raya, Senen, Jakarta Pusat,

 

Referensi

Arsip Kompas

“WR Supratman dan ‘Indonesia Raya'”. Kompas, 14 Jun 1995, halaman 1

“Supratman “Indonees Indonees”, dan Kasus Hak Ciptanya”. Kompas, 5 Jan 1992, halaman 10

“Ziarah ke makam WR Supratman”. Kompas, 30 Okt 1982, halaman 8

“Gelar Pahlawan Nasional untuk WR Supratman & Nyai A. Dahlan”. Kompas, 11 Nov 1971, halaman 1

“Lagu Kebangsaan ‘Indonesia Raya’ Sudah Lima Kali Dirubah”. Kompas, 22 Sep 1972, halaman 2

Buku

Daman, Mansyur. 2013. Pendekar Biola. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan.

Sularto, B. 1991. Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: Balai Pustaka.

Hutabarat, Anthony C. 2001. Wage Rudolf Soepratman: Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Pencipta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia,

Biodata

Nama

Wage Rudolf Supratman

Lahir

Purworejo, 19 Maret 1903

Jabatan

Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

Pendidikan

Tweede Inlandscheschool (Sekolah Angka Dua) (1917)

Normaalschool (Sekolah Pendidikan Guru) (1919)

Karir

Pemerintahan

  • Mendiri Band Black and White di Makassar (1920)
  • Juru tulis Firma Nedem,
  • Juru Tulis di Firma Schulten
  • Wartawan surat kabar Kaoem Moeda, Bandung (1924)
  • Wartawan Sin Po, Jakarta (1925–1933)
  • Mendirikan Penerbitan WR Supratman Publiscist
  • Mendirikan toko buku Java

Penghargaan

  • Bintang Mahaputra Anumerta III (1960)
  • Gelar Pahlawan Nasional kepada WR Supratman (1971)
  • Bintang Mahaputra Utama (1974)
  • Tanggal lahirnya 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional.

Karya

Lagu-Lagu Perjuangan

  • Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1928)
  • Indonesia Iboekoe (1928)
  • Bendera kita Merah Poetih (1928
  • Bangunlah Hai Kawan (1929)
  • Raden Adjeng Kartini (1929)
  • Mars KBI (Kepandoean Indonesia) (1930)
  • Di Timur Matahari (1931)
  • Mars PARINDRA (1937)
  • Mars Surya Wirawan (1937)
  • Matahari Terbit Agustus (1938)
  • Selamat Tinggal (belum selesai, 1938).

Buku

  • Perawan Desa (1929), pernah disita dan dilarang beredar oleh Polisi Hindia Belanda.
  • Dara Moeda (1930)
  • Kaoem Panatik (1930).

Sumber
Litbang Kompas