Paparan Topik | Iklim dan Cuaca

Hari Bumi Sedunia: Mewaspadai Krisis Iklim dan Pemanasan Global

Krisis iklim menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kehidupan di bumi. Implikasi krisis iklim telah semakin nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pejalan kaki melintasi poster bertema lingkungan hidup di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (22/4/2020). Hari ini diperingati sebagai Hari Bumi sedunia ke-50.Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran publik akan lingkungan. 

Fakta Singkat

  • Hari Bumi diperingati setiap tahunnya pada tanggal 22 April.
  • Hari Bumi pertama kali diperingati pada 22 April 1970, digagas oleh Gaylord Nelson, 
  • Tujuannya untuk meningkatkan apresiasi dan kesadaran manusia terhadap planet yang ditinggali oleh manusia saat ini.
  • Hari Bumi 2023 mengambil tema “Invest In Our Planet”. 
  • Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tentang iklim global menunjukan terjadinya peningkatan suhu rata-rata Bumi sekitar 1,15 derajat celsius pada tahun 2022
  • Salah satu faktor utama peningkatan suhu tahunan bumi itu dipicu oleh konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang kian tinggi.
  • Karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) adalah tiga gas yang berpengaruh terhadap pemanasan global yang terjadi.
  • Pada tahun 2022, suhu rata-rata Indonesia naik sebesar 0,2 derajat celsius atau menjadi 27,0 derajat celsius.
  • Pada 2022, Indonesia berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca dengan meningkatkan target NDC ke 31,8 persen, sedangkan target dengan dukungan internasional meningkat ke 43,20 persen.

Kerusakan bumi menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan kehidupan. Dampaknya sungguh nyata dan telah dirasakan, mulai dari degradasi lingkungan, bencana alam, cuaca ekstrem, kerawanan pangan dan air, peningkatan resiko kesehatan, kemiskinan dan kelaparan, hingga kepunahan keanekaragaman hayati.

Kesadaran publik terhadap kondisi lingkungan menjadi kunci terhadap masalah krisis lingkungan hidup ini. Salah satu cara mengupayakan kesadaran atas hal ini adalah melalui peringatan Hari Bumi atau Earth Day. Peringatan Hari Bumi jatuh pada tanggal 22 April setiap tahunnya dengan tema yang berbeda-beda.

Dalam laman earthday.org, peringatan Hari Bumi 2023 mengambil tema “Invest In Our Planet” atau “Berinvestasi di Pelanet Kita”. Tema tersebut difokuskan untuk mendorong lebih dari 1 miliar orang termasuk kalangan pemerintah, institusi, dan dunia usaha agar membantu mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang adil dan sejahtera.

“Bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil sama-sama bertanggung jawab untuk mengambil tindakan melawan krisis iklim dan memicu percikan untuk mempercepat perubahan menuju masa depan yang hijau, sejahtera, dan adil. Kita harus bergabung bersama dalam perjuangan kita untuk revolusi hijau, dan untuk kesehatan generasi mendatang. Saatnya sekarang untuk Berinvestasi di Planet Kita,” ujar Kathleen Rogers, Presiden Earthday.org.

Earth Day menyebut seluruh umat manusia bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini. Mitigasi, restorasi, dan adaptasi perubahan iklim membutuhkan kemauan dan suara kolektif dari masyarakat untuk membuat perubahan yang dibutuhkan planet ini.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta beraksi damai memperingati Hari Bumi di depan Balai Kota Jakarta, Senin (22/4/2019). Dalam aksinya mereka mendesak Pemerintah untuk melakukan upaya pemulihan ekologis lingkungan serta melakukan penegakan hukum kepada seluruh industri yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan.

Sejarah Hari Bumi

Merujuk laman earthday.org, Hari Bumi pertama kali diperingati pada 1970 atau 53 tahun yang lalu. Penggagasnya adalah Gaylord Nelson, seorang senator dari Wisconsin, Amerika Serikat, dengan tujuan meningkatkan apresiasi dan kesadaran manusia terhadap planet yang ditinggali oleh manusia saat ini.

Sebelumnya, keresahan terkait lingkungan hidup yang semakin merosot telah juga disuarakan oleh Rachel Carson melalui buku Silent Spring pada 1962. Buku ini menyuarakan ketertindasan alam dari kaum kapitalis yang mengeksploitasi alam. Terutama berkenaan penggunaan pestisida berlebihan yang digunakan untuk sasaran hama di Amerika (“Sastra Hijau Sastra Berpihak”, Kompas, 30 Maret 2021).

Keresahan Carson kemudian mendorong kesadaran masyarakat dunia, salah satunya Gaylord Nelson, akan degradasi lingkungan yang tengah terjadi saat itu.

Gagasan terkait Hari Bumi mulai disampaikan Gaylord Nelson pada sebuah konferensi di Seattle pada musim gugur 1969. Saat itu, Nelson merasa khawatir dengan memburuknya lingkungan hidup di Amerika Serikat, terutama setelah menyaksikan kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak besar-besaran di Santa Barbara, California.

Berangkat dari insiden tersebut, Nelson memandang perlunya publik menyadari isu-isu kerusakan lingkungan hidup. Terinspirasi dari gerakan mahasiswa antiperang Vietnam yang ada di kampus-kampus AS, Nelson mulai menerapkan semangat yang sama untuk menyadarkan publik akan keruskan lingkungan yang terjadi.

Nelson kemudian mengajak Pete McCloskey, anggota Kongres Partai Republik, dan aktivis muda Denis Hayes untuk mempromosikan dan membangun jaringan dengan berbagai organisasi, hingga melakukan pengajaran-pengajaran di kampus-kampus. Kampanye ini pun mendapatkan perhatian dan dukungan luas dari publik.

Pada 22 April 1970, ribuan universitas mengorganisir protes terkait kerusakan lingkungan. Sekitar 20 juta orang melakukan demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota di Amerika Serikat, seperti Philadelphia, Chicago, Los Angeles, New York, dan Washington, D.C. Penyelenggaraan Hari Bumi saat itu efektif dalam meningkatkan kesadaran publik Amerika Serikat tentang masalah lingkungan yang sedang terjadi.

Selama tahun 1970-an, sejumlah undang-undang penting terkait lingkungan disahkan di Amerika Serikat. Di antaranya UU Udara Bersih, UU Peningkatan Kualitas Air, UU Spesies Langka, UU Pengendalian Zat Beracun, dan UU Pertambangan Permukaan dan Reklamasi. Dampak penting lainnya adalah pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) pada Desember 1970, yang bertugas melindungi kesehatan manusia dan menjaga lingkungan alam.

Pada tahun 1990, Hari Bumi telah menjadi peringatan dunia dengan lebih 140 negara yang ikut berpartisipasi dalam mengangkat isu lingkungan. 

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Mendung gelap selimuti langit Jakarta, Kamis (21/2/2019). Tren hujan ekstrem di Jakarta terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemanasan suhu di Indonesia diketahui telah menyebabkan perubahan pola penguapan air sehingga mengubah pola hujan. Laju pemanasan ini selain dipengaruhi oleh fenomena global akibat penambahan gas rumah kaca juga dipengaruhi dinamika lokal, terutama akibat hilangnya tutupan vegetasi dan pertumbuhan kawasan urban.

Krisis Iklim

Sudah lebih dari setengah abad sejak Hari Bumi diperingati pertama kali pada 1970. Namun, kualitas kelayakan Bumi sebagai tempat tinggal terus menurun. Semakin hari, tingkat pencemaran dan penghancuran lingkungan hidup makin tak terkendali. Manusia diperhadapkan dengan dampak kerusakan lingkungan hidup yang semakin nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti meningkatnya intensitas gelombang panas, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, hingga gagal panen.

Kerusakan Bumi yang sedang terjadi itu tercermin dari peningkatan suhu rata-rata global setiap tahunnya. Analisis tahunan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tentang iklim global menunjukan terjadinya peningkatan suhu rata-rata Bumi sekitar 1,15 derajat celsius pada tahun 2022. Situasi ini melanjutkan tren pemanasan global yang terjadi sejak delapan tahun terakhir dari 2015 sampai 2022. Ironisnya, kenaikan suhu Bumi di atas 1 derajat celsius ini terjadi pada periode iklim alam siklis, La Nina.

La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu permukaan laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di bawah kondisi normalnya. La Nina memberikan efek pendinginan bagi Bumi. Artinya, tanpa La Lina kenaikan suhu Bumi berpotensi mengalami kenaikan lebih tinggi lagi.

Salah satu faktor utama peningkatan suhu tahunan Bumi itu dipicu oleh konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang kian tinggi. Karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) adalah tiga gas yang paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global yang terjadi. Berdasarkan catatan WMO, pada 2021 kandungan CO2 mengalami kenaikan drastis sebesar 149 persen, CH4 naik sebesar 262 persen, dan N2O naik sebesar 124 persen dibandingkan pra-industri.

Pada 2021, China menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Negeri Tirai Bambu ini menghasilkan emisi karbon tahunan sebesar 11.472.369 juta ton. Di posisi kedua, Amerika Serikat menyusul dengan menyumbang 5.007.336 juta ton. Kemudian, India dan Rusia yang masing-masing menyumbang 2.709.684 dan 1.755.548 juta ton.

Adapun Indonesia ternyata masuk dalam daftar 10 negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Tercatat Indonesia menyumbang 619.278 ribu ton emisi karbon.

Didasarkan pada kumpulan data terkait pengamatan perjalanan pemanasan global serta respons iklim terhadap emisi gas rumah kaca. WMO memprediksi peningkatan suhu global di atas 1 drajat celsius ini akan terus berlanjut. Bahkan, ada kemungkinan besar di antara tahun 2022 sampai 2026 suhu rata-rata Bumi akan melebihi titik kritis 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri (1850-1900).

Peningkatan suhu Bumi yang akan tembus titik kritis 1,5 derajat celsius dalam waktu dekat patut diwaspadai. Dalam kesepakatan Paris pada 2015, 197 negara di dunia anggota Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk perubahan iklim telah sepakat untuk menahan laju kenaikan suhu Bumi yang dipatok tetap berada di bawah titik kritis 1,5 derajat celsius.

Apabila pemanasan global mencapai lebih dari 1,5 derajat celsius, manusia dan penghuni Bumi lainnya akan dihadapkan pada konsekuensi bahaya dan kerugian yang sangat besar. Kondisi yang bisa terjadi antara lain gelombang panas, banjir, kekeringan, badai topis dan siklon, kenaikan muka air laut, gagal panen, hingga kepunahan spesies. 

Implikasi pemanasan global yang menyebabkan krisis iklim tersebut sudah dirasakan di setiap sudut dunia saat ini. Pada tahun 2022 tercatat gelombang panas melanda sejumlah negara di dunia. Inggris dilanda gelombang panas yang untuk pertama kalinya menyebabkan suhu harian sempat mencapai 40,3 derajat celsius. Selama periode musim panas di Inggris, tercatat sebanyak 2.800 orang meninggal dunia di mana korban terbanyak adalah lansia. 

Di Peru gelombang panas menyebabkan peningkatan suhu mencapai 39,2 derajat celsius selama 8 hari. Hal yang sama juga terjadi di Australia, di mana gelombang panas tertinggi mencapai suhu 50,7 derajat celsius. Sementara itu, di Arab Saudi gelombang panas menyebabkan suhu harian mencapai 50 derajat celsius selama dua hari berturut-turut.

Selain itu, ada pula bencana kekeringan. Di Kenya, Somalia, dan Ethiopia munurunya curah hujan menyebabkan kekeringan berkepanjangan. Kondisi tersebut mengakibatkan kegagalan panen dan memperburuk situasi kerawan pangan yang terjadi di sana.

Kekeringan juga melanda Italia dan Argentina. Di Italia, curah hujan yang menurun menyebabkan kekeringan selama lebih dari 5 bulan dan menyebabkan kegagalan panen. Sedangkan di Argentina kekeringan menyebabkan 117 hektar lahan pertanian sehingga mengancam ketahanan pangan.

Di sisi lain, hujan ekstrem telah menyebabkan banjir besar di Afrika Selatan. Lebih dari 400 orang meninggal dunia dan 40.000 orang terlantar karena keruskan infrastruktur. Hal serupa juga melanda beberapa wilayah di Asia. Pakistan misalnya, banjir besar merendam sekitar 75.000 kilometer persegi negara tersebut, dan menyebabkan 1.700 orang meninggal dunia.

Laporan ini juga menyebutkan, seiring laju pemanasan bumi, permukaan air laut global juga terus naik. Saat suhu naik, pencairan es yang terus berlanjut di atas daratan di seluruh dunia semakin berkontribusi pada percepatan kenaikan permukaan laut.

Sejak 2020 permukaan laut meningkat hampir 10 milimeter, sekitar 10 persen dari keseluruhan kenaikan permukaan laut sejak pengukuran satelit dimulai pada tahun 1993. Dengan kenaikan ini, pantai dataran rendah, pulau-pulau kecil, delta, dan kota-kota pesisir bakal terdampak serius.

Efek lainnya dari penghangatan air laut adalah kerusakan bioderversitas laut, yang akan membawa dunia kian kehilangan ekosistem-ekosistem rentan seperti terumbu karang.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Asap memanjang mengikuti arah angin keluar dari cerobong di sekitar Teluk Jakarta, Senin (1/8/2005). Jakarta seperti kota-kota besar lainnya di dunia menghadapi persoalan polusi yang kian parah dari asap kendaraan bermotor, pabrik dan buangan limbah rumah tangga.

Kekhawatiran Generasi Muda

Kompas edisi 13 Januari 2023 memuat artikel riset berjudul “Beban Berat Generasi Muda Mengatasi Krisis Iklim” mengungkapkan bahwa krisis iklim merupakan ancaman terbesar yang dihadapi generasi muda.

Generasi muda yang dimaksud adalah generasi Y (tahun 1981-1996), generasi Z (tahun 1997-2012), dan generasi alpha (lahir setelah tahun 2012). Mereka merupakan kelompok populasi terbesar yang menanggung beban berat dari kegagalan penanganan krisis iklim pada masa sekarang.

Beban berat tersebut terlihat dari tanggung jawab generasi muda untuk menekan emisi karbon yang berkali-kali lipat lebih besar karena sebagian besar jatah emisi karbon sudah hampir habis terpakai oleh generasi yang lebih tua. Padahal mereka bukan aktor utama dari atas emisi gas rumah kaca dan praktik-praktik lainnya yang berbahaya bagi keberlanjutan lingkungan. Hal ini mencerminkan ketidakadilan antargenerasi.

Ada banyak resiko besar yang akan dialami generasi muda apabila mereka tidak mampu menekan emisi karbon di atmosfer. Contohnya adalah kesempatan untuk mengaskes pangan berkelanjutan. Cuaca ekstrem yang terjadi telah berdampak pada kerusakan lahan pertanian, menyebabkan kegagalan panen yang memicu kerentanan ketahan pangan hingga ancaman kelaparan.

Generasi muda juga dihadapkan pada hilangnya akses layanan esensial seperti pendidikan yang layak. Kerusakan lingkungan memicu peningkatan frekuensi terjadinya bencana alam. Bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, badai, dan banjir kerap kali menyebabkan rusaknya infrastruktur, salah satunya adalah infrastruktur pendidikan.

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO

Pegiat Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menyiapkan instalasi untuk aksi penyambutan Hari Bumi 22 April di depan Patung Gubernur Suryo (Taman Apsari) di sebarang Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/4/2023). 

Dari segi kesehatan, besarnya paparan zat beracun seperti timbal dan polusi udara dapat menyebabkan generasi muda terutama anak-anak mengalami gangguan fisiologis yang mengurangi potensi masa depan mereka.

Masalah lainnya yang perlu diketengahkan juga adalah efek guncangan mental yang dialami generasi muda. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa kerusakan lingkungan dan krisis iklim terbukti memengaruhi mental generasi muda yang berimbas pada penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan psikososial.

Merujuk laporan penelitian berjudul “Climate Anxiety in Children and Young People and Their Beliefs about Government Responses to Climate Change: a Global Survey” (2021), disebutkan bahwa 59 persen generasi muda sangat khawatir terhadap perubahan iklim. Emosi negatif yang muncul dari perasaan khawatir tersebut di antaranya merasa sedih, cemas, tidak berdaya, merasa tidak tertolong, hingga merasa bersalah.

Penelitian yang dilakukan di 10 negara dengan total responden 10.000 orang rentang usia 16 sampai 25 tahun tersebut menunjukan lebih dari 75 persen generasi muda merasa masa depan mereka sungguh menakutkan karena perubahan iklim. Generasi muda juga menilai pemerintah gagal menanggapi krisis iklim.

Kegelisahan akan dampak krisis iklim pun telah banyak disuarakan oleh generasi muda. Pada tahun 2018, Greta Thunberg, seorang gadis remaja asal Swedia memulai gerakan membolos sekolah dan berdemo di depan gedung Parlemen Swedia yang dia sebut  Skolstrejk fÖr klimatet atau pemogokan untuk iklim. Melalui aksi tersebut Greta menuntut pemerintah negaranya untuk serius menangani masalah pemanasan global yang berimbas pada peruahan iklim.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Aktivis PETA dalam Baluran Lukisan Bumi menggelar aksi di Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Senin, 17 April 2023, Senin (17/4/2023). PETA mendesak publik untuk hidup vegan menyambut perayaan Hari Bumi sedunia.

Kegelisahan akan dampak krisis iklim pun telah banyak disuarakan oleh generasi muda. Pada tahun 2018, Greta Thunberg, seorang gadis remaja asal Swedia memulai gerakan membolos sekolah dan berdemo di depan gedung Parlemen Swedia yang dia sebut  Skolstrejk fÖr klimatet atau pemogokan untuk iklim. Melalui aksi tersebut Greta menuntut pemerintah negaranya untuk serius menangani masalah pemanasan global yang berimbas pada peruahan iklim.

Aksi kecil Greta bergaung di mana-mana dan kemudian dikenal dengan Fridays for Future karena dilakukan setiap hari Jumat. Aksi itu menginspirasi ratusan ribu generasi muda di seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam Fridays for Future di negara mereka masing-masing. Pemogokan diadakan di negara-negara seperti Belgia, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Finlandia, Denmark, Prancis, dan Belanda.

Aksi anak muda menyuarakan keresahan mereka terkait dampak krisis iklim juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2022 lalu misalnya, sekitar 300 anak muda dari enam provinsi di Pulau Jawa yang tergabung dalam Pawai Youth20cuppy melakukan long march dari Kementerian Pemuda dan Olahraga menuju Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka menuntut komitmen pemerintah dalam mewujudkan keadilan iklim dan transisi energi yang berkelanjutan (“Anak Muda Menuntut Aksi Keadilan Iklim”, Kompas, 21 Juli 2022).

Berbagai aksi yang dilakukan generasi muda tersebut sangat beralasan. Mereka tidak ingin mewarisi bumi yang hancur dan menuai kesengsaraan di masa depan dari kehancuran itu.

Pada Juli 2022, Majelis Umum PBB juga telah mengakui bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan. Kegagalan melindungi generasi muda dari krisis iklim berarti kegagalan dalam menjamin hak asasi manusia.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Murid SD Kanisius Kenalan mengenakan baju kebaya lurik saat akan mengikuti kegiatan Saba Wana di Alas Nggupak Kebo, Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (18/4/2023). Kegiatan belajar luar ruang untuk lebih mengenal alam sekitar juga digelar sebagai upaya menanamkan pentingnya pelestarian alam pada anak sejak dini. Ajang ini juga untuk menyambut peringatan Hari Bumi.

Kondisi di Indonesia

Krisis iklim juga dirasakan di Indonesia, salah satu indikasinya adalah berlanjutnya tren peningkatan suhu udara nasional. Berdasarkan analisis dari 91 stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, suhu udara nasional sepanjang periode 1991-2020 adalah sebesar 26,8 derajat celsius. Pada tahun 2022 suhu rata-rata adalah sebesar 27 derajat celsius.

Artinya, terjadi kenaikan suhu tahunan sebesar 0,2 derajat celsius. Angka tersebut menempatkan tahun 2022 sebagai tahun terpanas urutan ke-13 sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2022. Secara rata-rata nasional, 2016 dengan kenaikan suhu udara mencapai 0,6 derajat celsius. Sementara tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,5 derajat celcius dan 0,4 derajat celcius.

Dari 91 stasiun pengamatan BMKG, peningkatan suhu hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Peningkatan tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Sentani – Jayapura yaitu sebesar 0,8 derajat celsius.

Fenomena ini patut menjadi perhatian karena wilayah Jayapura yang identik dengan hutan alam justru mengalami peningkatan suhu terbesar. Perubahan lingkungan karena alih fungsi lahan hutan, pembangunan yang kian masif, hingga meningkatnya konsumsi energi untuk bahan bakar kendaraan dan industri di wilayah tersebut ditengarai sebagai penyebabnya  (“Anomali Iklim dan Suhu Terpanas Bumi”, Kompas, 21 Januari 2023).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO 

Lampu yang menerangi Patung Selamat dan sejumlah gedung di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakart Pusat, dipadamkan saat peringatan Earth Hour 2021, Sabtu (27/3/2021). Kampanye untuk menyuarakan isu lingkungan dan keberlanjutan bumi ini dilakukan dengan memadamkan lampu secara serentak.

Dampak perubahan iklim di Indonesia sungguh-sunguh nyata. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sebagian besar bencana yang terjadi pada 2022 merupakan bencana hidrometeorologi yang berhubungan erat dengan krisis iklim. BNPB mencatat, sepanjang tahun 2022, telah terjadi 594 kejadian banjir, 880 tanah longsor, 25 banjir dan tanah longsor, 20 abrasi, 643 puting beliung, 43 kekeringan, dan 161 kebakaran hutan dan lahan.

Di Indonesia, penurunan kualitas lingkungan karena perubahan iklim juga mengancam keanekaragaman hayati. Berdasarkan laporan IPBES 2019, sekitar 588 spesies vertebrata di Indonesia terancam mengalami kepunahan. Untuk avertebrata dipekrkirakan ada sekitar 330 spesies terancam kepunahan, dan tanaman diperkirakan ada 481 spesies. Hilangnya suatu spesies ini tentu akan mengganggu keseimbangan alam yang berdampak terhadap keberlangsungan hidup seluruh makhluk di Bumi (“Satu Juta Spesies Menuju Kepunahan”, Kompas, 8 Mei 2019).

Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada peningkatan intensitas bencana dan kelestarian lingkungan, tetapi juga berefek hingga sektor ekonomi dan sosial masyarakat. Di sektor pertanian misalnya, perubahan iklim telah mempengaruhi periode musim, yaitu musim kemarau yang lebih panjang dan musim penghujan yang lebih pendek, maupun sebaliknya. Hal tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

Di wilayah laut, perubahan kondisi iklim laut dapat mempengaruhi ekosistem laut dan aktivitas masyarakat pesisir. Perubahan iklim laut berupa peningkatan tinggi gelombang juga dapat mengganggu keselamatan pelayaran terutama kapal nelayan kecil, sehingga berdampak pada kecelakaan kapal dan berkurangnya produksi perikanan tangkap.

Ekonomi Indonesia termasuk yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim memproyeksikan total kerugian ekonomi akibat perubahan iklim mencapai Rp115,53 triliun rupiah pada 2024. Kerugian terbesar berada pada sektor kelautan dan pesisir yang mencapai Rp81,82 triliun. Di urutan selanjutnya ada sektor pertanian dengan kerugian mencapai Rp19,94 triliun, sektor sumber daya air sebesar Rp7,29 triliun; dan sektor kesehatan sebesar Rp6,48 triliun.

Komitmen Pemerintah

Eratnya kaitan antara dampak perubahan iklim dengan masa depan kehidupan manusia menjadikan isu perubahan iklim menjadi perhatian negara-negara di dunia. Pada Pada tahun 2015, sebanyak 171 negara, termasuk Indonesia, melalui Perjanjian Paris telah berkomitmen untuk menghentikan peningkatan suhu Bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celsius.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No.16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Komitmen Iklim Indonesia juga dinyatakan dalam dokumen kontribusi yang ditentukan secara nasional atau dikenal dengan Nationally Determinded Contribution (NDC). Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 29 persen tanpa syarat dan 41 persen dengan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030.

Pada tahun 2022, untuk lebih memutakhirkan kebijakan-kebijakan nasional terkait perubahan iklim, pemerintah mempublikasikan dokumen NDC terbaru. Dalam dokumen terbaru tersebut Indonesia menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca dengan meningkatkan target NDC ke 31,8 persen, sedangkan target dengan dukungan internasional meningkat ke 43,20 persen.

Meski ada peningkatan dalam target pengurangan emisi dalam NDC, menurut laporan Climate Action Tracker target Indonesia masih sangat tidak mencukupi dengan kontribusi Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca dan pengekspor produk batubara. Berdasarkan penilaian Climate Change Performance Index 2023, Indonesia hanya mendapat peringkat ‘sedang’ secara keseluruhan dalam kebijakan iklim dan penggunaan energi, dan peringkat ‘rendah’ untuk emisi gas rumah kaca.

CCPI mencatat bahwa tidak ada rencana terperinci untuk menghentikan batubara, dan mengkritik kesenjangan antara peraturan dan implementasinya. Padahal Indonesia termasuk di antara sembilan negara yang bertanggung jawab atas 90 persen produksi batubara global.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Greenpeace Indonesia. Menurut Greenpeace, NDC terbaru ini belum mampu mencawab ancaman krisis iklim dan masih jauh dari harapan publik untuk melindungi masa depan Indonesia dari dampak buruk krisis iklim.

Adila Isfandiari, aktivis kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, menyayangkan dalam NDC tersebut rencana percepatan pengakhiran masa operasional PLTU (pembangkit listrik tenaga uap batubara), atau rencana pensiun dini PLTU, belum ada. Padahal, penghentian dini operasional PLTU di tengah kelebihan pasokan listrik ini sangat diperlukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan energi terbarukan.

Dalam catatan CAT, pada 2021 energi terbarukan hanya menyumbang 13,5 persen dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2021. Padahal, beberapa penelitian telah menunjukan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan penggunaan potensi energi terbarukan jauh melampaui angka tersebut dan dapat memasok 100 persen listriknya dengan sumber terbarukan pada tahun 2050.

Masih tidak konsistennya komitmen pemerintah ini perlu menjadi perhatian. Dampak perubahan iklim sudah dirasakan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Untuk mengindari resiko dampak yang lebih besar lagi diperlukan langkah drastis dan komitmen yang serius dalam kebijakan penanganan krisis iklim. Tentunya, kebijakan tersebut juga perlu dukungan dan komitmen para pelaku usaha  dan masyarakat luas. Keterlibatan generasi muda dalam perubahan iklim juga perlu terus dibangkitkan sejak dini.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Sejumlah petugas membersihkan perairan di sekitar dermaga penumpang, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (20/4/2021), dari sampah. Bertepatan dengan peringatan Hari Bumi Sedunia yang jatuh pada Sabtu (22/4/2021), apa yang dilakukan oleh petugas di perairan Pelabuhan Tanjung Priok ini patut diapresiasi.

Ragam Kegiatan Hari Bumi

Pada tahun ini Hari Bumi telah memasuki peringatan yang ke-53. Acara tahunan ini diperingati di lebih dari 170 negara, sebagai bentuk dukungan terhadap kepedulian dan perlindungan lingkungan. Setiap negara memiliki cara perayaan Hari Bumi yang berbeda-beda.

  • London, Inggris

Di London, perayaan tahunan ini biasa diisi dengan pengumpulan donasi melalui festival musik. Pada tahun 2017 misalnya, sekitar 7 band berpartisipasi mengisi acara musik yag digelar di The Hive, London, mencari dana untuk mendukung gerakan-gerakan peduli lingkungan.

Selain itu, festival musik juga diramaikan dengan berbagai booth ramah lingkungan, seperti pojok yoga, dan vegan cafe.

  • Barcelona, Spanyol

Hari Bumi di kota terbesar kedua di Spanyol ini dirayakan dengan acara bazar produk-produk pertanian segar. Acara yang biasa diselenggarakan di Parc Central de Nou Barris itu juga diisi dengan workshop dan berbagai panel diskusi soal lingkungan.

  • Roma, Italia

Tidak jauh berbeda dengan perayaan Hari Bumi di London, Inggirs. Di ibukota Italia ini Hari Bumi juga biasa dirayakan dengan pertujukan festival musik. Bertempat di Villa Borghese, acara juga diisi dengan diskusi terkait penyelamatan lingkungan dan gaya hidup baru. Untuk anak-anak, diadakan pula workshop sains dan perlombaan olahraga.

  • Sydney, Australia

Di Sydney, Hari Bumi biasa diselenggarakan di Nurragingy Riserve, sebuah taman kota di New South Wales, dekat Sydney. Pada Hari Bumi, di taman kota tersebu ratusan aktivis lingkungan dan masyarakat melakukan kegiatan nature walk, dan juga diskusi terkait alam. Selain itu, ada pula pembagian sepeda recycle.

  • Tokyo, Jepang

Perayaan Hari Bumi di Tokyo sudah rutin diadakan sejak tahun 2001. Acara biasanya diselenggarakan di Yoyogi Park dan ditujukan sebagai wahana edukasi keluarga. Salah satunya dengan diskusi soal sustainable methods atau cara-cara hidup yang minim sampah demi lingkungan. Acara juga dimeriahkan dengan booth kuliner yang menyuguhkan makanan vegan.

  • Indonesia

Di Indonesia, perayaan Hari Bumi juga diselenggarakan di berbagai kota dan dengan cara beragam. Di Jakarta, untuk menyambut Hari Bumi 2019 ribuan aktivis lingkungan, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat turun ke jalan melakukan aksi kampanye mendorong kesadaran terhadap lingkungan. Aksi tersebut biasanya dilakukan di sekitaran Bundaran HI.

Perayaan Hari Bumi 2019 juga digelar di Gorontalo. Kelompok Maritim Muda Gorontalo merayakan Hari Bumi dengan workshop kerajianan berahan dasar kardus dan plastik yang dikumpulkan dari Pantai Tanjung Kramat.

Sedangkan di Surabaya, Jawa Timur, sejumlah anggota Mahasiswa Pecinta Alam dan Seni Institut Adhi Tama Surabaya membagikan secara gratis sekitar 500 bibit tanaman berbagai jenis kepada masyarkat dalam peringatan Hari Bumi 2019.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Satu Juta Spesien Menuju Kepunahan”, Kompas¸ 8 Mei 2019.
  • “Sastra Hijau Sastra Berpihak”, Kompas, 30 Maret 2021.
  • “Perubahan Iklim Jadi Krisis Iklim”, Kompas, 7 April 2021.
  • “Bumi Memanas dan Mendekati Titik Kritis”, Kompas, 20 September 2021.
  • “Bumi Alami Kepunahan Massal Keenam Keanekaragaman Hayati”, Kompas, 17 Januari 2022.
  • “Iklim Dunia Sedang Tidak Baik-baik Saja”, Kompas, 19 Januari 2022.
  • “Anak Muda Menuntut Aksi Keadilan Iklim”, Kompas, 21 Juli 2022.
  • “Indonesia Rentan Perubahan Iklim, Diminta Lebih Ambisius Turunkan Emisi”, Kompas, 2 September 2022.
  • “Beban Berat Generasi Muda Mengatasi Krisis Iklim”, Kompas, 13 Februari 2023.
  • “Anomali Iklim dan Rekor Suhu Terpanas Bumi”, Kompas, 21 Januari 2023.
  • “Mendorong Keadilan dalam Upaya Mitigasi Krisis Iklim Global”, Kompas, 25 Januari 2023.
  • “Bersiaplah, Ambang Kritis Iklim Bisa Terlewati Tujuh Tahun Lagi”, Kompas, 23 Maret 2023.
  • “Saatnya Pemulihan Demi Bumi yang Layak Huni”, Kompas, 22 April 2021.
Internet
  • Laman Hari Bumi Sedunia: earthday.org diakses 17 April 2023
  • Laman Green Peace: greenpeace.org diakses 18 April 2023
  • Laman Data Informasi Bencana Indonesia: dibi.bnpb.go.id diakses 19 April 2023
  • Laman Climate Action Tracker: climateactiontracker.org diakses 20 April 2023
  • Laman Global Climate Change: climate.nasa.gov diakses 20 April 2023