Paparan Topik | Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda dan Kongres Pemuda Kedua

Hari Sumpah Pemuda diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Sumpah Pemuda merupakan sebutan atas hasil Kongres Pemuda Kedua yang dibacakan pada 28 Oktober 1928.

KOMPAS/JB SURATNO
Gedung Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, Rabu (3/11/1976).

Fakta Singkat

Kongres Pemuda II
27-28 Oktober 1928

Tempat kongres

  • Rapat pertama, 27 Oktober: Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Gedung Pemuda Katolik) di Waterlooplein (kini Lapangan Banteng).
  • Rapat kedua, 28 Oktober: Gedung Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord (kini Jalan Medan Merdeka Utara)
  • Rapat ketiga, 28 Oktober: Gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya Nomor 106.

Panitia Kongres

  • Ketua: Sugondo Joyopuspito (PPPI)
  • Wakil Ketua: RM Joko Marsaid (Jong Java)
  • Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumateranen Bond)
  • Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
  • Pembantu I: Johan Mohammad (Jong Islamieten Bond)
  • Pembantu II: R Kaca Sungkana (Pemuda Indonesia)
  • Pembantu III: Senduk (Jong Celebes)
  • Pembantu IV: Johanes Leimena (Jong Ambon)
  • Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi)

Peserta Kongres
Lebih dari 700 orang

Putusan Kongres

  • Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
  • Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
  • Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Setiap tanggal 28 Oktober, Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan sebutan atas keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27–28 Oktober 1928, di Jakarta. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai latar belakang daerah, suku, dan agama menyatukan keyakinan mereka akan tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan: Indonesia. Keyakinan tersebut kemudian disebarkan untuk dijadikan asas bagi semua perkumpulan kebangsaan Indonesia.

Selanjutnya, pada tanggal 16 Desember 1959, Presiden Soekarno menetapkan hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober sebagai hari nasional bersama dengan lima hari nasional lain. Keputusan hari-hari bersejarah bagi nusa dan bangsa sebagai hari nasional tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari libur.

KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas membersihkan koleksi museum Sumpah Pemuda di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Minggu (7/6/2020). Pemerintah DKI Jakarta berencana akan membuka kembali wisata museum pada bulan Juni ini yang merupakan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Museum-museum yang akan dibuka bagi pengunjung ini nantinya harus menjalankan protokol kesehatan yang ketat sebagai langkah antisipasi Covid-19.

Latar belakang kongres

Kongres Pemuda Kedua berawal dari sebuah keprihatinan atas gagalnya upaya Kongres Pemuda Pertama yang diadakan tahun 1926 untuk segera mewujudkan cita-cita persatuan pemuda.

Selain itu, seperti dikutip dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan (1997), pemikiran untuk mengadakan Kongres Pemuda Kedua dipengaruhi pula oleh berkembangnya pemikiran politik secara terbuka para pemuda. Hal itu didorong oleh beberapa peristiwa sebelumnya, antara lain pemberontakan PKI yang gagal, munculnya pergerakan pemuda yang bersikap kooperatif maupun nonkooperatif, pulangnya banyak anggota Perhimpunan Indonesia dari Belanda, hingga berdirinya partai-partai politik sejak tahun 1927.

Pemberontakan PKI yang gagal telah mengakibatkan banyak tokoh pergerakan, baik komunis maupun bukan, ditangkap. Hal ini seakan menciptakan situasi vakum bagi  pergerakan nasional. Situasi tersebut diisi dengan munculnya gerakan dari para pemuda, antara lain Indonesische Studieclub yang berhaluan kooperatif di bawah pimpinan dokter Sutomo maupun Algemene Studieclub yang berkarakter nonkooperatif yang diketuai Sukarno.

Selain diisi dengan gerakan para pemuda, situasi lowong tersebut juga diwarnai oleh para anggota Perhimpunan Indonesia yang pulang dari Belanda. Setelah pemberontakan PKI yang gagal pada 1926, anggota PPI ikut dikejar-kejar oleh pemerintah Belanda. Para anggota PPI yang pulang ke Indonesia membawa pengalaman internasional dalam menentang imperialisme dan kolonialisme. Pengalaman tersebut ikut mewarnai kekosongan pergerakan nasional sekitar tahun 1926–1927. Situasi berikutnya adalah berdirinya partai politik setelah tahun 1927, baik yang berhaluan kooperatif maupun nonkooperatif.

ARSIP KOMPAS
Artikel “Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda Tahun 1928” yang dimuat di Kompas, Selasa, 1 November 1977, hlm. 1.

Dengan wawasan politik yang semakin luas, para pemuda dari berbagai latar belakang organisasi meneliti hambatan yang terjadi saat Kongres Pemuda Pertama dan kemudian merancang diadakannya sebuah kongres pemuda kedua. Gagasan tersebut dimotori dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia.

Pada 2 Mei 1928, bertempat di Clubgebouw, Jalan Kramat Raya, diadakan pertemuan para pemuda pelajar. Dalam pertemuan tersebut, disepakati untuk mengadakan kongres pemuda. Pada rapat kedua, 12 Agustus 1928, hadir berbagai pemuda yang mewakili berbagai organisasi, seperti PPPI, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, dan Pemuda Kaum Betawi. Rapat kedua tersebut berhasil menyusun panitia kongres, waktu dan tempat kongres, serta tujuan dan agenda kongres (Kompas, 31/10/1993).

Kongres disepakati akan diadakan pada tanggal 27–28 Oktober 1928. Sedangkan komposisi panitia yang terbentuk berasal dari berbagai latar belakang organisasi pemuda. Sugondo Joyopuspito dari PPPI terpilih sebagai ketua, RM Joko Marsaid dari Jong Java sebagai wakil ketua, Muhammad Yamin dari Jong Sumateranen Bond sebagai sekretaris, dan Amir Sjarifuddin dari Jong Batak Bond sebagai bendahara.

Panitia lain adalah Johan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond) selaku pembantu I, R Kaca Sungkana (Pemuda Indonesia) selaku pembantu II, RCL Senduk (Jong Celebes) selaku pembantu III, Johanes Leimena (Jong Ambon) selaku pembantu IV, dan Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi) selaku pembantu V.

Peserta kongres

Kongres Pemuda Kedua mengadakan tiga kali rapat umum yang terbuka untuk semua orang, entah diundang atau tidak. Ketua panitia kongres, Sugondo Joyopuspito, menggambarkan bahwa peserta rapat berasal dari berbagai kalangan. Memang, panitia mengedarkan undangan, tetapi siapa saja boleh datang. Bahkan, tampak pula pegawai intel Belanda (PID) ikut mendengarkan pidato dalam sidang (Kompas, 24 Oktober 1982).

Di salah satu dinding di Museum Sumpah Pemuda, terpampang kabar mengenai kongres, “Kerapatan (congres) Pemoeda-Pemoeda Indonesia di Weltevreden (27-28 Oktober). Datanglah ke Congres ini Djangan Loepa.” Kabar tentang rencana kongres berikut agenda dan tiga tempat penyelenggaraanya itu dikutip dari koran Persatuan Indonesia (Kompas, 1/11/2018).

Oleh karena itu, Kongres Pemuda Kedua kemudian sering digambarkan dihadiri oleh utusan dari berbagai daerah dan organisasi. Mengingat Kongres tersebut didukung oleh perkumpulan pemuda yang berdasarkan kedaerahan, dapat dianggap bahwa mereka mewakili pemuda-pemuda yang berada di daerah asal para pemuda tersebut (Kompas, 24 Oktober 1982).

Mengingat banyaknya peserta yang mengikuti rapat-rapat tersebut, hingga lebih dari 700 orang, kegiatan yang direncanakan sebagai rapat kemudian berkembang menjadi suatu kongres. Hadir dalam kongres itu orang-orang dari berbagai kalangan, baik kalangan bumiputra, China, maupun Belanda. Mereka datang dari bermacam organisasi sosial-politik, dengan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda pula. Pada tahun 2015, Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda telah mencatat nama 82 orang yang terlibat dalam rapat-rapat selama kongres pemuda tersebut (Kompas, 28/10/2015).

Organisasi pemuda yang terlibat dalam kongres pemuda tersebut dapat dikategorikan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah organisasi yang bersifat kedaerahan. Organisasi itu, antara lain Jong Java dengan tokohnya Dr. Satiman Wirjosandjojo, Wongsonegoro, dan Sutomo, Jong Sumatranen Bond (Mohammad Hatta, JW Amalo Mohammad Yamin, M Tamsil, Bahder Djohan, Abu Hanifah, AK Gani), Jong Ambon (J Leimena), Sekar Rukun, Jong Celebes (Arnold Mononutu, Waroruntu, Magdalena Mokkoginta), Pemuda Kaum Betawi (M Husni Thamrin, Rohjani), Jong Batak Bond (Amir Sjarifuddin), Jong Minahasa (GR Pantouw), dan Jong Timoreesch Verbond (JW Amalo).

KOMPAS/KARTONO RYADI
Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang sedianya diadakan P.B. Indonesia Muda di Gelanggang Mahasiswa Kuningan Sabtu malam, tidak jadi dilangsungkan. Izin penyelenggaraannya dicabut/dibatalkan oleh Kores Metro 74 yang ditandatangani oleh komandannya Letkol. Pol. Drs. R.M.Soepriadi. Pembatalan mendadak atas surat Keterangan No.Pol.B/39/x/1978/Intel Pampol tanggal 16 Oktober, baru diterima oleh pihak PB Indonesia Muda sekitar jam 15.00 WIB hingga sangat mengejutkan para undangan. Yang sempat diberi tahu barulan bekas Wakil Presiden Moh.Hatta.  “Kami dulu menghadapi larangan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengadakan Konggres Pemuda, tetapi sekarang kami dilarang memperingati Hari Sumpah Pemuda oleh abdul Gafur!” kata Kotjo Sungkono penuh emosi (29/10/1978). Ia merupakan salah satu tokoh penting dalam Konggres Pemuda tahun 1928.

Kategori kedua adalah organisasi berbasis study club. Ada dua organisasi yang masuk kategori ini, yaitu Indonesische Studieclub dan Algemene Studieclub. Indonesische Studieclub didirikan pada tanggal 11 Juni 1924 di Surabaya dengan tujuan membangunkan kaum terpelajar agar memiliki kewajiban kepada masyarakat dan memperdalam pengetahuan sosial politik Hindia Belanda. Salah satu tokohnya adalah dokter Sutomo yang pernah menjadi ketua Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Sedangkan Algemene Studieclub merupakan organisasi yang berupaya membangun kesadaran kaum muda terhadap persoalan bangsa dengan asas nonkooperatif. Kelompok yang berkedudukan di Bandung ini memiliki tokoh-tokoh, seperti Soekarno dan Anwari. Kelak, kelompok ini bertransformasi menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).

Kategori ketiga adalah organisasi berbasis nasionalisme dan agama, seperti Perhimpunan Indonesia (PPI), Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Pemuda Indonesia, serta Jong Islamieten Bond. Perhimpunan Indonesia berdiri tahun 1908 di Belanda dengan nama Indische Vereeniging. Organisasi ini mendukung asas demokrasi, politik nonkooperatif, dan cita-cita nasionalisme Indonesia. Tokoh-tokohnya, antara lain Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Gatot Tanumihardja, Nasir Datuk Pamuntjak, dan Iwa Kusuma Sumantri.

Sedangkan, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan tahun 1925. Organisasi ini beranggotakan mahasiswa sekolah tinggi di Jakarta dan Bandung, seperti Rechtshoge School, Medische Hogeschool, Technische Hogeschool. Tokoh-tokoh PPPI, antara lain Sugondo Djojopuspito, Abdul Sjukur, Gularso, Hendromartono, Rohjani, S Djoened Poesponegoro, Kuntjoro, Wilopo, Moh Yamin, AK Gani, dan Abu Hanifah.

Selanjutnya, Pemuda Indonesia. Bernama awal Jong Indonesia, organisasi ini didirikan pemuda Bandung pada 20 Februari 1927. Pada Kongres I, Desember 1927, para pemuda memutuskan menggunakan nama Pemuda Indonesia dan bahasa Indonesia-Melayu sebagai bahasa bersama. Para tokohnya adalah Sugiono, Sunardi Moeljadi, Soepangkat, Agoes Prawiranata, Soekamso, Soelasmi, Katjasungkono, dan Abdulgani.

Salah satu organisasi yang berbasis agama adalah Jong Islamieten Bond. Organisasi ini menjadi wadah untuk memajukan agama Islam dan memahami situasi politik di sekitarnya. Organisasi ini didirikan sejak Januari 1926, dengan tokohnya Hadji Agus Salim, Mohammad Roem, Hasim Sadewo, M Djuwari, dan Kasman Singodimedjo.

Pelaksanaan kongres

Dalam buku Merayakan Indonesia Raya (2016) yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan rangkaian Kongres Pemuda Kedua terbagi dalam tiga rapat yang diselenggarakan di tiga tempat yang berbeda.

Rapat pertama diselenggarakan pada tanggal 27 Oktober 1928 pukul 19.30 – 23.30 WIB di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Gedung Pemuda Katolik) yang terletak di Waterlooplein. Lokasi gedung tersebut berada di belakang Gereja Katedral Jakarta (Kompas, 1/11/2018).

Rapat pertama ini membahas pentingnya bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa politik dalam menciptakan persatuan dan kebangsaan yang independen. Dibahas pula gagasan untuk mewadahi perjuangan pergerakan dalam bentuk organisasi-organisasi yang bersifat nasional serta mengatasi sekat-sekat ras, ideologi, dan agama.

Pemantik diskusi pada sidang pertama ini adalah Muhammad Yamin. Ia berpidato tentang “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”. Muhammad Yamin menyebut lima prasyarat persatuan Indonesia, yakni sejarah, bahasa, hukum, pendidikan, dan kemauan. Pidato Yamin ditanggapi oleh Inoe Martakoesoema yang menekankan pentingnya persatuan agar Indonesia bisa sejajar dengan Inggris dan Belanda. Secara tidak langsung, Inoe mengatakan bahwa persatuan berguna bagi kemerdekaan Indonesia. Munculnya istilah “Indonesia Merdeka” ditanggapi oleh intel Belanda dengan mengimbau Inoe meninggalkan kongres. Mr Sartono, sebagai ahli hukum lulusan Leiden, menanyakan dasar hukum imbauan tersebut (Kompas, 29 /10/2017).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Video mapping yang mengambi cerita “Hai Pemuda Pemudi Indonesia” diproyeksikan pada sisi depan Gereja Katedral Jakarta dalam acara peringatan Hari Sumpah Pemuda, Sabtu (26/10/2019). Kegiatan yang melibatkan orang-orang muda tersebut akan berlangsung hingga Senin (28/10/2019) dengan mengusung tema “Dalam Semangat Sumpah Pemuda dan Amalkan Pancasila Kita Rajut Kesatuan dalam Kebhinekaan Indonesia”.

Rapat kedua dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928 pukul 08.00 – 12.00 WIB di Gedung Oost Java Bioscoop yang terletak di Koningsplein Noord. Koningsplein Noord adalah nama jalan di era Hindia Belanda yang kini diubah menjadi Jalan Medan Merdeka Utara (Kompas, 1/11/2018).

Dalam sidang kedua, dibahas pentingnya peran pendidikan dalam mewujudkan kebangsaan. Beberapa pembicara pada sidang kedua ini ialah Nona Poernomo Woelan tentang “Pendidikan Wanita”, Sarmidi Mangoensarkoro, Sarwono, dan Ki Hajar Dewantoro yang membahas pentingnya “Pendidikan Nasional”. Selain itu, Siti Soendari mengajukan pandangannya tentang kondisi perempuan yang tertindas dalam masyarakat.

Rapat ketiga diselenggarakan pada hari yang sama pada pukul 17.30 – 23.30 WIB di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya Nomor 106. Gedung ini merupakan rumah indekos milik Sie Kong Liong, yang telah menjadi pondokan para aktivis pemuda dari berbagai daerah sejak tahun 1920-an (Kompas, 29/10/2017).

Rapat ketiga memiliki lima agenda, yakni arak-arakan pandu, penyampaian hal terkait kepanduan oleh Ramelan, penyampaian Pergerakan Pemuda Indonesia dan Pemuda di Tanah Luaran oleh Soenario, mengambil keputusan, dan menutup kongres. Dalam sidang terakhir ini, tampil tiga orang pembicara, yaitu Ramelan, Theo Pangemanan, serta Mr Sunario sebagai Ketua Persaudaraan Antara Pandoe Indonesia (Kompas, 28/10/2002).

Ketika itu, kembali terjadi insiden yang membawa risiko pembubaran Kongres oleh aparat keamanan. Pasalnya, terlontar frase “Indonesia merdeka” dari peserta Kongres. Intel Hindia  Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst) sempat mengancam akan membubarkan kongres seketika itu juga. Menghadapi ketegangan itu, Soegondo Djojopoespito selaku pimpinan kongres ikut menengahi dengan menyatakan bahwa pernyataan “Indonesia merdeka” tidak perlu dilontarkan secara eksplisit, cukup tahu sama tahu saja.

Hasil kongres

Menjelang pukul 10 malam, hari Minggu, 28 Oktober 1928, seluruh pengurus kongres berkumpul untuk merumuskan hasil kongres (Kompas, 29/10/1969).

Dalam rapat tersebut, Yamin mengajukan rumusan resolusi dan meminta waktu untuk membacakan dan menerangkannya. (Kompas, 28/10/1972). Secara lengkap Keputusan Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 28 Oktober 1928, dibacakan oleh Ketua Sugondo Djojopuspito untuk dimintakan persetujuan dari hadirin sebagai putusan kongres (Kompas, 25/10/1978). Seluruh hadirin menyetujui putusan tersebut secara aklamasi.

Isi putusan tersebut, dalam ejaan baru, adalah sebagai berikut.

Putusan Kongres Pemuda Pemuda Indonesia

Kerapatan pemuda-pemuda Indonesia diadakan oleh perkumpulan pemuda Indonesia yang berdasarkan kebangsaan dengan nama: Jong Java, Jong Soematra (Pemuda Sumatra), Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Membuka Rapat pada tanggal 27-28 Oktober tahun 1928 di negeri Jakarta:

Sesudahnya mendengar pidato-pidato pembicara yang diadakan di dalam kerapatan tadi:

Sesudahnya, menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembicaraan ini.

Kerapatan lalu mengambil putusan:

Pertama: Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

Kedua: Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan azas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan-perkumpulan kebangsaaan Indonesia.

Mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya:

  • kemauan
  • sejarah
  • bahasa
  • hukum adat
  • pendidikan dan kepanduan

Dan mengeluarkan harapan supaya putusan-putusan ini disiarkan dalam segala surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan kita.

Pada saat dibacakan, keputusan kongres tersebut disebut sebagai ikrar pemuda. Akan tetapi, di kemudian hari lebih dikenal sebagai sumpah pemuda. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, perubahan tersebut dibuat oleh Sukarno untuk menumbuhkan semangat pergerakan nasional dan persatuan (Kompas, 29/10/2012).

Dalam kongres ini, untuk kali pertama dikumandangkan alunan ”Indonesia Raya” tanpa syair, dari gesekan biola komponisnya, Wage Rudolf Soepratman. Ketua Kongres mempersilakan WR Supratman mengumandangkan lagu “Indonesia Raya” tanpa syair dan dilakukan sebelum keputusan kongres dibacakan. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/JB SURATNO

Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, Jumat (29/10/1976).

Referensi

Arsip Kompas
  • “Beberapa Catatan Sugondo Joyopuspito tentang Kongres Pemuda 1928”, Kompas, 24 Oktober 1982, hlm. 7.
  • “Cagar Budaya: Merawat Ingatan untuk Masa Depan * 90 Tahun Sumpah Pemuda”, Kompas, 1 November 2018, hlm 5.
  • “Gedung Pemuda Soegondo Djojopoespito atau Gedung Pemuda Mohamad Yamin”, Kompas, 3 November 1979, hlm. 5.
  • “Generasi 1920-an dan Pemikiran tentang Paham Kebangsaan Indonesia, Kompas, 28 Oktober 1985, hlm. 1
  • “Indische Partij dan Sumpah Pemuda”, Kompas, 27 Oktober 1989, hlm. 4.
  • “Infografik: Sumpah Pemuda Ikrar Nasionalisme Pemuda”, Kompas, 28 Oktober 2014, hlm. 44.
  • “Kita, Orang Indonesia dan Sumpah Pemuda Tahun 1928”, Kompas, 29 Oktober 1969, hlm. 1.
  • “Kongres pemuda tahun 1928 dan persoalan hukum nasional”, Kompas, 25 Oktober 1978, hlm. 4.
  • “Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu”, Kompas, 3 November 2018, hlm. 5.
  • “Menjunjung Bahasa Persatuan”, Kompas, 21 Oktober 2017, hlm. 7.
  • “Museum Sumpah Pemuda: Tokoh-tokoh yang Tak Tercatat”, Kompas, 28 Oktober 2015, hlm. 12.
  • “Nasionalisme Berwajah Manusiawi * Refleksi Kecil atas Sumpah Pemuda 1928”, Kompas, 28 Oktober 2002, hlm. 5.
  • “Pemuda Pelajar dan Nasion Indonesia * Hikmah dengan Kesadaran dari Kronologi Periode 1908-28”, Kompas, 31 Oktober 1993, hlm. 2.
  • “Pengungkapan Sejarah Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Kompas, 28 April 1975, hlm. 3.
  • “Pesan dari Tempat Kongres Pemuda II * 90 Tahun Sumpah Pemuda”, Kompas, 1 November 2018, hlm 4.
  • “Prof. Sunario SH Tentang: Sumpah Pemuda dan Djiwa Persatuan Dewasa Ini”, Kompas, 29 Oktober 1969, hlm. 5.
  • “Sekilas Kenangan Dari Sugondo Joyopuspito, Ketua Konggres Pemuda 1928”, Kompas, 28 Oktober 1972, hlm. 4.
  • “Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda tahun 1928”, Kompas, 1 November 1977, hlm. 1.
  • “Sumpah Bersejarah”, Kompas, 29 Oktober 2014, hlm. 6.
  • “Sumpah Pemuda * Sumbangan Generasi Muda tak Diragukan Lagi”, Kompas, 31 Oktober 1993, hlm. 2.
  • “Sumpah Pemuda 1928”, Kompas, Senin, 29 Oktober 2012, hlm. 6.
  • “Sumpah Pemuda: Dari Semua Golongan, untuk Satu Indonesia”, Kompas, 29 Oktober 2017, hlm. 2.
  • “Sumpahnya Pemoeda”, Kompas, 28 Oktober 1998, hlm. 6.
Buku, Jurnal, dan Paparan
Internet
Aturan Pendukung
  • Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari libur.

Artikel terkait